Presiden Tak Penuhi Ekspektasi Publik
A
A
A
JAKARTA - Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada sidang tahunan MPR kemarin dinilai tidak memenuhi ekspektasi publik. Pidato tersebut tidak menjelaskan secara spesifik sejumlah isu di pemerintahan.
Ada sejumlah hal yang dinantikan publik, antara lain alasan Presiden melakukan reshuffle kabinet, pencapaian dan kekurangan pemerintah dalam kurun waktu setahun terakhir, dan ihwal kenetralan pemerintah dalam kisruh partai politik (parpol).
”Presiden hanya menyampaikan garis besarnya dan itu tidak menggambarkan kondisi. Kisruh internal PPP dan Partai Golkar sangat terlihat keberpihakan pemerintah. Makanya pidato itu terlalu indah dari kenyataannya,” ujar Kepala Departemen Penelitian dan Konsultasi Politik PARA Sydicate Toto Sugiarto kemarin.
Menurut Toto, ini sangat disayangkan mengingat Jokowi diberi kesempatan tiga kali berpidato dengan durasi masingmasing selama 30 menit. Guru besar bidang politik Universitas Indonesia (UI) Maswadi Rauf memandang pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Jokowi terlampau singkat sehingga tidak menjawab sejumlah pertanyaan masyarakat.
Menurut dia, melalui pidato itu Presiden seharusnya dapat menjelaskan peristiwa yang berkaitan dengan gejolak ekonomi, politik, sosial, dan hukum yang banyak terjadi selama satu tahun belakangan serta mendapat sorotan masyarakat. ”Ini kan kita selama 10 bulan penuh spekulasi karena Presiden tidak memberikan penjelasan. Presiden tidak menjalankan posisinya, jadi kita mengarang sendiri,” ucap Maswadi.
Menurut Maswadi, masih banyak hal penting yang perlu mendapat jawaban dari seorang presiden, di antaranya kasus KPK vs Polri, ketidakstabilan harga bahan pokok hingga yang terbaru perombakan Kabinet Kerja. ”Memang itu hak prerogatif presiden, tapi kan rakyat perlu penjelasan supaya hak prerogatif itu bisa dipahami rakyat,” ujarnya.
Pengamat politik Universitas Jayabaya Igor Dirgantara mengatakan, pidato Presiden lebih banyak mengungkapkan hal-hal umum tentang kondisi positif-negatif bangsa. Dia malah mengkritik langkah Presiden yang justru mengkritik media lebih mengutamakan peringkat dalam pidatonya.
”Mengapa justru mengkritik media ketimbang mengkritik jajaran pembantunya yang kemarin di-reshuffle . Apalagi justru banyak menteri yang disinyalir meningkatkan peringkat atau polularitasnya tanpa prestasi kerja,” ujarnya.
Presiden Jokowi tampil tiga kali berpidato dalam sidang tahunan MPR di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin. Pada pidato pertama Presiden menyampaikan laporan kinerja lembagalembaga negara. Pidato kedua menyangkut peringatan 70 tahun kemerdekaan Indonesia.
Adapun pidato ketiga soal tanggapan penyampaian nota keuangan dan RAPBN 2016. Dalam pidatonya, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut mengingatkan seluruh penyelenggara lembaga negara untuk dapat menjaga kekompakan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)- nya.
Jokowi mengaku dapat memahami setiap lembaga negara mempunyai peran sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Namun kekompakan lembaga negara juga sangat diperlukan dalam perjuangan untuk mewujudkan janji kemerdekaan. Dia menjelaskan, Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang besar dan kreatif, kelas menengah yang semakin besar, sistem politik yang demokratis, dan masyarakat muslim yang moderat.
Bahkan, Indonesia juga menjadi kekuatan ekonomi ke-16 terbesar di dunia dengan pendapatan produk domestik bruto (PDB) sekitar Rp10.000 triliun. ”Dengan kerja keras, optimisme, dan mengubah sikap konsumtif menjadi produktif, kita akan bermartabat di antara bangsa-bangsa di dunia,” ujar mantan Wali Kota Solo itu.
Masalah konflik parpol yang tidak dijelaskan dalam pidato Presiden juga mengundang kritikan dari Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Jika pemerintah menginginkan persatuan, menurut dia, seharusnya konflik yang terjadi di PPP dan Golkar diselesaikan, bukan malah dipecah belah.
