Aturan Lemah, Bansos Disalahgunakan
A
A
A
JAKARTA - Maraknya kasus penyalahgunaan dana hibah dan bantuan sosial (bansos) tidak terlepas dari aturan yang lemah dan faktor pribadi kepala daerah. Ini pula yang menjadi salah satu faktor penyebab banyaknya kepala daerah terjerat kasus hukum.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan banyak faktor yang menyebabkan dana hibah dan bansos disalahgunakan. Selain karena faktor orang atau pribadi kepala daerah, lemahnya aturan juga menjadi penyebabnya.
”Kombinasi faktor manusianya dan lemahnya aturan. Maka dana bansos lebih sering dijadikan alat politik atau disalahgunakan dibandingkan untuk tujuan awalnya,” ujar dia saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Aturan mengenai pedoman hibah dan bansos memberikan ruang yang cukup luas bagi kepala daerah untuk melakukan diskresi, maka hal itu sangat mudah dikapitalisasi oleh kepala daerah.
Bansos sebenarnya bukan hal yang wajib, tetapi malah lebih sering diprioritaskan. Menurut dia, sering kali hibah dana bansos disalahgunakan untuk kepentingan politik kepala daerah, terutama jelang pilkada. Misalnya untuk kepentingan menaikkan elektabilitas, bantuan hibah atau bansos diklaim sebagai kebaikan oknum kepala daerah.
”Lalu citranya akan naik. Bahkan ada yang langsung dijadikan modal politik seperti membuat lembaga fiktif sebagai penerima hibah dan bansos atau memangkas anggaran tersebut,” imbuhnya.
Lantaran sering kali dimanfaatkan jelang pilkada, akan lebih baik jika dana hibah dan bansos dimoratorium untuk sementara waktu hingga pilkada selesai. Hal itu dapat meminimalisasi penyalahgunaan hibah dan bansos. Di samping itu, perlu diperbaiki proses penganggaran dana hibah dan bansos, yakni lebih terbuka, agar peruntukannya sesuai dengan tujuan.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yeni Sucipto. Dikatakan dia, lemahnya aturan membuka ruang korupsi dana hibah dan bansos.
Dalam Pasal 30 a Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 39/2012 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 32/2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), disebutkan bahwa kepala daerah mencantumkan daftar nama penerima, alamat penerima, dan besaran bansos dalam Lampiran IV Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD, tidak termasuk bansos kepada individu dan/- atau keluarga yang tidak dapat direncanakan sebelumnya.
”Soal pemberian menjadi kewenangan kepala daerah. Itu sebabnya mengapa bansos rawan digunakan elite politik menjelang pilkada,” ungkapnya. Bahkan, menurut dia, aturan ini bertentangan dengan aturan di atasnya, yakni Pasal 3 UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam pengelolaan keuangan negara harus berdasarkan prinsip dan asas yang telah diatur. Maka dari itu revisi aturan menjadi kunci pembenahan penyaluran dana hibah dan bansos. Selain itu, perlu dibangun kembali format penganggaran hibah dan bansos yang lebih transparan sesuai tujuan, yakni untuk kerentanan sosial dan bencana alam.
”Perlu ditegaskan kembali mengenai regulasinya. Bansos lebih baik dianggarkan di SKPD (satuan kerja perangkat daerah) agar lebih jelas penggunaannya,” ujarnya. Yeni juga menilai anggaran hibah dan bansos lebih sering digunakan untuk mobilisasi politik.
Apalagi berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2005-2014 terdapat Rp300 triliun dana hibah dan bansos yang diberikan menjelang pilkada. Beberapa kasus yang pernah mereka temukan, dana tersebut digunakan menjelang pilkada, ada juga laporan fiktif, tidak dipertanggungjawabkan penggunaannya, dan bahkan disunat.
Adapun modusnya, misalnya seharusnya pencairan 3-4 kali, tapi hanya 2 kali dan penerima disuruh tanda tangan 4 kali. Dia memperkirakan pada pilkada serentak tahun ini dana hibah dan bansos akan rawan dipolitisasi.
Berdasarkan data yang dimilikinya, dari 269 daerah, 162 daerah atau 60% petahana daerah maju kembali dalam kontestasi pilkada. ”Petahana yang paling diuntungkan. Makanya ada calon tunggal karena lawannya takut maju. Petahana modalnya kuat,” tuturnya.
Sementara itu , Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek mengatakan, mereka segera merevisi Permendagri Nomor 39/2012 tersebut. Meski sebenarnya Permendagri tersebut sudah merupakan hasil rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dia mengakui bahwa hibah dan bansos sangat rawan disalahgunakan. Sering kali kepala daerah menggunakan dana tersebut di luar tujuan sebenarnya. ”Hibah dan bansos itu tidak wajib, yakni hanya untuk kerawanan sosial. Nah ini yang dibiaskan tujuannya akhirnya sangat elitis,” paparnya.
Pria yang akrab dengan sapaan Donny ini mengungkapkan, fenomena korupsi dana hibah sering kali disebabkan oleh perilaku dari oknum kepala daerah. Antara tujuan dan pihak yang menerima tidak berbanding lurus dengan kenyataan. ”Kebenaran tujuan harus berbanding lurus dengan bukti pertanggungjawaban. Sayangnya ini kadang tidak terjadi,” ucapnya.
