Yuan Melemah, RI Harus Lebih Kompetitif

Jum'at, 14 Agustus 2015 - 09:53 WIB
Yuan Melemah, RI Harus...
Yuan Melemah, RI Harus Lebih Kompetitif
A A A
JAKARTA - Dampak devaluasi yuan China yang menggerus nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) harus disikapi serius. Pemerintah diminta mengambil langkah-langkah strategis agar ekonomi Indonesia tetap kompetitif.

Ketua Umum DPP Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) mengingatkan, pelemahan yuan akan mendorong peningkatan ekspor China. Sebagai imbasnya, produk China akan lebih mudah terserap di pasar internasional, termasuk Indonesia. Hal ini terjadi karena harga-harga produk China akan lebih murah daripada sebelumnya.

HT menjelaskan, ekspor China turun 8,3% Juli lalu sehingga memengaruhi perekonomian nasional negara itu. Perlambatan ekonomi China, menurut HT, turut memengaruhi perekonomian dunia. ”Setiap pelambatan China sebesar 1%, Indonesia juga akan melambat sekitar 0,2-0,3%,” kata dia di Jakarta kemarin.

HT menegaskan, terpenting saat ini adalah pemerintah harus memikirkan bagaimana Indonesia tetap bisa kompetitif di dunia internasional. ”Peranan Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian untuk lebih cepat tanggap mengantisipasi perubahan ini,” tegas HT. Kepala Ekonom IGIco Martin Panggabean mengatakan, langkah strategis pemerintah diperlukan agar Indonesia tidak menjadi korban akibat kebijakan finansial negara lain.

Menurutnya, perang kurs yang dilakukan China memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi nasional. Dia memprediksi defisit perdagangan Indonesia dengan China akan membengkak karena banyak proyek infrastruktur di Tanah Air yang mengandalkan China. Apalagi, Indonesia dengan pertumbuhan 5% menjadi target empuk bagi pertarungan negara-negara seperti China, Jepang sebagai pasar mereka.

”Tidak hanya bahan baku, barang modal, tetapi juga sumber daya manusia,” ujar Martin. Seperti diberitakan, kebijakan China mendevaluasi mata uang yuan telah menimbulkan sentimen negatif ke pasar regional, termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah sempat terpuruk hingga menembus level Rp13.758 per dolar AS meskipun kemarin menguat 56 poin menjadi Rp13.705.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo mengakui, pelemahan rupiah secara year-to-date (1Januari-12 Agustus) telah mencapai 10,16%. Menurutnya, pelemahan ini lebih dalam dibandingkan won Korea (8,35%), bath Thailand (6,62%), dan yen Jepang (3,96%). Agus menambahkan, kondisi rupiah yang mengalami undervalued pada semester I disebabkan adanya perkiraan tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus melemah hingga akhir tahun.

Padahal, menurut Agus, perkiraan tersebut sama sekali tidak benar. ”Bank Indonesia melihat pelemahan rupiah akhir-akhir ini telah jatuh terlalu dalam (overshoot),” katanya. Mantan menteri keuangan itu pun menyebut kondisi rupiah secara nilai fundamental menunjukkan perbaikan. Namun dia menambahkan, bauran kebijakan dan koordinasi antarberbagai otoritas terkait perlu terus diperkuat sehingga bisa menghasilkan kebijakan yang tepat waktu dan terukur.

Terus Melemah

Sementara itu, selama tiga hari berturut-turut yuan te-rus melemah. Meski demikian, otoritas menjamin penurunan mata uang itu tetap terkendali. ”Bank sentral memangkas tingkat referensi untuk yuan sebesar 1,11% menjadi 6,4010 yuan untuk USD1, dari hari sebelumnya 6,3306,” ungkap China Foreign Exchange Trade System kemarin seperti dikutip kantor berita AFP.

Pemangkasan itu masih lebih sedikit dibandingkan dua hari sebelumnya dan dilakukan setelah laporan intervensi Bank Sentral China (People’s Bank of China/PBOC) untuk melakukan devaluasi yuan. China menggunakan metode kalkulasi nilai mata uang yang lebih berorientasi pasar pada pekan ini.

Langkah yang dianggap sebagai devaluasi itu juga memunculkan beragam pertanyaan tentang kesehatan ekonomi di Negeri Panda tersebut. PBOC kemarin menyatakan yuan tetap mata uang yang kuat dan Beijing akan tetap membuatnya stabil. ”Saat ini tidak ada basis bagi nilai tukar renminbi (yuan) untuk terus mengalami depresiasi,” ujar Asisten Gubernur PBOC Zhang Xiaohui.

”Bank sentral memiliki kemampuan mempertahankan renminbi tetap stabil pada level yang masuk akal dan seimbang,” imbuhnya. Komentar itu memberi sedikit ketenangan di bursa saham Asia dan mata uang di Asia-Pasifik yang mengalami aksi penjualan terbesar selama dua hari sejak 1998. Meski demikian, para analis menjelaskan, sentimen pasar tetap tidak stabil.

”Sepertinya bagian terburuk telah berakhir. Intervensi PBOC telah menenangkan pasar. Tidak ada lagi kesan bahwa yuan akan melemah selamanya,” tutur Patrick Bennett, ahli strategi di Canadian Imperial Bank of Commerce, Hong Kong pada Bloomberg News. Yuan sempat menyentuh 6,4067 terhadap dolar pada pertengahan hari kemarin, turun dari penutupan hari sebelumnya sebesar 6,3870.

China tetap mengontrol yuan, mengizinkan mata uang itu berfluktuasi naik atau turun hanya 2% di setiap tingkat referensi yang ditetapkan per hari. PBOC pada Selasa (11/8) mengumumkan ”satu kali koreksi” hampir 2% pada nilai yuan terhadap dolar saat mereka mengubah mekanismenya.

Sebelumnya, yuan berdasarkan penetapan jajak pendapat pembentuk pasar, tapi sekarang juga akan mempertimbangkan nilai penutupan hari sebelumnya, suplai, dan permintaan devisa asing serta nilai tukar mata uang utama. China telah menurunkan nilai tukar mata uangnya dua kali dan penurunan pekan ini merupakan yang terbesar sejak China membentuk sistem devisa asing modern pada 1994 saat melakukan devaluasi yuan hingga 33%.

Para analis menilai langkah itu sebagai cara China untuk mendorong ekspor dengan membuat barang-barangnya murah di luar negeri dan mendorong reformasi ekonomi untuk menjadikan yuan sebagai salah satu mata uang devisa di kelompok special drawing rights (SDR) Dana Moneter Internasional (IMF).

Kunthi fahmar sandy/ hafid fuad/ rahmat fiansyah/ arsy any s/ syarifuddin
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9782 seconds (0.1#10.140)