Pelopori Terwujudnya Masyarakat Toleran
A
A
A
JOMBANG - Nahdlatul Ulama (NU) mengharapkan bisa menjadi pelopor dalam mewujudkan masyarakat yang toleran, moderat, dan ramah, baik untuk Indonesia maupun dunia.
”Kami ingin jadi pelopor dalam mewujudkan masyarakat yang demikian, juga menjaga kebudayaan dan kearifan lokal serta terbuka bagi gagasan baru yang selaras dengan tujuan, cita-cita, dan perjuangan NU,” kata Ketua Komisi Rekomendasi Muktamar ke-33 NU Masduki Baidlowi kemarin.
Masduki mengatakan, hal tersebut direkomendasikan oleh peserta sidang Komisi Rekomendasi Muktamar ke-33 NU di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Selasa (4/8).
Pada saat sidang rekomendasi NU tersebut, kaum nahdliyin juga menghendaki agar umat Islam melakukan strategi dakwah yang produktif dan mendukung eksistensi NKRI, bukan dakwah yang menimbulkan reaksi negatif agama lain yang justru merugikan umat Islam sendiri.
NU juga meminta pemerintah untuk tegas dalam mencegah dan menindak berbagai kelompok yang bertujuan merongrong dan mengubah konsensus nasional yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terkait insiden Tolikara, Papua, NU mengecam kejadian tersebut dan mendesak pemerintah menyelesaikan sampai tuntas akar masalah tersebut dengan melakukan berbagai langkah yaitu penegakan hukum pada semua pihak yang bersalah. ”Lalu memfasilitasi resolusi konflik agar terjadi penyelesaian secara sosial dan tidak menyebar ke wilayah lain serta melakukan pemulihan baik infrastruktur, sosial, dan psikologis,” ujar Masduki.
NU juga mengingatkan semua pemeluk agama agar mewaspadai dan menangkal tumbuhnya radikalisme dengan menggunakan baju agama yang bisa mengancam harmoni umat beragama dan keutuhan NKRI.
NU juga berpandangan relasi mayoritas dan minoritas sebagai fakta sosial jangan digunakan sebagai alat menghegemoni dan mengontrol kelompok lain. ”Harus disadari, tindakan keagamaan yang mengancam eksistensi kelompok lain di sebuah wilayah akan cepat menyebar dan reaksi balasan di tempat lain. Ini yang kita semua ingin jaga,” ujarnya.
Sementara itu, Komisi C bidang organisasi memutuskan untuk memasukkan sistem ahlul halli wal ‘aqdi (AHWA) dalam pemilihan rais aam dan tanfidziyah pada Muktamar NU yang akan datang. Keputusan tersebut seirama dengan hasil Forum Rais Syuriah. ”Sudah sepakat mekanisme AHWA, tapi diberlakukan untuk pemilihan pada muktamar ke-34,” kata Ketua PCNU Babat KH Sisyanto kemarin.
Hasil putusan ini dimasukkan ke dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) baru dan pemberlakuannya akan dilakukan pada muktamar yang akan datang. Berbeda dengan rapat Syuriah yang memutuskan sistem AHWA berlaku pada muktamar saat ini.
Sucipto/ant
”Kami ingin jadi pelopor dalam mewujudkan masyarakat yang demikian, juga menjaga kebudayaan dan kearifan lokal serta terbuka bagi gagasan baru yang selaras dengan tujuan, cita-cita, dan perjuangan NU,” kata Ketua Komisi Rekomendasi Muktamar ke-33 NU Masduki Baidlowi kemarin.
Masduki mengatakan, hal tersebut direkomendasikan oleh peserta sidang Komisi Rekomendasi Muktamar ke-33 NU di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Selasa (4/8).
Pada saat sidang rekomendasi NU tersebut, kaum nahdliyin juga menghendaki agar umat Islam melakukan strategi dakwah yang produktif dan mendukung eksistensi NKRI, bukan dakwah yang menimbulkan reaksi negatif agama lain yang justru merugikan umat Islam sendiri.
NU juga meminta pemerintah untuk tegas dalam mencegah dan menindak berbagai kelompok yang bertujuan merongrong dan mengubah konsensus nasional yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terkait insiden Tolikara, Papua, NU mengecam kejadian tersebut dan mendesak pemerintah menyelesaikan sampai tuntas akar masalah tersebut dengan melakukan berbagai langkah yaitu penegakan hukum pada semua pihak yang bersalah. ”Lalu memfasilitasi resolusi konflik agar terjadi penyelesaian secara sosial dan tidak menyebar ke wilayah lain serta melakukan pemulihan baik infrastruktur, sosial, dan psikologis,” ujar Masduki.
NU juga mengingatkan semua pemeluk agama agar mewaspadai dan menangkal tumbuhnya radikalisme dengan menggunakan baju agama yang bisa mengancam harmoni umat beragama dan keutuhan NKRI.
NU juga berpandangan relasi mayoritas dan minoritas sebagai fakta sosial jangan digunakan sebagai alat menghegemoni dan mengontrol kelompok lain. ”Harus disadari, tindakan keagamaan yang mengancam eksistensi kelompok lain di sebuah wilayah akan cepat menyebar dan reaksi balasan di tempat lain. Ini yang kita semua ingin jaga,” ujarnya.
Sementara itu, Komisi C bidang organisasi memutuskan untuk memasukkan sistem ahlul halli wal ‘aqdi (AHWA) dalam pemilihan rais aam dan tanfidziyah pada Muktamar NU yang akan datang. Keputusan tersebut seirama dengan hasil Forum Rais Syuriah. ”Sudah sepakat mekanisme AHWA, tapi diberlakukan untuk pemilihan pada muktamar ke-34,” kata Ketua PCNU Babat KH Sisyanto kemarin.
Hasil putusan ini dimasukkan ke dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) baru dan pemberlakuannya akan dilakukan pada muktamar yang akan datang. Berbeda dengan rapat Syuriah yang memutuskan sistem AHWA berlaku pada muktamar saat ini.
Sucipto/ant
(ftr)