Spiritualitas dan Moralitas Haji

Sabtu, 22 Agustus 2015 - 10:07 WIB
Spiritualitas dan Moralitas Haji
Spiritualitas dan Moralitas Haji
A A A
Musim haji telah dimulai. Kloter pertama jamaah haji Indonesia telah berangkat ke Tanah Suci kemarin.

Tentu saja semua jamaah haji dari seluruh penjuru dunia mendambakan ”haji mabrur”, karena menurut sabda Nabi Muhammad SAW, haji mabrur itu balasannya tidak lain adalah surga (HR Muslim). Meraih kemabruran haji pasti memerlukan modal mental spiritual, modal intelektual, modal finansial, dan kesehatan fisik yang prima.

Salah satu modal mental spiritual dan intelektual yang perlu dibawa dan dipahami oleh para jamaah haji adalah filosofi dan nilai-nilai moral dari ritualitas manasik haji, agar ibadah paling mahal dan mengantre bertahun-tahun ini tidak kehilangan spiritualitas dan moralitasnya karena hanya terjebak dalam ritualitas fisik yang melelahkan.

Menyelami Hakikat Haji

Sepulang ibadah haji, as- Syibli segera menemui Zainal Abidin, seorang sufi besar dari keluarga Rasulullah SAW. Dalam pertemuan itu, Zainal Abidin bertanya kepada as-Syibli secara bertubi-tubi, sehingga ia tidak bisa menjawab karena pertanyaannya sangat mendasar dan substansial.

Beberapa pertanyaan berikut layak menjadi bahan renungan bagi kita yang mau, sedang, dan sudah berhaji. Ketika engkau sampai di miqat, tanya Zainal Abidin, di mana engkau menanggalkan pakaian berjahit sebagai simbol keduniaan dan status sosial, apakah engkau berniat juga menanggalkan pakaian kemaksiatan dan berganti dengan pakaian ketakwaan?

Apakah saat itu engkau juga tanggalkan riya (pencitraan palsu atau topeng diri) dalam segala hal? Apakah engkau juga menanggalkan sifat kemunafikan dan syubhat ? Ketika engkau berihram, tanda engkau memulai ritualitas haji, apakah engkau berniat mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah, lalu engkau hanya mencari yang halal dan thayyib (baik) dalam hidup ini?

Zainal Abidin melanjutkan pertanyaannya. Ketika engkau menuju kota suci Mekkah, apakah engkau berniat berjalan menuju Allah karena di sana terdapat Baitullah ? Ketika engkau memasuki Masjidilharam di mana manusia dari seluruh dunia datang, apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain, dan tidak berucap apapun kecuali berzikir kepada Allah?

Ketika engkau sai, apakah engkau merasa sedang berlari menuju Allah di antara rasa cemas dan penuh harap, seperti disimbolisasikan oleh Hajar, ibunda Nabi Ismail, yang sedang mencari air kehidupan demi kelangsungan hidup putranya, Ismail?

Ketika engkau wukuf di Arafah, adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan masa lalumu yang tersembunyi dan sengaja engkau sembunyikan? Ketika engkau berangkat ke Mina, apakah engkau bertekad untuk tidak menyakiti orang lain dengan lidahmu, dengan tanganmu, bahkan dengan bisikan hatimu seperti yang dilakukan oleh setan terhadap Nabi Ibrahim AS?

Dan ketika engkau melempar jamrah, apakah engkau juga berniat memerangi iblis yang sering bersarang di hatimu? Mendengar pertanyaan Zainal Abidin yang bertubi-tubi itu, sambil menundukkan kepala, as-Syibli terdiam seribu bahasa. la hanya berkata dalam hatinya dan dengan suara lirih: ”tidak”.

Mendengar jawaban as-Syibli itu, Zainal Abidin lalu berkata: ”Wahai kawan, engkau belum pergi ke miqat, belum berihram, belum tawaf, belum sai, belum wukuf, belum ke Mina, dan belum melempar jamrah.

