Modernisasi BIN Harus Seimbang
A
A
A
JAKARTA - Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen TNI (Purn) Marciano Norman menyarankan agar modernisasi BIN harus seimbang dengan kemampuan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai upaya merespons ancaman dan tantangan yang semakin kompleks di era keterbukaan.
Menurut Marciano, di tengah keterbukaan ini, BIN harus bisa menempatkan lembaga ini pada posisi yang terhormat dan strategis sehingga dipandang Presiden sebagai satu lembaga yang menjadi dasar setiap pengambilan kebijakan pemerintah. ”Di era keterbukaan seperti sekarang ini, masyarakat juga menuntut untuk tahu lebih banyak apa yang dikerjakan dan hasil yang dicapai BIN. Dengan buku ini saya mengimbau teman- teman saya di BIN untuk tidak takut membuka diri,” ujar- Marciano saat peluncuran bukunya berjudul Intelijen Negara:
Mengawal Transformasi Indonesia Menuju Demokrasi yang Terkonsolidasi kemarin di Balai Kartini Jakarta. Namun hal itu mesti dilakukan secara terukur karena membuka diri harus memiliki keseimbangan antara keterbukaan dan kerahasiaan.
Dengan demikian, BIN akan menjadi lembaga yang tidak ketinggalan zaman dan sangat penting di era modernisasi. ”Kita sudah mereformasi perilaku dan budaya dari lembaga intelijen ini sendiri. Buku ini memberi masukan kepada seluruh pelaku intelijen untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya di era demokratisasi setelah ada UU tersebut,” ucapnya.
Diakui Marciano, pada awalnya memang tidak mudah melakukan perubahan paradigma anggota BIN menyusul keluarnya UU No 17 Tahun 2011 tentang BIN. BIN harus bergerak di bawah payung UU sehingga tidak sedikit yang menganggapnya sebagai upaya membelenggu komunitas intelijen
”Untuk bisa bermain secara seimbang dalam menjaga kerahasiaan dan keterbukaan itu, BIN harus diawaki oleh orang-orang yang mempunyai inteligensia yang tinggi, tidak bisa diawaki orang yang biasabiasa saja. Sebab orang yang memiliki inteligensi yang tinggi dia akan mampu berkomunikasi dengan publik secara baik, juga bisa mengajak untuk berperan serta dalam menjaga stabilitas keamanan, politik dan ekonomi,” katanya.
Marciano melihat tantangan BIN ke depan adalah modernisasi yang harus sejalan seimbang dengan peningkatan SDM. Dengan begitu, sampai kapan pun BIN tetap bisa bertahan dan tidak ketinggalan zaman. Karenanya, pekerjaan rumah (PR) yang harus dilaksanakan Kepala BIN selanjutnya adalah peningkatan kualitas SDM karena ini adalah kunci utama keberhasilan BIN.
Secanggih apa pun peralatan, kata Marciano, apabila kualitas SDM-nya yang bertugas tidak ditingkatkan, akan sulit menghadapi tantangan yang semakin kompleks. ”Untuk rekrutmen saya mengharapkan personel BIN yang bersumber dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) jumlahnya dapat ditingkatkan dan rekrutmen dari sarjana umum yang telah jadi minimal mereka harus yang sudah S-2,” katanya.
Marciano melihat jumlah personel BIN saat ini hanya sekitar 2.000 orang. Jumlah ini tidak cukup untuk mengatasi wilayah Indonesia yang cukup luas. ”Jumlah BIN yang ideal tentunya seperti yang dicanangkan Pak Sutiyoso bahwa jumlah idealnya adalah dua hingga tiga kali lipat dari yang ada saat ini. Ini harus dilakukan secara bertahap,” paparnya.