”Jokowi berkali-kali menekankan persatuan, tapi praktiknya tak tecermin, tidak ada upaya untuk melakukan suatu intervensi agar kondusif untuk persatuan, yang ada malah partai yang dianggap tidak mendukung pemerintah ada pemecahbelahan,” ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Pidato Presiden yang seolaholah masih menunjukkan optimisme mengenai kondisi ekonomi di Indonesia juga tak luput dari kritik. Fadli menilai kondisi ekonomi saat ini sudah masuk ke dalam tahap awal krisis. ”Kok bisa-bisanya masih menganggap enteng. Masih optimistis pertumbuhan 7%. Kita disuguhi impian kosong. Padahal, lebih baik Jokowi berkatakata pahit, tapi itu menolong rakyat,” ucapnya.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Sohibul Iman mengatakan, pidato Jokowi mengenai laporan kinerja lembaga-lembaga negara terkesan normatif lantaran hanya menyampaikan pesan bernada motivasi bagi bangsa. ”Secara umum pidato ini normatif,” kata Sohibul di Gedung DPR Jakarta kemarin.
Pernyataan Presiden yang menyebutkan Indonesia telah menyelesaikan konsolidasi demokrasi, menurut dia, patut dipertanyakan. ”Ciri konsolidasi demokrasi itu lembaga negara mengalami kematangan. Kita merasakan belum, apabila ada kasus aneh di suatu lembaga, menunjukkan belum ada kematangan di lembaga itu,” tuturnya.
Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengklaim pidato Jokowi yang disampaikan dalam sidang tahunan MPR itu sejalan dengan janji kampanye saat pemilu presiden. ”Bahasa yang sederhana, simpel, menunjukkan komitmen yang kuat dari beliau seperti apa yang disampaikan ketika beliau berjanji kepada rakyat Indonesia dalam kampanye kemarin,” sebutnya.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, pidato kenegaraan Presiden tersebut berupaya mengajak setiap elemen bangsa meningkatkan kesantunan di segala bidang.
”Presiden mengingatkan setiap pihak, lembaga negara, khususnya pers, agar mengedepankan tata krama dan kesantunan supaya kehidupan bersama di tengah keragaman ini tetap bisa terjaga dan terpelihara,” kata Lukman.
Kiswondari/ sindonews/ant
Ada sejumlah hal yang dinantikan publik, antara lain alasan Presiden melakukan reshuffle kabinet, pencapaian dan kekurangan pemerintah dalam kurun waktu setahun terakhir, dan ihwal kenetralan pemerintah dalam kisruh partai politik (parpol).
”Presiden hanya menyampaikan garis besarnya dan itu tidak menggambarkan kondisi. Kisruh internal PPP dan Partai Golkar sangat terlihat keberpihakan pemerintah. Makanya pidato itu terlalu indah dari kenyataannya,” ujar Kepala Departemen Penelitian dan Konsultasi Politik PARA Sydicate Toto Sugiarto kemarin.
Menurut Toto, ini sangat disayangkan mengingat Jokowi diberi kesempatan tiga kali berpidato dengan durasi masingmasing selama 30 menit. Guru besar bidang politik Universitas Indonesia (UI) Maswadi Rauf memandang pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Jokowi terlampau singkat sehingga tidak menjawab sejumlah pertanyaan masyarakat.
Menurut dia, melalui pidato itu Presiden seharusnya dapat menjelaskan peristiwa yang berkaitan dengan gejolak ekonomi, politik, sosial, dan hukum yang banyak terjadi selama satu tahun belakangan serta mendapat sorotan masyarakat. ”Ini kan kita selama 10 bulan penuh spekulasi karena Presiden tidak memberikan penjelasan. Presiden tidak menjalankan posisinya, jadi kita mengarang sendiri,” ucap Maswadi.
Menurut Maswadi, masih banyak hal penting yang perlu mendapat jawaban dari seorang presiden, di antaranya kasus KPK vs Polri, ketidakstabilan harga bahan pokok hingga yang terbaru perombakan Kabinet Kerja. ”Memang itu hak prerogatif presiden, tapi kan rakyat perlu penjelasan supaya hak prerogatif itu bisa dipahami rakyat,” ujarnya.