Mendengar pernyataan itu, as-Syibli menangis tersedu-sedu, karena pertanyaan yang diajukan Zainal Abidin bukan saja benar, melainkan telah menghunjam dalam hatinya, hingga ia sadar bahwa ibadah hajinya baru kulit, belum isi, baru lahiriah (baru berhaji menurut fikih) belum yang esensi (berhaji substantif, penuh nilai dan hikmah), baru pada tataran formalitas, belum menyentuh substansi dan spiritualitasnya.

Oleh karena itu, komitmen berhaji dimulai dengan talbiyah (pernyataan merespons, memenuhi panggilan Ilahi). Talbiyah merupakan kesadaran spiritual untuk menjadi dhuyufur Rahman (tamu Allah) yang benar- benar ikhlas mencari dan meraih haji mabrur, demi memperoleh rida Allah semata.

Karena itulah, Allah SWT sengaja menyandingkan kata lillahi pada awal dan akhir ayat yang berkaitan dengan kewajiban haji, yaitu: wa lillahi ala an-naasi hijju al-baiti man istathaa ilaihi sabila.. (QS Ali Imran/3: 97) dan wa atimmu al-hajja wa al-wa atimmu al-hajja wa al-umrata lillahi... (QS. al-Baqarah/2: 196).

Kemabruran haji sangat ditentukan seberapa tulus ikhlas para tamu Allah itu merespons, menaati, memaknai ritualitas haji, dan menginternalisasikan spiritualitas haji dalam kehidupan sehari-hari karena haji itu sendiri merupakan ”skenario ilahi” untuk sebuah model kehidupan islami. Pelakunya (pak haji dan bu haji) sepulang haji mestinya lebih saleh, lebih berkepribadian islami, antikemaksiatan dan antikorupsi.

Dari Talbiyah menuju Tarbiyah

Ritualitas manasik haji dihiasi dengan talbiyah (melafalkan labbaik Allahumma labbaik.... Ya Allah, aku datang hanya untuk memenuhi panggilan ketaatan kepada-Mu...). Talbiyah yang tulus dapat membuahkan tarbiyah (pendidikan) yang bermakna bagi para tamu Allah itu.

Haji mendidik kita untuk memiliki sikap rendah hati, egaliter, tidak sombong, beretos kerja keras, cerdas, dan ikhlas. Pendidikan spiritualitas haji merupakan pendidikan multidimensi: pendidikan karakter (dari karakter kebinatangan menjadi berkarakter kemanusiaan yang mulia), pendidikan multikultural (memahami dan menghormati pluralitas dan perbedaan sesama), pendidikan sosial, pendidikan intelektual, pendidikan moral, lebih-lebih pendidikan fisikal dan spiritual.

Talbiyah adalah awal perjuangan menuju tarbiyah Muslim seutuhnya. Talbiyah mengantarkan Muslim memiliki visi dan misi kehidupan yang abadi (jangka panjang). Visi semacam ini pernah ditanamkan oleh Rasulullah kepada Aisyah.

Ketika Aisyah diperintahkan oleh Rasulullah untuk memotong seekor kambing yang dimilikinya dan dibagi-bagikan kepada tetangganya, lalu ia berkata: ”Wahai Rasulullah, kambing yang kupotong sudah kubagikan, tinggal satu paha yang tersisa.” Rasulullah pun berkata: ”Engkau keliru, yang tersisa justru yang engkau bagikan.

Karena itulah yang akan abadi sekaligus yang akan diterima sebagai balasan bagi amal kebajikan kita di akhirat kelak. Sedangkan yang tersisa yang kita makan hanya untuk kesenangan sesaat. Sebanyak apapun yang kita makan, pasti akan habis juga, karena manusia hampir selalu tidak pernah merasa cukup.”