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati berharap peluncuran buku ini bisa menjadi masukan yang positif untuk pembangunan dunia intelijen Indonesia ke depan sehingga para pegiat intelijen dapat melihat perubahan ancaman yang ada. Dengan demikian, BIN menjadi lembaga yang mumpuni dan dapat memasok informasi yang akurat, cepat, dan tepat sehingga Indonesia dapat menghadapi segala macam ancaman dengan baik.
Sebab tantangan BIN ke depan sangat banyak. ”Pergeseran ancaman sudah sedemikian rupa di mana sekarang bukan lagi perang tradisional. Secara global, ada ancaman terorisme yang tidak bisa dilepaskan dari proxy war . Hal ini muncul karena adanya persaingan dan berkembangnya jumlah penduduk dan ekonomi. Persaingan semakin besar sehingga mereka berebut mendapatkan sumber daya alam yang ada sebagai sumber kehidupan,” katanya.
Mantan anggota Komisi I DPR itu menambahkan, pembenahan yang paling utama dilakukan adalah pembangunan infrastruktur baik teknologi maupun SDM-nya. ”Pendidikan menjadi tulang punggung lembaga ini sehingga bisa mencetak pegiat-pegiat intel yang bukan hanya mengumpulkan informasi, tapi juga bisa mengondisikan negara menjadi lebih baik demi menjaga keutuhan NKRI,” kata Nuning.
Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono mengapresiasi peluncuran buku tersebut. Meski belum membaca, kata Hendro, dirinya memahami bahwa buku ini berisi curahan pikiran Marciano selaku pribadi dan kepala BIN. ”Saya menyambut baik karena buku ini adalah warisan buat para penerus bukan hanya Kepala BIN generasi penerus Pak Marciano, tapi seluruh anggota BIN, apa yang sudah dan yang akan dilakukan,” katanya.
Hendro berharap pegiat intelijen bisa melanjutkan ide dan gagasan Marciano. Hendro menilai Marciano merupakan sosok yang memiliki leadership dan menjaga relationship . ”Saya menghargai terbitnya buku ini. Saya masih mengusulkan ke Presiden RI bahwa (untuk) jasajasa Marciano, saya mohon ditunjukkan rasa terima dari pemerintah,” katanya.
Sucipto
Menurut Marciano, di tengah keterbukaan ini, BIN harus bisa menempatkan lembaga ini pada posisi yang terhormat dan strategis sehingga dipandang Presiden sebagai satu lembaga yang menjadi dasar setiap pengambilan kebijakan pemerintah. ”Di era keterbukaan seperti sekarang ini, masyarakat juga menuntut untuk tahu lebih banyak apa yang dikerjakan dan hasil yang dicapai BIN. Dengan buku ini saya mengimbau teman- teman saya di BIN untuk tidak takut membuka diri,” ujar- Marciano saat peluncuran bukunya berjudul Intelijen Negara:
Mengawal Transformasi Indonesia Menuju Demokrasi yang Terkonsolidasi kemarin di Balai Kartini Jakarta. Namun hal itu mesti dilakukan secara terukur karena membuka diri harus memiliki keseimbangan antara keterbukaan dan kerahasiaan.
Dengan demikian, BIN akan menjadi lembaga yang tidak ketinggalan zaman dan sangat penting di era modernisasi. ”Kita sudah mereformasi perilaku dan budaya dari lembaga intelijen ini sendiri. Buku ini memberi masukan kepada seluruh pelaku intelijen untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya di era demokratisasi setelah ada UU tersebut,” ucapnya.
Diakui Marciano, pada awalnya memang tidak mudah melakukan perubahan paradigma anggota BIN menyusul keluarnya UU No 17 Tahun 2011 tentang BIN. BIN harus bergerak di bawah payung UU sehingga tidak sedikit yang menganggapnya sebagai upaya membelenggu komunitas intelijen
”Untuk bisa bermain secara seimbang dalam menjaga kerahasiaan dan keterbukaan itu, BIN harus diawaki oleh orang-orang yang mempunyai inteligensia yang tinggi, tidak bisa diawaki orang yang biasabiasa saja. Sebab orang yang memiliki inteligensi yang tinggi dia akan mampu berkomunikasi dengan publik secara baik, juga bisa mengajak untuk berperan serta dalam menjaga stabilitas keamanan, politik dan ekonomi,” katanya.
