Menyoal Kebebasan

Sabtu, 25 Juli 2015 - 11:24 WIB
Menyoal Kebebasan
Menyoal Kebebasan
A A A
Kebebasan (freedom) bisa dibedakan menjadi dua: bebas untuk melakukan apa saja (freedom to) yang biasa disebut postive freedom dan bebas dari intervensi orang lain (freedom from) yang disebut negative freedom.

Para pemikir dan pejuang hak asasi manusia tentu menggarisbawahi dan membela kebebasan dalam pengertian yang kedua. Bahwa seseorang dikatakan bebas merdeka tatkala terbebas dari berbagai intervensi dan tekanan dari orang lain. Termasuk juga merdeka dan bebas dari kelaparan, penyakit, dan penderitaan hidup lainnya.

Dengan demikian, bisa saja secara lahiriah material seseorang terlihat kaya dengan jabatan tinggi, tetapi jiwanya belum tentu merdeka jika ternyata hidupnya di bawah tekanan dan penindasan pihak lain. Sebuah negara secara de jure bisa saja berstatus merdeka, tapi jika terlilit utang dan martabat bangsanya dihinakan, maka sesungguhnya jiwanya masih terjajah.

Untuk menjelaskan apakah itu hakikat kemerdekaan dan keadilan sungguh tidak mudah. Namun, mereka yang hidupnya pernah tertindas dan terjajah serta pernah teraniaya atau terzalimi, pasti lebih paham makna kemerdekaan dan keadilan tanpa diberi penjelasan teoretis filosofis panjang lebar. Teman-teman kita yang lagi mendekam di tahanan sangat paham dan merasakan betapa mahalnya sebuah kebebasan.

Bagi seseorang atau masyarakat yang hidupnya terjajah dan tidak bahagia yang paling didambakan adalah negatif freedom. Bebas dari berbagai tekanan dan penderitaan hidup. Mereka tidak ingin hidup bagaikan kawanan kambing yang merasa berada dalam ancaman dan kejaran serigala lapar.

Setiap pribadi ingin hidup tenang, bebas, dan merdeka dari berbagai ancaman, ibarat anak-anak ayam yang leluasa bermain dalam suasana bebas dari incaran burung elang yang sangat sigap dan cepat memangsa mereka.

Mengingat kemerdekaan merupakan tuntutan fitri manusia yang sangat fundamental, maka panggung sejarah selalu menampilkan perjuangan anak manusia untuk memperjuangkan hak kemerdekaannya dari kekuatan luar yang mengancam dan merenggutnya, baik dalam skala pribadi maupun kolektif berupa bangsa.

Heroiknya perjuangan warga Palestina, misalnya, merupakan contoh nyata yang tak pernah lelah betata pun sangat mahal ongkosnya, yaitu nyawa, untuk meraih kemerdekaan mereka sebagai sebuah bangsa dan negara. Sekali lagi, karena hak dan dambaan hidup bebas merdeka merupakan dorongan fitri, maka siapa pun pasti akan melawan ketika hak kemerdekaannya dirampas.

Kita sebagai bangsa juga pernah merasakan dan gigih merebut kembali martabat dan anugerah kemerdekaan yang diberikan Tuhan yang diinjak- injak oleh penjajah. Sekarang pun sesungguhnya kita masih terus bergulat mempertahankan kemerdekaan dari intervensi kekuatan asing yang hendak merampas kekayaan alam kita. Juga kemerdekaan dari berbagai impitan kebodohan dan kemiskinan.

Lalu bagaimana dengan hak kemerdekaan untuk melakukan sesuatu yang kita mau? Di sinilah muncul wisdom , sebuah dalil abadi dan universal. Karena setiap pribadi memiliki hak hidup bebas merdeka, maka kebebasan seseorang untuk berbuat (freedom to) jangan sampai melanggar hak kebebasan seseorang dari gangguan orang lain ( freedom from) .

Dalam bahasa pesantren dikenal ungkapan: hurriyatul mar’i mahdudun bihurriyati ghoirihi. Kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Orang punya hak untuk melakukan apa saja, tetapi jangan sampai tindakannya merampas hak orang lain untuk menikmati hak kemerdekaannya untuk hidup tenang.

Yang juga menarik direnungkan adalah bagaimana realisasi kebebasan dalam dunia hewan dan manusia. Seekor serigala ditakdirkan sebagai pemakan daging segar semacam daging kijang atau kambing; sementara kijang punya hak hidup merdeka, yang pasti kalah jika melawan serigala. Jika manusia menghalangi serigala memangsa kijang, berarti merampas kebebasan serigala untuk menyantap rezekinya.

Tetapi jika dibiarkan, berarti manusia berbuat aniaya terhadap kijang sebagai hewan yang lemah. Lalu bagaimana manusia menyikapinya? Dikisahkan suatu hari Sunan Kalijaga, satu dari sembilan wali penyebar Islam di Nusantara, selagi berjalan-jalan di sawah mendengar suara katak yang ditangkap ular untuk dimangsa. Sunan Kalijaga bingung harus bersikap apa.

Ular punya kebebasan (freedom to) untuk memakan katak sebagai penyambung hidupnya, sementara katak juga punya hak untuk hidup merdeka terbebas dari serangan ular (freedom from). Maka Sunan Kalijaga berteriak ”huuu....” Ular dibuatnya kaget sehingga katak lepas dan lari. Ular kehilangan rezekinya, namun katak selamat dari mulut ular.

Suatu hari katak tersebut bertemu Sunan dan menyampaikan terima kasih, karena telah diselamatkan dengan teriakan ”huuu...,” yang ketika ditanya maknanya menurut Sunan bisa saja berarti ”huculno...” atau lepaskan. Pada hari lain, Sunan berpapasan dengan ular dan protes mengapa teriak sehingga katak yang sudah di mulut jadi lepas. Rezekinya hilang.

Sunan pun menjawab, ”huuu...” bisa juga diteruskan menjadi ”huntalen...” yang artinya telanlah atau makanlah. Demikianlah, Sunan Kalijaga berusaha keluar dari dilema antar freedom to dan freedom from. Namun, sesungguhnya dalam dunia hewan kebebasan harimau untuk menikmati segarnya daging kijang tidak akan merusak keseimbangan ekologi dan memusnahkan populasi kijang karena hewan memakan sebatas kebutuhannya (need), bukan didorong oleh sikap rakus (greedy) sebagaimana yang banyak dilakukan manusia.

Makanya yang merusak ekologi bukanlah hewan, melainkan manusia. Persoalan hak hidup bebas merdeka selalu menjadi isu dan problem serius ketika sekelompok orang atau negara yang merasa kuat dari segi ekonomi dan senjata lalu seenaknya memangsa bangsa yang lemah.

Mereka lebih keji dan kejam dari hewan karena disertai sikap rakus, sombong, dan menindas yang lain, suatu tindakan yang tidak dilakukan oleh binatang. Binatang akan berhenti jika sudah kenyang, sedangkan manusia tak pernah merasa puas dan bisa sadis untuk menghabisi lawanlawan politiknya atau pesaing bisnisnya.

Mereka merasa bebas berbuat apa saja, tetapi sesungguhnya telah menghancurkan fondasi kebebasan karena telah menindas orang lain yang pada urutannya melahirkan kebencian dan permusuhan. Lebih dari itu, mereka tanpa sadar telah terjerat ke dalam penjara akibat diperbudak oleh nafsunya. Telah roboh istana kemerdekaannya sebagai moral being . Makhluk yang bermoral.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5331 seconds (0.1#10.140)