Tujuh Koruptor Dapat Remisi Istimewa
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) tetap akan memberikan remisi dasawarsa kepada 118.000 narapidana bertepatan dengan HUT ke-70 RI. Dari jumlah itu, tujuh di antaranya merupakan narapidana kasus korupsi.
Kepala Biro Humas Kemenkumham Ansharudin membenarkan ada tujuh narapidana kasus korupsi yang akan menerima remisi dasawarsa tersebut. Namun, Ansharudin enggan menyebut ketujuh narapidana kasus korupsi tersebut.
Alasannya, hingga tadi malam pihaknya masih menyusun jumlah total penerima remisi, sehingga masih belum bisa diumumkan siapa saja yang akan menerimanya. ”Datanya masih belum fix . Sampai sore ini (kemarin sore) tim masih menghitung berapa yang mendapat remisi tepatnya,” ungkap Ansharudin kepada KORAN SINDO kemarin.
Dia menyebutkan, dari data sementara terdapat enam orang narapidana mendapatkan remisi yang berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2006 tentang Perubahan atas PP Nomor 32/1999 tentang Syarat Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Selain itu, ada juga tujuh narapidana yang mendapatkan remisi berdasarkan PP Nomor 99/2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32/1999 tentang Syarat Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Diketahui, PP 28/1999 lebih menekankan pada narapidana anak, meskipun ada juga menyinggung terhadap narapidana korupsi, terorisme, narkotika, psikotropika, dan terorisme.
Sementara itu, PP 99/2012 lebih menekankan pada narapidana korupsi. Sebelumnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Kemenkumham menyebutkan bahwa bertepatan dengan peringatan HUT ke-70 Kemerdekaan RI, pemerintah memberikan remisi untuk 118.000 narapidana.
Pemberian remisi ini berdasarkan pada Keppres Nomor 120/1955 tentang Pemberian Remisi Dasawarsa. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menyebutkan, remisi dengan dasar Keppres 120/1955 itu tidak melihat apa jenis kejahatan yang dijalani oleh narapidana, tetapi lebih sebagai hadiah bagi narapidana yang berkelakuan baik. ”Remisi istimewa ini sudah diberikan sejak tahun 1955 dilanjutkan pada tahun 1965, 1975, dan seterusnya,” ungkap Yasonna.
Sementara itu, Indonesia Coruption Watch (ICW) meminta Menkumham lebih transparan dan menyebutkan siapa saja narapidana korupsi yang mendapatkan remisi. Peneliti hukum ICW Lalola Easter menyarankan Kemenkumham lebih selektif dalam memberikan remisi terhadap narapidana, terutama narapidana korupsi.
ICW bahkan mencurigai jika koruptor mendapatkan dua remisi sekaligus dalam satu momentum. ”Tidak adil kiranya jika pemerintah juga memberikan remisi atau potongan hukum kepada narapidana korupsi, sebab kejahatan yang mereka lakukan merupakan extraordinary crime. Apalagi di 17 Agustus mendatang terdapat dua jenis remisi, yakni remisi tahunan memperingati HUT RI dan remisi dasawarsa,” ungkapnya.
Menurut dia, tidak mungkin narapidana korupsi disamakan perlakuannya dengan narapidana maling ayam. Dampak dari perbuatan yang ditimbulkan sangat berbeda. ”Ini yang harus diperhatikan oleh menkumham,” tandas imbuh Lalola.
Menkumham, lanjutnya, perlu melihat lebih jauh dasar hukum lainnya dalam pemberian remisi, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam Pasal 34A PP itu disebutkan bahwa pemberian remisi bagi narapidana korupsi salah satunya harus bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Selain itu, telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo Jamal Wiwoho mengatakan, meski remisi itu adalah hak, pemberian remisi kepada koruptor sangatlah tidak etis, sebab saat ini pemerintah tengah melakukan perang terhadap kejahatan korupsi.
