Duta Besar
A
A
A
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan 33 nama calon duta besar kepada DPR pada 6 Juli lalu. Usulan tersebut menjadi perhatian masyarakat karena informasi yang mengemukakan beberapa di antara calon-calon tersebut tidak memiliki kapasitas sebagai diplomat.
Mereka memiliki latar belakang sebagai politisi, seniman, artis, atau purnawirawan TNI. Ada kekhawatiran bahwa mereka tidak dapat menjalankan tugas sebagai perwakilan negara karena mereka tidak memiliki atau tidak pernah berurusan dengan hal-hal yang menyangkut masalah-masalah hubungan internasional. Usulan nama-nama itu sendiri secara formal konstitusi adalah hak prerogatif seorang presiden.
Pertimbangan apa yang melandasi keputusannya juga adalah hak seorang presiden. Apa yang membedakannya dengan proses di zaman Pemerintahan Orde Baru adalah diperlukannya pertimbangan DPR. Dengan demikian, tanggung jawab besar juga ada di tangan DPR untuk memberikan pertimbangan yang baik dan benar.
Kecuali anggota DPR memiliki visi dan misi yang berbeda dengan presiden, sewajarnya ia memberikan pertimbangan yang sesuai dengan visi dan misi Presiden Jokowi yang sebenarnya terlihat jelas sejak masa kampanye. Presiden Jokowi menempatkan diplomasi ekonomi sebagai ujung tombak politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinannya. Oleh sebab itu, para duta besar yang dipilih tentu perlu menyesuaikan dengan visi dan misi presiden tersebut.
Mereka mungkin adalah orangorang yang diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan lobi, negosiasi, mengambil hati para investor luar negeri dan seterusnya. Selain alasan formal konstitusi, di sisi lain secara teoritis sejauh yang saya ketahui, belum ada yang pernah mengatakan bahwa keberhasilan politik luar negeri ditentukan oleh komposisi latar belakang para duta besarnya.
Tidak ada jaminan apakah duta besar yang memiliki latar belakang diplomat lebih berhasil dari mereka yang bukan diplomat. Atau sebaliknya juga tidak menjamin bahwa duta besar nonkarier lebih sukses daripada mereka yang sejak awal meniti karier dari bawah sebagai diplomat. Hal yang perlu diingat bahwa kerja diplomasi adalah kerja sistem sehingga apabila kita ingin mengkritisi kerja para duta besar, yang harus kita evaluasi adalah sistem manajemen politik luar negerinya.
Latar belakang duta besar juga berpengaruh dalam keberhasilan politik luar negeri. Saya sering menyaksikan banyak para diplomat Indonesia baik karier atau nonkarier yang kesulitan dalam bersosialisasi dengan para diplomat luar negeri. Bahasa mungkin menjadi masalah, tetapi yang lebih bahaya adalah terbatasnya pengetahuan diplomat di luar masalah politik.
Masalah ini terutama melanda para diplomat karier. Diplomasi tidak sekadar masalah politik, tetapi membangun kepercayaan melalui hal-hal yang terkadang jauh dari soal politik seperti kebudayaan, kuliner, kegiatan karitatif dan sebagainya. Duta besar yang berasal dari karier kadang-kadang sudah sibuk dengan tugas-tugas manajemen dan birokrasi sehingga mereka tidak dapat mengembangkan diri mempelajari halhal baru.
Sebaliknya para duta besar dari nonkarier kerap mengabaikan protokoler, kebiasaan, aturan-aturan formal dan informal dalam berkomunikasi dengan mitra mereka dari negara-negara lain sehingga mengakibatkan hubungan yang juga tidak baik. Akibatnya adalah tidak tercapai misi yang dimandatkan kepada mereka. Terlepas dari ideal mana yang harus dipenuhi, seorang duta besar ”hanya” perlu memenuhi dengan segala cara yang ia bisa lakukan untuk menjalankan prinsip yang ada di dalam kata ambassador .
Kata ambassador berasal dari kata Latin ambactiare yang memiliki arti ”pergi dengan membawa misi” . Misi ini yang membedakan gaya diplomatik seorang duta besar dari satu negara ke negara lain atau dari satu masa kepemimpinan dengan kepemimpinan lain di sebuah negara. Perbedaan gaya diplomatik itu kadang-kadang menjadi trade mark di antara kalangan praktisi diplomatik.
Barston (2013) misalnya menyebut Inggris memiliki gaya diplomatik sebagai negara yang diplomatnya dikenal gemar dalam menulis atau merancang peran teknis lembagalembaga internasional seperti konvensi, aturan atau norma. Norwegia yang juga dikenal dengan diplomasi mediasi untuk wilayah-wilayah konflik yang terpencil dan Jepang yang piawai dalam menyelenggarakan dan mendefinisikan peran sekretariat internasional karena mereka dikenal sangat text-book dan disiplin.
