Jam Perkuliahan Tak Manusiawi

Selasa, 21 Juli 2015 - 10:07 WIB
Jam Perkuliahan Tak Manusiawi
Jam Perkuliahan Tak Manusiawi
A A A
JAKARTA - Sistem satuan kredit semester (SKS) serta beban studi pada metode perkuliahan di Indonesia dinilai tidak manusiawi. Sebab, beban belajar mahasiswa melebihi beban kerja para pekerja penuh waktu.

Ketua Tim Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) Rangga Handika mengatakan, berdasar hasil penelitian yang dilakukannya, beban studi berdasar jam belajar per pekan di Amerika Serikat berkisar antara 35-54 jam, Eropa 31,5-40 jam, dan Australia sekitar 32-50 jam. Begitu juga di negara lain, hanya sebagian kecil kampus yang jam belajarnya melebihi 40 jam.

Angka tersebut lebih rendah dibandingkan beban normal jam belajar mahasiswa Indonesia yang berkisar 48-54 jam per pekannya. “Bahkan, jamnya melebihi beban kerja dari pekerja normal. Sistem perkuliahan di Indonesia pun harus dipertanyakan dari sisi kemanusiaannya,” katanya saat jumpa pers di Tanoto Foundation kemarin. Beban mahasiswa di Indonesia yang semakin berat juga terlihat pada jumlah SKS.

Rangga mencontohkan, di Eropa jumlah mata kuliah yang dibebankan kepada mahasiswa hanya lima mata kuliah per semesternya, di Amerika hanya empat mata kuliah, dan di Australia hanya 4-6 mata kuliah per semesternya. Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan di Indonesia, di mana rata-rata setara dengan bobot 18-20 SKS.

Menurut dia, perkuliahan di Indonesia cenderung menawarkan lebih banyak mata kuliah namun praktiknya aktivitas pembelajaran mendalam tidak dilakukan. Secara riil, beban 18 SKS di Indonesia baru setara dengan 42-48 jam per minggu akibat banyak dosen yang tidak memberikan tugas sesuai ketentuan. Dari hasil studi banding ke Singapura, kata Rangga, kampus di negara tersebut telah menerapkan kebijakan kurikulum berdasarkan prinsip otonomi.

Lebih dari itu, kampus juga berkolaborasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk menyelaraskan kurikulum dengan kebijakan strategis pengembangan sumber daya manusia di Singapura. Kampus di Singapura diberdayakan sebagai working adult education provider . “Kondisi ini bertolak belakang dengan situasi di Indonesia, yangsebagianbesarperguruan tingginya bahkan masih belum mampu mendesain kurikulum sendiri,” katanya.

Rangga merekomendasikan adanya pengintegrasian mata kuliah yang bersifat tematik. Lalu ada pemetaan mata kuliah untuk mencapai kompetensi mahasiswa dan menyesuaikan mata kuliah dengan kebutuhan dunia usaha dan profesi. Sedangkan, rekomendasi untuk pemerintah adalah mengevaluasi kembali persyaratan jumlah minimum SKS yang bersifat seragam.

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M Nasir menyatakan, beban jam kuliah di Indonesia memang akan diperbaiki dan saat ini masih dalam tahap pembahasan. Misalnya, jenjang strata 2 (S-2) yang saat ini bebannya 72 SKS akan dikurangi menjadi 44 SKS. Adapun, waktu kuliah jenjang S-1 rencananya ditambah dari empat tahun menjadi tujuh tahun.

“Ya memang akan kami perbaiki peraturannya. Yang S-2 akan dikembalikan ke maksimum 44 SKS dan S-1 ditambah menjadi masa kuliah tujuh tahun,” katanya. Mantan Rektor Unsoed ini menjelaskan, masa perkuliahan bagi S-1 yang diperpanjang menjadi tujuh tahun bertujuan untuk mengakomodasi para pekerja yang masih ingin kuliah. Nasir menerangkan, jika pekerja mengambil 9-12 SKS, maka dalam masa empat hingga lima tahun kuliah tidak akan selesai.

Harapan pemerintah, dengan memperpanjang masa kuliah bagi pekerja, tingkat akademik pekerja Indonesia yang saat ini masih didominasi lulusan sekolah menengah menjadi lebih tinggi.

Neneng zubaidah
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6218 seconds (0.1#10.140)