”Bagaimana korupsi dapat diperangi, sedangkan pemerintah melalui menkumham membuat kebijakan yang bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi?” tandasnya.
Ilham safutra
Kepala Biro Humas Kemenkumham Ansharudin membenarkan ada tujuh narapidana kasus korupsi yang akan menerima remisi dasawarsa tersebut. Namun, Ansharudin enggan menyebut ketujuh narapidana kasus korupsi tersebut.
Alasannya, hingga tadi malam pihaknya masih menyusun jumlah total penerima remisi, sehingga masih belum bisa diumumkan siapa saja yang akan menerimanya. ”Datanya masih belum fix . Sampai sore ini (kemarin sore) tim masih menghitung berapa yang mendapat remisi tepatnya,” ungkap Ansharudin kepada KORAN SINDO kemarin.
Dia menyebutkan, dari data sementara terdapat enam orang narapidana mendapatkan remisi yang berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2006 tentang Perubahan atas PP Nomor 32/1999 tentang Syarat Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Selain itu, ada juga tujuh narapidana yang mendapatkan remisi berdasarkan PP Nomor 99/2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32/1999 tentang Syarat Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Diketahui, PP 28/1999 lebih menekankan pada narapidana anak, meskipun ada juga menyinggung terhadap narapidana korupsi, terorisme, narkotika, psikotropika, dan terorisme.
Sementara itu, PP 99/2012 lebih menekankan pada narapidana korupsi. Sebelumnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan Kemenkumham menyebutkan bahwa bertepatan dengan peringatan HUT ke-70 Kemerdekaan RI, pemerintah memberikan remisi untuk 118.000 narapidana.
Pemberian remisi ini berdasarkan pada Keppres Nomor 120/1955 tentang Pemberian Remisi Dasawarsa. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menyebutkan, remisi dengan dasar Keppres 120/1955 itu tidak melihat apa jenis kejahatan yang dijalani oleh narapidana, tetapi lebih sebagai hadiah bagi narapidana yang berkelakuan baik. ”Remisi istimewa ini sudah diberikan sejak tahun 1955 dilanjutkan pada tahun 1965, 1975, dan seterusnya,” ungkap Yasonna.
Sementara itu, Indonesia Coruption Watch (ICW) meminta Menkumham lebih transparan dan menyebutkan siapa saja narapidana korupsi yang mendapatkan remisi. Peneliti hukum ICW Lalola Easter menyarankan Kemenkumham lebih selektif dalam memberikan remisi terhadap narapidana, terutama narapidana korupsi.
ICW bahkan mencurigai jika koruptor mendapatkan dua remisi sekaligus dalam satu momentum. ”Tidak adil kiranya jika pemerintah juga memberikan remisi atau potongan hukum kepada narapidana korupsi, sebab kejahatan yang mereka lakukan merupakan extraordinary crime. Apalagi di 17 Agustus mendatang terdapat dua jenis remisi, yakni remisi tahunan memperingati HUT RI dan remisi dasawarsa,” ungkapnya.
Menurut dia, tidak mungkin narapidana korupsi disamakan perlakuannya dengan narapidana maling ayam. Dampak dari perbuatan yang ditimbulkan sangat berbeda. ”Ini yang harus diperhatikan oleh menkumham,” tandas imbuh Lalola.
Menkumham, lanjutnya, perlu melihat lebih jauh dasar hukum lainnya dalam pemberian remisi, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam Pasal 34A PP itu disebutkan bahwa pemberian remisi bagi narapidana korupsi salah satunya harus bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Selain itu, telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo Jamal Wiwoho mengatakan, meski remisi itu adalah hak, pemberian remisi kepada koruptor sangatlah tidak etis, sebab saat ini pemerintah tengah melakukan perang terhadap kejahatan korupsi.
”Bagaimana korupsi dapat diperangi, sedangkan pemerintah melalui menkumham membuat kebijakan yang bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi?” tandasnya.
Ilham safutra
(ftr)