Gaya diplomatik itu bukan sesuatu yang permanen, tetapi dapat menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan terhadap lawan. Gaya diplomatik menjadi kajian akademik, terutama setelah Perang Dunia II. Sebelum Perang Dunia II, tugas dari diplomat dan duta besar adalah mengambil informasi sebanyak-banyaknya dari negara sahabat sebagai kepanjangan tangan dari sistem perang yang sedang terjadi atau akan terjadi.
Dalam kondisi demikian, gaya diplomatik setiap negara hampir mirip karena cenderung tidak bersahabat, hanya berteman dengan kelompok yang seideologi saja dan bersikap saling mencurigai. Perubahan terjadi setelah seusai Perang Dunia II di mana negosiasi menjadi media utama untuk menghindari atau mencegah konflik internasional. Apabila konflik telanjur terjadi, negosiasi menjadi penting un-tuk meminimalkan dampaknya agar tidak meluas.
Dalam konteks tersebut yang terjadi adalah upaya untuk saling memengaruhi dengan cara yang persuasif. Seorang duta besar dapat disebut berhasil apabila ia dapat memengaruhi mitranya untuk setuju dengan kepentingan kita tanpa mereka merasa merugi atau kehilangan sesuatu. Seorang duta besar bahkan disebut hebat apabila ia berhasil menjadikan negara lain pendukung kita.
Dalam konteks tersebut, kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri apakah dalam hubungan dengan negara-negara sahabat selama ini kita adalah pihak yang berhasil memengaruhi atau dipengaruhi? Dalam konteks itu pulalah peran DPR menjadi penting untuk menilai kemampuan para calon duta besar yang diajukan presiden.
Penilaiannya perlu disandingkan pula dengan detail negara-negara mana yang menurut kita telah berhasil berada di dalam barisan kita, negaranegara mana yang masih bimbang, dan negara mana yang sebetulnya justru telah berhasil ”memerdayai” kita. Dengan kata lain, DPR tidak hanya mengutamakan faktor untungrugi politik di dalam negeri untuk meloloskan atau tidak meloloskan para calon duta besar yang diusulkan,
tetapi DPR seharusnya juga bekerja mencari tahu dan menilai keberhasilan politik luar negeri kita di negara di mana para calon duta besar itu akan bekerja. Mari berharap bahwa para calon duta besar yang akan ditempatkan bakal bertugas di tempat yang sesuai dengan kompetensinya.
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional,
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
@dinnawisnu
Mereka memiliki latar belakang sebagai politisi, seniman, artis, atau purnawirawan TNI. Ada kekhawatiran bahwa mereka tidak dapat menjalankan tugas sebagai perwakilan negara karena mereka tidak memiliki atau tidak pernah berurusan dengan hal-hal yang menyangkut masalah-masalah hubungan internasional. Usulan nama-nama itu sendiri secara formal konstitusi adalah hak prerogatif seorang presiden.
Pertimbangan apa yang melandasi keputusannya juga adalah hak seorang presiden. Apa yang membedakannya dengan proses di zaman Pemerintahan Orde Baru adalah diperlukannya pertimbangan DPR. Dengan demikian, tanggung jawab besar juga ada di tangan DPR untuk memberikan pertimbangan yang baik dan benar.
Kecuali anggota DPR memiliki visi dan misi yang berbeda dengan presiden, sewajarnya ia memberikan pertimbangan yang sesuai dengan visi dan misi Presiden Jokowi yang sebenarnya terlihat jelas sejak masa kampanye. Presiden Jokowi menempatkan diplomasi ekonomi sebagai ujung tombak politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinannya. Oleh sebab itu, para duta besar yang dipilih tentu perlu menyesuaikan dengan visi dan misi presiden tersebut.
Mereka mungkin adalah orangorang yang diharapkan memiliki kemampuan untuk melakukan lobi, negosiasi, mengambil hati para investor luar negeri dan seterusnya. Selain alasan formal konstitusi, di sisi lain secara teoritis sejauh yang saya ketahui, belum ada yang pernah mengatakan bahwa keberhasilan politik luar negeri ditentukan oleh komposisi latar belakang para duta besarnya.
Tidak ada jaminan apakah duta besar yang memiliki latar belakang diplomat lebih berhasil dari mereka yang bukan diplomat. Atau sebaliknya juga tidak menjamin bahwa duta besar nonkarier lebih sukses daripada mereka yang sejak awal meniti karier dari bawah sebagai diplomat. Hal yang perlu diingat bahwa kerja diplomasi adalah kerja sistem sehingga apabila kita ingin mengkritisi kerja para duta besar, yang harus kita evaluasi adalah sistem manajemen politik luar negerinya.