Marciano melihat tantangan BIN ke depan adalah modernisasi yang harus sejalan seimbang dengan peningkatan SDM. Dengan begitu, sampai kapan pun BIN tetap bisa bertahan dan tidak ketinggalan zaman. Karenanya, pekerjaan rumah (PR) yang harus dilaksanakan Kepala BIN selanjutnya adalah peningkatan kualitas SDM karena ini adalah kunci utama keberhasilan BIN.
Secanggih apa pun peralatan, kata Marciano, apabila kualitas SDM-nya yang bertugas tidak ditingkatkan, akan sulit menghadapi tantangan yang semakin kompleks. ”Untuk rekrutmen saya mengharapkan personel BIN yang bersumber dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) jumlahnya dapat ditingkatkan dan rekrutmen dari sarjana umum yang telah jadi minimal mereka harus yang sudah S-2,” katanya.
Marciano melihat jumlah personel BIN saat ini hanya sekitar 2.000 orang. Jumlah ini tidak cukup untuk mengatasi wilayah Indonesia yang cukup luas. ”Jumlah BIN yang ideal tentunya seperti yang dicanangkan Pak Sutiyoso bahwa jumlah idealnya adalah dua hingga tiga kali lipat dari yang ada saat ini. Ini harus dilakukan secara bertahap,” paparnya.
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati berharap peluncuran buku ini bisa menjadi masukan yang positif untuk pembangunan dunia intelijen Indonesia ke depan sehingga para pegiat intelijen dapat melihat perubahan ancaman yang ada. Dengan demikian, BIN menjadi lembaga yang mumpuni dan dapat memasok informasi yang akurat, cepat, dan tepat sehingga Indonesia dapat menghadapi segala macam ancaman dengan baik.
Sebab tantangan BIN ke depan sangat banyak. ”Pergeseran ancaman sudah sedemikian rupa di mana sekarang bukan lagi perang tradisional. Secara global, ada ancaman terorisme yang tidak bisa dilepaskan dari proxy war . Hal ini muncul karena adanya persaingan dan berkembangnya jumlah penduduk dan ekonomi. Persaingan semakin besar sehingga mereka berebut mendapatkan sumber daya alam yang ada sebagai sumber kehidupan,” katanya.
Mantan anggota Komisi I DPR itu menambahkan, pembenahan yang paling utama dilakukan adalah pembangunan infrastruktur baik teknologi maupun SDM-nya. ”Pendidikan menjadi tulang punggung lembaga ini sehingga bisa mencetak pegiat-pegiat intel yang bukan hanya mengumpulkan informasi, tapi juga bisa mengondisikan negara menjadi lebih baik demi menjaga keutuhan NKRI,” kata Nuning.
Mantan Kepala BIN AM Hendropriyono mengapresiasi peluncuran buku tersebut. Meski belum membaca, kata Hendro, dirinya memahami bahwa buku ini berisi curahan pikiran Marciano selaku pribadi dan kepala BIN. ”Saya menyambut baik karena buku ini adalah warisan buat para penerus bukan hanya Kepala BIN generasi penerus Pak Marciano, tapi seluruh anggota BIN, apa yang sudah dan yang akan dilakukan,” katanya.
Hendro berharap pegiat intelijen bisa melanjutkan ide dan gagasan Marciano. Hendro menilai Marciano merupakan sosok yang memiliki leadership dan menjaga relationship . ”Saya menghargai terbitnya buku ini. Saya masih mengusulkan ke Presiden RI bahwa (untuk) jasajasa Marciano, saya mohon ditunjukkan rasa terima dari pemerintah,” katanya.
Sucipto
(ftr)