Masalah Nonfisik di Balik Urbanisasi
A
A
A
Urbanisasi memang bukanlah persoalan yang mudah untuk diselesaikan. Butuh proses yang tidak instan untuk menuntaskan (salah satu) permasalahan bangsa yang klasik ini.
Berbagai perdebatan dan dialog mengenai fenomena ini pun mengemuka dengan ramai di ruang publik, terutama pasca- Idul Fitri karena pada momentum inilah biasanya lonjakan arus urbanisasi meningkat. Urbanisasi tentu tidak semuanya dan selamanya memberikan dampak yang buruk. Namun, tentu bukanlah hal yang baik manakala arus urbanisasi itu mengalir terlalu kencang karena hal tersebut setidaknya akan bermuara pada dua hal.
Pertama, desa menjadi “sepi” karena ditinggalkan oleh warganya yang produktif. Hal ini dapat mengakibatkan tersendatnya laju pembangunan desa (daerah). Kedua, kota akan menjadi sangat padat. Jika tidak diimbangi dengan fasilitas yang mendukung, dampak negatif seperti pengangguran, kemacetan, hingga kriminalitas pun akan tumbuh dengan subur.
Dalam hal ini, menarik untuk diungkap data yang telah dikemukakan oleh saudara M Hazmi Ash Shidqi lewat tulisannya “ Pemerataan Infrastruktur untuk Meminimalisasi Urbanisasi “ dalam kolom Poros Mahasiswa (KORAN SINDO , 16/7) yang menyebutkan bahwa pada beberapa dekade 1980-an yang lalu, mayoritas penduduk Indonesia (78%) berada di perdesaan.
Namun, saat ini keadaan justru terbalik. Jumlah penduduk desa nyaris tidak banyak berubah, berkutat di sekitar angka 120 juta jiwa. Di sisi yang lain, jumlah penduduk kota meningkat empat kali lipat, dari 32,76 juta jiwa pada 1980 menjadi 123,12 juta jiwa pada 2013. Kesenjangan sosial, ekonomi, dan infrastruktur sebagai akibat dari pemerataan (keadilan) pembangunan yang belum berhasil dinilai oleh banyak kalangan sebagai akar dari urbanisasi ini.
Namun, menurut hemat penulis, akar permasalahan dan solusi yang harus dicari dari fenomena urbanisasi ini tidaklah cukup hanya bersandar pada berbagai hal yang bersifat fisik dan ekonomis semata. Benar memang jika ada kesenjangan ekonomi dan berbagai fasilitas (fisik) antara desa dan kota merupakan faktor yang dominan.
Namun, di balik itu semua, ada faktor nonfisik berupa “mental dan budaya pikir” masyarakat desa yang perlu diubah. Pandangan masyarakat desa yang telanjur melihat kota sebagai “hamparan emas” yang harus didatangi karena mudah mencari nafkah sebab lapangan kerja melimpah serta desa yang dianggap sebagai “ladang derita” yang harus ditinggalkan merupakan faktor yang harus diperhatikan.
Lebih dalam lagi, mental instan, gampang tergiur oleh gemerlap kemudahan hidup di kota, budaya gotong-royong dan kebersamaan yang kian terkikis merupakan faktor nonfisik yang layak diperhatikan.
Dalam hal ini, perlu kesadaran dan kerja keras dari segenap komponen bangsa untuk mengembalikan etos kerja masyarakat desa yang diiringi oleh semangat dan nilainilai gotong-royong dan kebersamaan.
RIDWAN NANDA MULYANA
Mahasiswa Jurusan Sejarah, FIB Universitas Diponegoro, Semarang
Berbagai perdebatan dan dialog mengenai fenomena ini pun mengemuka dengan ramai di ruang publik, terutama pasca- Idul Fitri karena pada momentum inilah biasanya lonjakan arus urbanisasi meningkat. Urbanisasi tentu tidak semuanya dan selamanya memberikan dampak yang buruk. Namun, tentu bukanlah hal yang baik manakala arus urbanisasi itu mengalir terlalu kencang karena hal tersebut setidaknya akan bermuara pada dua hal.
Pertama, desa menjadi “sepi” karena ditinggalkan oleh warganya yang produktif. Hal ini dapat mengakibatkan tersendatnya laju pembangunan desa (daerah). Kedua, kota akan menjadi sangat padat. Jika tidak diimbangi dengan fasilitas yang mendukung, dampak negatif seperti pengangguran, kemacetan, hingga kriminalitas pun akan tumbuh dengan subur.
Dalam hal ini, menarik untuk diungkap data yang telah dikemukakan oleh saudara M Hazmi Ash Shidqi lewat tulisannya “ Pemerataan Infrastruktur untuk Meminimalisasi Urbanisasi “ dalam kolom Poros Mahasiswa (KORAN SINDO , 16/7) yang menyebutkan bahwa pada beberapa dekade 1980-an yang lalu, mayoritas penduduk Indonesia (78%) berada di perdesaan.
Namun, saat ini keadaan justru terbalik. Jumlah penduduk desa nyaris tidak banyak berubah, berkutat di sekitar angka 120 juta jiwa. Di sisi yang lain, jumlah penduduk kota meningkat empat kali lipat, dari 32,76 juta jiwa pada 1980 menjadi 123,12 juta jiwa pada 2013. Kesenjangan sosial, ekonomi, dan infrastruktur sebagai akibat dari pemerataan (keadilan) pembangunan yang belum berhasil dinilai oleh banyak kalangan sebagai akar dari urbanisasi ini.
Namun, menurut hemat penulis, akar permasalahan dan solusi yang harus dicari dari fenomena urbanisasi ini tidaklah cukup hanya bersandar pada berbagai hal yang bersifat fisik dan ekonomis semata. Benar memang jika ada kesenjangan ekonomi dan berbagai fasilitas (fisik) antara desa dan kota merupakan faktor yang dominan.
Namun, di balik itu semua, ada faktor nonfisik berupa “mental dan budaya pikir” masyarakat desa yang perlu diubah. Pandangan masyarakat desa yang telanjur melihat kota sebagai “hamparan emas” yang harus didatangi karena mudah mencari nafkah sebab lapangan kerja melimpah serta desa yang dianggap sebagai “ladang derita” yang harus ditinggalkan merupakan faktor yang harus diperhatikan.
Lebih dalam lagi, mental instan, gampang tergiur oleh gemerlap kemudahan hidup di kota, budaya gotong-royong dan kebersamaan yang kian terkikis merupakan faktor nonfisik yang layak diperhatikan.
Dalam hal ini, perlu kesadaran dan kerja keras dari segenap komponen bangsa untuk mengembalikan etos kerja masyarakat desa yang diiringi oleh semangat dan nilainilai gotong-royong dan kebersamaan.
RIDWAN NANDA MULYANA
Mahasiswa Jurusan Sejarah, FIB Universitas Diponegoro, Semarang
(ftr)