NU-Muhammadiyah Perlu Kawal Demokrasi

Jum'at, 07 Agustus 2015 - 09:49 WIB
NU-Muhammadiyah Perlu Kawal Demokrasi
NU-Muhammadiyah Perlu Kawal Demokrasi
A A A
JAKARTA - Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang memiliki kepemimpinan baru pascamuktamar dituntut bersinergi dan berkontribusi mengawal moral politik dan demokrasi di Indonesia yang saat ini dalam masa transisi pendewasaan.

Dorongan tersebut disampaikan sejumlah tokoh seperti mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Bambang Cipto menyikapi hasil muktamar kemarin.

Untuk diketahui, Muktamar Ke- 33 NU di Jombang, Jawa Timur, telah memilih KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum PBNU periode 2015-2020. Adapun Muktamar Ke- 47 Muhammadiyah di Makassar, Sulawesi Selatan, menetapkan Haedar Nashir sebagai ketua umum PP Muhammadiyah periode 2015-2020.

Din Syamsuddin berharap NU dan Muhammadiyah terus bersinergi setelah dua ormas Islam ini merampungkan muktamar. ”Saya terobsesi dengan dua ormas Islam ini. Muhammadiyah-NU kalau kata Cak Nur itu ibarat dua sayap besar pesawat Boeing,” ujar Din di sela-sela Muktamar Ke-47 Muhamma-diyah di Makassar kemarin.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu mengakui mengenal baik para petinggi NU yang memiliki sifat terbuka. Dengan begitu, hubungan dua ormas besar di Indonesia ini bernuansa cair. Din mencontohkan persahabatannya dengan Wakil Ketua MUI KH Ma’ruf Amin yang kini telah diangkat menjadi rais aam PBNU lewat muktamarnya di Jombang, Jawa Timur.

Menurut Komaruddin Hidayat, saat ini kritik terhadap demokrasi adalah terjadinya defisit politisi negarawan, di sisi lain politisi korup tak henti bermunculan. ”Dua ormas ini dengan kepemimpinan yang dihasilkan muktamar hendaknya ikut mengawal demokrasi dengan berkontribusi mengisi atau menempatkan putra-putri terbaiknya dalam politik dan pemerintahan,” kata Komaruddin kepada KORAN SINDO kemarin.

Kontribusi dua ormas Islam terbesar di Indonesia itu perlu dilakukan tanpa menghilangkan independensinya. Dari sisi ideologi, kedua pimpinan ormas tersebut juga dituntut tetap bisa menjadi benteng terdepan dalam menghalau radikalisme.

Baik NU maupun Muhammadiyah, tandas Komaruddin, adalah kekuatan ormas keagamaan yang berperan menjaga NKRI dan ideologi Pancasila dengan mengembangkan Islam yang moderat. ”Tantangan berikutnya tentu harus ikut mengembangkan ekonomi rakyat dan pendidikan,” ujarnya.

Kedua pimpinan ormas itu juga bisa berkontribusi mewujudkan visinya sesuai dengan tema muktamar kali ini. NU dengan tema ” Meneguhkan Islam Nusantara untuk Membangun Peradaban Indonesia dan Dunia” dan Muhammadiyah dengan ” Gerakan Pencerahan Menuju Islam Berkemajuan” jika digabungkan akan menjadi ” Islam Nusantara yang Berkemajuan” .

Namun pemerintah juga diminta tak tinggal diam atas kondisi saat ini. Dia meminta pemerintah dengan topangan partai politik tidak menimbulkan beban bagi NU maupun Muhammadiyah di masa mendatang. ”Kalau parpolnya beres, mestinya NU dan Muhammadiyah cukup di kemasyarakatan. Tapi karena kondisinya seperti sekarang, ormas seperti NU dan Muhammadiyah memang perlu berkontribusi,” jelasnya.

Sementara Bambang Cipto menilai Muhammadiyah ke depan perlu mengembangkan bidang ekonomi, sains, dan teknologi karena bidang-bidang itu selama ini kurang mendapatkan perhatian.

Menurut dia, Muhammadiyah sebenarnya memiliki beberapa ilmuwan, tetapi belum dapat memberikan sumbangan kepada Indonesia dari segi perkembanganekonomi, sains, dan teknologi sehingga isu tersebut patut untuk diperhatikan.