Dita Angga
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan banyak faktor yang menyebabkan dana hibah dan bansos disalahgunakan. Selain karena faktor orang atau pribadi kepala daerah, lemahnya aturan juga menjadi penyebabnya.
”Kombinasi faktor manusianya dan lemahnya aturan. Maka dana bansos lebih sering dijadikan alat politik atau disalahgunakan dibandingkan untuk tujuan awalnya,” ujar dia saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Aturan mengenai pedoman hibah dan bansos memberikan ruang yang cukup luas bagi kepala daerah untuk melakukan diskresi, maka hal itu sangat mudah dikapitalisasi oleh kepala daerah.
Bansos sebenarnya bukan hal yang wajib, tetapi malah lebih sering diprioritaskan. Menurut dia, sering kali hibah dana bansos disalahgunakan untuk kepentingan politik kepala daerah, terutama jelang pilkada. Misalnya untuk kepentingan menaikkan elektabilitas, bantuan hibah atau bansos diklaim sebagai kebaikan oknum kepala daerah.
”Lalu citranya akan naik. Bahkan ada yang langsung dijadikan modal politik seperti membuat lembaga fiktif sebagai penerima hibah dan bansos atau memangkas anggaran tersebut,” imbuhnya.
Lantaran sering kali dimanfaatkan jelang pilkada, akan lebih baik jika dana hibah dan bansos dimoratorium untuk sementara waktu hingga pilkada selesai. Hal itu dapat meminimalisasi penyalahgunaan hibah dan bansos. Di samping itu, perlu diperbaiki proses penganggaran dana hibah dan bansos, yakni lebih terbuka, agar peruntukannya sesuai dengan tujuan.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yeni Sucipto. Dikatakan dia, lemahnya aturan membuka ruang korupsi dana hibah dan bansos.
Dalam Pasal 30 a Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 39/2012 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 32/2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), disebutkan bahwa kepala daerah mencantumkan daftar nama penerima, alamat penerima, dan besaran bansos dalam Lampiran IV Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD, tidak termasuk bansos kepada individu dan/- atau keluarga yang tidak dapat direncanakan sebelumnya.
”Soal pemberian menjadi kewenangan kepala daerah. Itu sebabnya mengapa bansos rawan digunakan elite politik menjelang pilkada,” ungkapnya. Bahkan, menurut dia, aturan ini bertentangan dengan aturan di atasnya, yakni Pasal 3 UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam pengelolaan keuangan negara harus berdasarkan prinsip dan asas yang telah diatur. Maka dari itu revisi aturan menjadi kunci pembenahan penyaluran dana hibah dan bansos. Selain itu, perlu dibangun kembali format penganggaran hibah dan bansos yang lebih transparan sesuai tujuan, yakni untuk kerentanan sosial dan bencana alam.
”Perlu ditegaskan kembali mengenai regulasinya. Bansos lebih baik dianggarkan di SKPD (satuan kerja perangkat daerah) agar lebih jelas penggunaannya,” ujarnya. Yeni juga menilai anggaran hibah dan bansos lebih sering digunakan untuk mobilisasi politik.
Apalagi berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2005-2014 terdapat Rp300 triliun dana hibah dan bansos yang diberikan menjelang pilkada. Beberapa kasus yang pernah mereka temukan, dana tersebut digunakan menjelang pilkada, ada juga laporan fiktif, tidak dipertanggungjawabkan penggunaannya, dan bahkan disunat.
Adapun modusnya, misalnya seharusnya pencairan 3-4 kali, tapi hanya 2 kali dan penerima disuruh tanda tangan 4 kali. Dia memperkirakan pada pilkada serentak tahun ini dana hibah dan bansos akan rawan dipolitisasi.
Berdasarkan data yang dimilikinya, dari 269 daerah, 162 daerah atau 60% petahana daerah maju kembali dalam kontestasi pilkada. ”Petahana yang paling diuntungkan. Makanya ada calon tunggal karena lawannya takut maju. Petahana modalnya kuat,” tuturnya.
Sementara itu , Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek mengatakan, mereka segera merevisi Permendagri Nomor 39/2012 tersebut. Meski sebenarnya Permendagri tersebut sudah merupakan hasil rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dia mengakui bahwa hibah dan bansos sangat rawan disalahgunakan. Sering kali kepala daerah menggunakan dana tersebut di luar tujuan sebenarnya. ”Hibah dan bansos itu tidak wajib, yakni hanya untuk kerawanan sosial. Nah ini yang dibiaskan tujuannya akhirnya sangat elitis,” paparnya.
Pria yang akrab dengan sapaan Donny ini mengungkapkan, fenomena korupsi dana hibah sering kali disebabkan oleh perilaku dari oknum kepala daerah. Antara tujuan dan pihak yang menerima tidak berbanding lurus dengan kenyataan. ”Kebenaran tujuan harus berbanding lurus dengan bukti pertanggungjawaban. Sayangnya ini kadang tidak terjadi,” ucapnya.
Dita Angga
(bbg)