Pilkada dan Akuntabilitas

Rabu, 05 Agustus 2015 - 08:42 WIB
Pilkada dan Akuntabilitas
Pilkada dan Akuntabilitas
A A A
Minggu ini kita menyaksikan dua kejadian politik yang ekstrem sekaligus menarik untuk dicermati. Pertama adalah fenomena pilkada pasangan tunggal di beberapa daerah, dan kedua adalah ditahannya Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho atas tuduhan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua peristiwa itu menimbulkan potensi kerugian yang sama, yaitu risiko terhambatnya pembangunan karena kekosongan pemimpin yang dianggap berwenang didaerah tersebut.

Kalaupun ada pemimpin baru yang lahir, misalnya sebagai calon tunggal atau seorang wakil pejabat daerah yang naik menggantikan pejabat yang tertangkap karena tuduhan korupsi, maka akan muncul problem legitimasi yang tidak mustahil rawan konflik, karena mereka tidak dianggap mewakili aspirasi masyarakat. Kedua peristiwa ini mengingatkan saya tentang konsep akuntabilitas.

Konsep ini sendiri berasal dari kata dan praktik akuntansi dalam sistem keuangan. Menurut Boven (2006), kata akuntabilitas mulai digunakan di luar sistem keuangan dan masuk ke dalam ranah politik pada saat pemerintahan Raja William I di Inggris. Kata itu mulai digunakan untuk menilai kinerja pemerintahan.

Ia mencatat bahwa kata ”akuntabilitas” mulai benar-benar dipergunakan dalam wacana pemerintahan dan politik ketika diperkenalkan oleh pemerintahan konservatif Margaret Thatcher di Inggris dan dalam program-program Reinventing Government di bawah pemerintahan Clinton- Gore di Amerika Serikat.

Konsep akuntabilitas kerap dipakai untuk merujuk pada praktik tata kelola pemerintahan yang bersih. Kata ini juga dapat dipandang sebagai kata kunci untuk transparency, equity, democracy, efficiency, responsiveness, responsibility, dan integrity. Begitu banyaknya kata ini digunakan dalam konteks yang berbeda-beda sehingga sering kali membingungkan.

Intinya bahwa akuntabilitas adalah indikator untuk mengukur kinerja pemerintahan. Mereka yang memiliki kekuasaan harus menjawab pertanyaan masyarakat yang dilayaninya. Masyarakat memberikan mandat pada negara untuk memungut pajak, merancang anggaran, dan menggunakannya sesuai dengan peruntukannya. Namun demikian, akuntabilitas itu memiliki dua mekanisme yaitu akuntabilitas horizontal dan akuntabilitas vertikal.

Akuntabilitas horizontal terkait dengan sistem pengawasan yang dilakukan oleh sebuah lembaga pemerintah terhadap lembaga lain. Dalam kasus ini, lembaga KPK telah melakukan tugasnya untuk mengawasi lembaga pemerintahan daerah. Namun di kasus yang sama, Pengadilan Tata Usaha Negara gagal untuk menjembatani pencari keadilan yang terlibat dalam kasus tersebut.

Akuntabilitas yang lain yaitu akuntabilitas vertikal adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil terhadap lembaga-lembaga negara. Masyarakat sipil mengawasi dan memberikan penilaian apakah sebuah lembaga atau pemerintahan memiliki kinerja yang baik atau buruk.

Akuntabilitas ini biasanya digunakan pada saat masyarakat mengikuti pemilihan umum, baik untuk memilih presiden maupun kepala daerah. Apabila rakyat menilai pemimpin daerahnya melakukan kinerja yang buruk, masyarakat akan menggantinya dengan pemimpin yang lain; sebaliknya apabila memiliki kinerja baik maka akan dipilih kembali.

Masalah timbul ketika sistem atau model demokrasi tidak sejalan dengan prinsip akuntabilitas vertikal tersebut. Ini terjadi dalam kasus calon tunggal pasangan yang akan mengikuti pilkada. Ketiadaan lawan tanding dalam pilkada dapat disebabkan karena adanya ketidakseimbangan antara demokrasi yang bersifat prosedural dan yang substantif.

Demokrasi prosedural mengedepankan mekanisme dan prosedur pemilihan umum sebagai cara menjaga terpenuhinya pergantian kekuasaan secara damai dan sesuai dengan prinsip-prinsip keterwakilan. Sementara itu, demokrasi substantif mengedepankan kualitas keterwakilan yang dimiliki masyarakat untuk mengawal kekuasaan, termasuk dengan mengutamakan hak-hak masyarakat sipil dan kebebasan berpendapat.

Penguatan demokrasi prosedural adalah pilihan yang tidak bisa diabaikan ketika sistem demokrasi dianut melalui proses reformasi. Hal-hal teknis terkait prosedur, aturan main, serta mekanisme menjadi penting untuk disepakati sebagai dasar penyelenggara-an demokrasi yang rutin.

Sementara itu, demokrasi substantif cenderung dikembangkan sebagai norma-norma yang pertamatama diperkenalkan dahulu pada masyarakat sebelum akhirnya bisa dikembangkan sesuai kesepakatan umum dalam masyarakat.

Dari dua kasus yang berkembang di Indonesia tadi, dapat disimpulkan bahwa demokrasi prosedural sering digaungkan dalam wacana-wacana bertajuk akuntabilitas, tetapi para penyusun undangundang (UU) kurang memikirkan segala dimensi masalah yang mungkin terjadi.

Akibatnya, antisipasi dalam UU itu sendiri menjadi tidak lengkap. Ada indikasi bahwa para penyusun UU di Indonesia kurang mendalami karakter dan kecenderungan sikap warga negara, partai politik, maupun elite politik. Jika ditelusuri lebih lanjut, ini merupakan indikator lemahnya mekanisme pelibatan masyarakat sipil dalam proses penyusunan UU.

Wajar jika kemudian produk perundang-undangan yang ada cenderung gagal di praktik implementasi. Semoga ini menjadi pembelajaran bersama terkait pentingnya mengedepankan demokrasi substantif dalam fase reformasi saat ini di Indonesia.

DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional,
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
@dinnawisnu
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0969 seconds (0.1#10.140)