Janji Tak Terjun ke Politik

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengungkapkan, beberapa program prioritas yang akan dilakukan di antaranya melanjutkan dan menguatkan kembali program pendidikan di semua tingkatan pendidikan. ”Terutama generasi muda NU agar sebagai penerima tongkat estafet paham ahlussunnah waljamaah (aswaja) siap dalam menghadapi kelompok radikal, teroris, selain ada juga kelompok liberal dan sekuler,” ucapnya.

Kemudian revitalisasi aset milik yang belum kembali ke pangkuan NU dan penerapan manajemen organisasi modern secara utuh tanpa meninggalkan peran dari para ulama. Termasuk meningkatkan kembali kegiatan-kegiatan NU di semua tingkatan untuk kembali ke pesantren.

”Itu dilakukan setelah terlebih dahulu merangkul semua pihak yang berkompetisi dalam muktamar untuk bersama membangun NU menjadi lebih baik sehingga dapat dijadikan model percontohan Islam yang rahmatan lil alamin,” ujarnya.

PBNU juga akan fokus pada bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat kecil sehingga setiap cabang di Indonesia memiliki universitas dan rumah sakit NU. Untuk itu, Said berjanji, tidak akan berpolitik karena dirinya minim pengalaman.

”Tidak ada agenda politik, agenda saya adalah agenda NU. Saya tidak berpengalaman politik, kalau berpolitik nanti salah, saya nggak punya kepentingan politik praktis, saya bisanya ceramah, khotbah, dan ngaji .”

Ketua Umum PP Muhammadiyah terpilih Haedar Nashir menegaskan Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun, tidak membangun partai politik, tapi membangun komunikasi dengan semua kekuatan politik.

”Muhammadiyah adalah ormas yang bersikap independen,” kata Haedar kepada pers seusai disetujui forum muktamar sebagai ketua umum di Kampus Universitas Muhammadiyah Makassar tadi malam.

Muktamar juga memilih Abdul Mu’ti sebagai sekretaris umum PP Muhammadiyah. Kader yang tertarik untuk berkiprah di dunia politik, menurut dia, tentu harus melalui pendidikan politik yang baik. Haedar mengakui, dalam sidang pleno ketiga mengenai penyampaian dinamika wilayah dan organisasi otonom, banyak yang mengusulkan dan merekomendasi soal posisi Muhammadiyah di dunia politik. ”Kami memandang usulan itu sebagai dinamika,” katanya.

Haedar Nashir dan istrinya masing-masing mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan ketua umum Muhammadiyah dan Aisiyah. Haedar mendapat 1.947 suara formatur PP Muhammadiyah serta Noordjanah Djohantini 1.480 suara formatur Aisiyah. ”Saya kira tidak masalah, kalau itu sudah merupakan pilihan dari muktamirun dan muktamirat . Kalauitu adalah kehendak muktamar, maka tidak perlu dipermasalahkan,” ujar Din Syamsuddin.

Duet suami istri sebetulnya bukan yang pertama kali dialami Muhammadiyah dan Aisiyah. Saat baru dibentuk, keduanya sempat dipimpin KH Ahmad Dahlan dan istrinya Nyai Siti Walidah selama beberapa tahun. ”Jadi tidak perlu dipersepsikan secara lain kalaupun keduanya jadi ketua,” ungkap Din.

Berdasarkan perhitungan, KH Said Aqil meraih 287 suara. Selanjutnya (di urutan kedua) As’ad Said Ali memperoleh 107 suara, Salahuddin Wahid (Gus Sholah) 10 suara, Hilmi Muhammadiyah3suarasertaMustofa Bisri (Gus Mus), M Adnan, dan Idrus Romli masing-masing memperoleh satu suara. Sisanya sebanyak 2 suara abstain.

Sedianya As’ad Said Ali bisa melanjutkan pemilihan pada putaran kedua karena perolehan suaranya berhasil melampaui 99 suara seperti yang ditentukan. Namun mantan Wakil Kepala BIN itu mengundurkan diri dari pencalonan.

Di sisi lain, penetapan Gus Mus sebagai rais aam PBNU periode 2015-2020 oleh ahlul halli wal aqdi (AHWA) tak bisa terwujud karena pengasuh Ponpes Raudhatut Thalibin Rembang itu tetap menolak menerima kepercayaan itu.

Karena Gus Mus tetap tak bersedia, secara otomatis posisi rais aam dipegang oleh peraih suara terbanyak anggota AHWA, yakni KH Ma’ruf Amin.

Rahmat sahid/ Dian ramdhani/Sucipto/ Ihya ulumuddin/ant
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7700 seconds (0.1#10.140)