Latar belakang duta besar juga berpengaruh dalam keberhasilan politik luar negeri. Saya sering menyaksikan banyak para diplomat Indonesia baik karier atau nonkarier yang kesulitan dalam bersosialisasi dengan para diplomat luar negeri. Bahasa mungkin menjadi masalah, tetapi yang lebih bahaya adalah terbatasnya pengetahuan diplomat di luar masalah politik.
Masalah ini terutama melanda para diplomat karier. Diplomasi tidak sekadar masalah politik, tetapi membangun kepercayaan melalui hal-hal yang terkadang jauh dari soal politik seperti kebudayaan, kuliner, kegiatan karitatif dan sebagainya. Duta besar yang berasal dari karier kadang-kadang sudah sibuk dengan tugas-tugas manajemen dan birokrasi sehingga mereka tidak dapat mengembangkan diri mempelajari halhal baru.
Sebaliknya para duta besar dari nonkarier kerap mengabaikan protokoler, kebiasaan, aturan-aturan formal dan informal dalam berkomunikasi dengan mitra mereka dari negara-negara lain sehingga mengakibatkan hubungan yang juga tidak baik. Akibatnya adalah tidak tercapai misi yang dimandatkan kepada mereka. Terlepas dari ideal mana yang harus dipenuhi, seorang duta besar ”hanya” perlu memenuhi dengan segala cara yang ia bisa lakukan untuk menjalankan prinsip yang ada di dalam kata ambassador .
Kata ambassador berasal dari kata Latin ambactiare yang memiliki arti ”pergi dengan membawa misi” . Misi ini yang membedakan gaya diplomatik seorang duta besar dari satu negara ke negara lain atau dari satu masa kepemimpinan dengan kepemimpinan lain di sebuah negara. Perbedaan gaya diplomatik itu kadang-kadang menjadi trade mark di antara kalangan praktisi diplomatik.
Barston (2013) misalnya menyebut Inggris memiliki gaya diplomatik sebagai negara yang diplomatnya dikenal gemar dalam menulis atau merancang peran teknis lembagalembaga internasional seperti konvensi, aturan atau norma. Norwegia yang juga dikenal dengan diplomasi mediasi untuk wilayah-wilayah konflik yang terpencil dan Jepang yang piawai dalam menyelenggarakan dan mendefinisikan peran sekretariat internasional karena mereka dikenal sangat text-book dan disiplin.
Gaya diplomatik itu bukan sesuatu yang permanen, tetapi dapat menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan terhadap lawan. Gaya diplomatik menjadi kajian akademik, terutama setelah Perang Dunia II. Sebelum Perang Dunia II, tugas dari diplomat dan duta besar adalah mengambil informasi sebanyak-banyaknya dari negara sahabat sebagai kepanjangan tangan dari sistem perang yang sedang terjadi atau akan terjadi.
Dalam kondisi demikian, gaya diplomatik setiap negara hampir mirip karena cenderung tidak bersahabat, hanya berteman dengan kelompok yang seideologi saja dan bersikap saling mencurigai. Perubahan terjadi setelah seusai Perang Dunia II di mana negosiasi menjadi media utama untuk menghindari atau mencegah konflik internasional. Apabila konflik telanjur terjadi, negosiasi menjadi penting un-tuk meminimalkan dampaknya agar tidak meluas.
Dalam konteks tersebut yang terjadi adalah upaya untuk saling memengaruhi dengan cara yang persuasif. Seorang duta besar dapat disebut berhasil apabila ia dapat memengaruhi mitranya untuk setuju dengan kepentingan kita tanpa mereka merasa merugi atau kehilangan sesuatu. Seorang duta besar bahkan disebut hebat apabila ia berhasil menjadikan negara lain pendukung kita.
Dalam konteks tersebut, kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri apakah dalam hubungan dengan negara-negara sahabat selama ini kita adalah pihak yang berhasil memengaruhi atau dipengaruhi? Dalam konteks itu pulalah peran DPR menjadi penting untuk menilai kemampuan para calon duta besar yang diajukan presiden.
Penilaiannya perlu disandingkan pula dengan detail negara-negara mana yang menurut kita telah berhasil berada di dalam barisan kita, negaranegara mana yang masih bimbang, dan negara mana yang sebetulnya justru telah berhasil ”memerdayai” kita. Dengan kata lain, DPR tidak hanya mengutamakan faktor untungrugi politik di dalam negeri untuk meloloskan atau tidak meloloskan para calon duta besar yang diusulkan,
tetapi DPR seharusnya juga bekerja mencari tahu dan menilai keberhasilan politik luar negeri kita di negara di mana para calon duta besar itu akan bekerja. Mari berharap bahwa para calon duta besar yang akan ditempatkan bakal bertugas di tempat yang sesuai dengan kompetensinya.
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional,
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
@dinnawisnu
(bbg)