Pengamat politik Universitas Jayabaya Igor Dirgantara mengatakan, pidato Presiden lebih banyak mengungkapkan hal-hal umum tentang kondisi positif-negatif bangsa. Dia malah mengkritik langkah Presiden yang justru mengkritik media lebih mengutamakan peringkat dalam pidatonya.
”Mengapa justru mengkritik media ketimbang mengkritik jajaran pembantunya yang kemarin di-reshuffle . Apalagi justru banyak menteri yang disinyalir meningkatkan peringkat atau polularitasnya tanpa prestasi kerja,” ujarnya.
Presiden Jokowi tampil tiga kali berpidato dalam sidang tahunan MPR di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin. Pada pidato pertama Presiden menyampaikan laporan kinerja lembagalembaga negara. Pidato kedua menyangkut peringatan 70 tahun kemerdekaan Indonesia.
Adapun pidato ketiga soal tanggapan penyampaian nota keuangan dan RAPBN 2016. Dalam pidatonya, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut mengingatkan seluruh penyelenggara lembaga negara untuk dapat menjaga kekompakan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)- nya.
Jokowi mengaku dapat memahami setiap lembaga negara mempunyai peran sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Namun kekompakan lembaga negara juga sangat diperlukan dalam perjuangan untuk mewujudkan janji kemerdekaan. Dia menjelaskan, Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang besar dan kreatif, kelas menengah yang semakin besar, sistem politik yang demokratis, dan masyarakat muslim yang moderat.
Bahkan, Indonesia juga menjadi kekuatan ekonomi ke-16 terbesar di dunia dengan pendapatan produk domestik bruto (PDB) sekitar Rp10.000 triliun. ”Dengan kerja keras, optimisme, dan mengubah sikap konsumtif menjadi produktif, kita akan bermartabat di antara bangsa-bangsa di dunia,” ujar mantan Wali Kota Solo itu.
Masalah konflik parpol yang tidak dijelaskan dalam pidato Presiden juga mengundang kritikan dari Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Jika pemerintah menginginkan persatuan, menurut dia, seharusnya konflik yang terjadi di PPP dan Golkar diselesaikan, bukan malah dipecah belah.
”Jokowi berkali-kali menekankan persatuan, tapi praktiknya tak tecermin, tidak ada upaya untuk melakukan suatu intervensi agar kondusif untuk persatuan, yang ada malah partai yang dianggap tidak mendukung pemerintah ada pemecahbelahan,” ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Pidato Presiden yang seolaholah masih menunjukkan optimisme mengenai kondisi ekonomi di Indonesia juga tak luput dari kritik. Fadli menilai kondisi ekonomi saat ini sudah masuk ke dalam tahap awal krisis. ”Kok bisa-bisanya masih menganggap enteng. Masih optimistis pertumbuhan 7%. Kita disuguhi impian kosong. Padahal, lebih baik Jokowi berkatakata pahit, tapi itu menolong rakyat,” ucapnya.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Sohibul Iman mengatakan, pidato Jokowi mengenai laporan kinerja lembaga-lembaga negara terkesan normatif lantaran hanya menyampaikan pesan bernada motivasi bagi bangsa. ”Secara umum pidato ini normatif,” kata Sohibul di Gedung DPR Jakarta kemarin.
Pernyataan Presiden yang menyebutkan Indonesia telah menyelesaikan konsolidasi demokrasi, menurut dia, patut dipertanyakan. ”Ciri konsolidasi demokrasi itu lembaga negara mengalami kematangan. Kita merasakan belum, apabila ada kasus aneh di suatu lembaga, menunjukkan belum ada kematangan di lembaga itu,” tuturnya.
Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengklaim pidato Jokowi yang disampaikan dalam sidang tahunan MPR itu sejalan dengan janji kampanye saat pemilu presiden. ”Bahasa yang sederhana, simpel, menunjukkan komitmen yang kuat dari beliau seperti apa yang disampaikan ketika beliau berjanji kepada rakyat Indonesia dalam kampanye kemarin,” sebutnya.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, pidato kenegaraan Presiden tersebut berupaya mengajak setiap elemen bangsa meningkatkan kesantunan di segala bidang.
”Presiden mengingatkan setiap pihak, lembaga negara, khususnya pers, agar mengedepankan tata krama dan kesantunan supaya kehidupan bersama di tengah keragaman ini tetap bisa terjaga dan terpelihara,” kata Lukman.
Kiswondari/ sindonews/ant
(bbg)