Masjid dan Krisis Utang

Selasa, 14 Juli 2015 - 10:20 WIB
Masjid dan Krisis Utang
Masjid dan Krisis Utang
A A A
Penguatan investor domestik sangat diperlukan untuk mencegah transmisi krisis dari luar negeri. Mengapa tidak mendayagunakan masjid agar tidak hanya sebagai tempat salat?

Banyak yang menduga Yunani adalah negara dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) tertinggi, sebesar 174%. Pandangan tersebut keliru karena yang paling tinggi adalah Jepang (232%). Lalu, mengapa Jepang tidak menghebohkan seperti Yunani? Sebab, utang Jepang umumnya dalam mata uang yen yang mayoritas dibeli oleh investor domestik seperti dana pensiun.

Di mata investor, Jepang juga jauh dipercaya berkat dukungan cadangan devisa yang besar dan ongkos berutang yang lebih ringan. Hal ini jelas berbeda dibanding Yunani yang pada dasarnya sudah terkena kutukan ”Kristal Hutabarat” (krisis total hutang tambah berat). Bayangkan, pertumbuhan ekonominya hanya 0,5%. Tingkat pengangguran 25%, sangatlah tinggi. Cadangan devisa hanya USD1 miliar. Kalau berutang lagi harus bayar 12,9% selama setahun untuk periode 10 tahun. Utang Yunani ini banyak dimiliki oleh perbankan dan perusahaan asuransi di kawasan Eropa.

Gagal bayar Yunani berisiko memicu krisis yang sistemis di Eropa. Lalu bagaimana Indonesia? Dengan debt/GDP hanya 24% memang boleh dibilang aman. Cadangan devisa USD108 miliar memang memadai untuk bisa mengimpor selama tujuh bulan. Coverage ini di atas acuan internasional sebesar tiga bulan. Masalah Indonesia adalah debt service ratio yang tinggi sekitar 50%. Maksudnya 50% pemasukan ekspor digunakan untuk membayar utang. Harus berani diakui perekonomian kita kurang produktif, kurang kompetitif, dan kurang efisien.

Disebut kurang produktif seperti terlihat pada defisit neraca berjalan. Kurang kompetitif tecermin pada penurunan rasio ekspor terhadap PDB. Apalagi kita mengalami defisit perdagangan dengan China, suatu negara yang mata uangnya sekarang dianggap overvalued secara real effective exchange rate (REER). Adapun kurang efisien dapat dilacak dari suku bunga pinjaman dan netinterestrate marginperbankanyang relatif tinggi secara internasional.

Dapat dicermati bahwa kelemahan ekonomi Indonesia terletak pada ketidakmampuan memanfaatkan penguatan ekonomi AS yang melandasi penguatan dolar. Pasalnya, ekspor kita masih didominasi oleh komoditas primer yang permintaannya tetap turun sejalan dengan perlambatan ekonomi China. Itu sebabnya pemerintah mendorong program hilirisasi dan revitalisasi industri, selain mempercepat pembangunan fasilitas pelabuhan untuk menurunkan biaya logistik.

Selain memacu ekspor, melalui tulisan ini kami sangat menyarankan pemerintah agar segera meningkatkan partisipasi investor domestik di dalam obligasi negara. Pertimbangannya sangat jelas jika mencermati dominasi kepemilikan investor asing dalam surat utang negara. Hingga pekan lalu posisinya sudah mencapai Rp526 triliun. Angka ini jauh lebih besar dibanding kepemilikan Bank Indonesia (Rp56 triliun) dan reksa dana (Rp73 triliun).

Bayangkan kerentanan makroekonomi kita jika mereka kabur melepas semua kepemilikan tersebut. Cadangan devisa kita bisa rontok. Jika tidak kabur, bayangkan berapa banyak dana yang kita bayar per tahun untuk membayar bunga (kupon SUN). Bila dipukul rata kupon SUN itu sebesar 8%, maka setiap tahun kita mengeluarkan sekitar Rp42 triliun kepada investor asing. Tantangan edukasi dapat dimulai dari hal yang sederhana. Masih demikian banyak anggota masyarakat kita yang memandang terlalu negatif utang pemerintah.

Namun, memanfaatkan utang sebagai sarana investasi yang lebih cuan ketimbang deposito ternyata belum banyak yang tahu. Selain menyasar individu secara langsung, saya membayangkan unit masyarakat seperti masjid yang setiap pekan mendapatkan dana masyarakat dapat menjadi badan hukum. Dengan demikian, masjid ini memiliki kapasitas yang lebih besar untuk berinvestasi pada surat utang negara.

Memang betul, Nabi Yusuf (QS 12: 47) tidak memasukkan utang dalam saran kebijakannya. ”Hendaklah kalian bercocok tanam dengan sungguhsungguh. Maka apa yang kalian panen hendaklah tetap pada tangkainya. Kecuali sedikit untuk kalian makan.” Beliau lebih menganjurkan upaya untuk memacu produktivitas, pengawetan dan penghematan. Hakikatnya, beliau menyarankan Indonesia menjadi eksportir yang kompetitif agar masalah defisit neraca berjalan dapat diatasi. Bagi negara, utang tetap dilakukan walau harus selalu berhati-hati.

Seperti disampaikan dalam hadis yang diriwayatkan Baihaqi, ”Hati-hati berutang, sebab menjadi sumber kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari.” Kalau tidak mau pemerintah berutang, maka bersiap- siaplah untuk peningkatan pajak, penurunan belanja proyek pemerintah hingga menjual aset kepada investor asing untuk membiayai defisit anggaran.

Budi Hikmat
Direktur Bahana TCW Investment Management
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9617 seconds (0.1#10.140)