Dari Formalitas menuju Spiritualitas

Haji itu ibadah multidimensional. Manasik haji bukan sekadar rutinitas dan ritualitas fisik tanpa makna. Prosesi manasik haji adalah sebuah ”drama kehidupan” yang kaya makna, terutama makna sosial kultural.

Haji dimulai dengan niat ihram. Pakaian ihram mengandung pesan bahwa menjadi tamu Allah itu harus suci lahir batin, tidak egois, tapi emansipatoris dan siap memenuhi panggilan ketaatan (talbiyah ) hanya kepada- Nya dan hanya berharap memperoleh rida-Nya. Tawaf bukan sekadar mengelilingi Kakbah tujuh kali. Tawaf mendidik jamaah haji bergerak dinamis dalam orbit tauhid.

Keteguhan dan konsistensi dalam bertauhid memacu gerak untuk maju dan terus maju. Orang yang bertawaf adalah orang yang antikemunduran dan kejumudan. Tawaf menyadarkan pentingnya nilai progresivitas sosial yang bersendikan nilai-nilai tauhid. Sa’i antara shafa danmarwa melambangkan etos dan disiplin kerja yang tinggi.

Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail AS, memberikan keteladanan sebagai seorang ibu yang tidak pernah menyerah untuk berusaha demi masa depan anaknya yang saat itu menghadapi kesulitan. Etos dan disiplin kerja itu harus dimulai dari shafa (ketulusan hati dan kejernihan pikiran).

Etos dan disiplin sa’i harus optimal agar mencapai marwa (meraih kepuasan hati karena prestasi tinggi dalam berusaha). Wukuf di Arafah adalah kesadaran terhadap pentingnya ”berhenti sejenak sambil makrifat diri (introspeksi dan evaluasi diri)” untuk dapat merasakan kehadiran Allah SWT.

Sebagai lambang miniatur ”makhsyar” di akhirat kelak, wukuf memberi kesadaran akan pentingnya introspeksi diri, pengenalan jati diri, dan yang lebih penting lagi ”pengadilan terhadap diri sendiri”.

Jika selama ini manusia cenderung mengadili orang lain, atau tidak pernah berbuat adil, Arafah adalah momentum yang tepat untuk mengambil keputusan yang arif: apakah selama ini yang berwukuf sudah benar-benar menjadi hamba-Nya ataukah masih menjadi hamba-hamba selain- Nya?

Apakah yang berwukuf itu sudah meneladani akhlak Allah atau masih selalu mengikuti hawa nafsu dan setan? Karena itu, di malam hari menuju Mina, para jamaah haji diminta bermabit di Muzdalifah (mendekatkan diri), sekali lagi bertaubat dan bermunajat kepada Allah sambil menyiapkan ”amunisi jihad” di jamarat Mina.

Mina adalah simbolisasi cita dan cinta. Karena cinta-Nya yang tulus kepada Allah, Nabi Ibrahim rela ”mengorbankan” anak kesayangannya, Ismail. Berjuang melawan setan dan hawa nafsu hanya bisa dimenangi oleh rasa cinta yang tulus kepada Allah. Dengan cinta karena-Nya, Ibrahim akhirnya memperoleh cita-citanya: anaknya tidak jadi ”korban”, karena manusia memang tidak pantas dikorbankan.

Ismail adalah generasi masa depan, penerus perjuangan ayahnya. Haji adalah ibadah yang paling multidimensional dan multikultural; diikuti oleh aneka suku bangsa, bahasa, negara, adat-istiadat, watak, karakter, latar belakang sosial ekonomi dan budaya.

Melalui ibadah haji ini, Allah sungguh menitipkan pesan-pesan moral dan spiritual agar manusia memiliki kesadaran tinggi untuk mengaktualisasikan nilai-nilai haji dalam bentuk emansipasi, toleransi, saling menghargai, cinta damai, disiplin dan etos kerja tinggi, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sebagaimana dipesankan dalam khotbah wada’ Nabi SAW. Semoga!

MUHBIB ABDUL WAHAB
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6404 seconds (0.1#10.140)
pixels