Politik Dinasti Diizinkan, Bawaslu Harus Kuatkan Pengawasan
A
A
A
JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki tantangan untuk menguatkan strategi dan kerja pengawasannya.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan politik dinasti.
"Kerja-kerja pengawasan tidak boleh on desk, tapi harus pengawasan intensif lapangan dengan basis kerja cermat, cerdas, dan cerdik menyikapi modus dan potensi kecurangan yang bisa muncul karena pencalonan kerabat petahana dalam pilkada," kata Titi etika dihubungi Sindonews, Jumat 10 Juli 2015.
Lebih lanjut, dia mengatakan, penegakan hukum menjadi pekerjaan rumah (PR) berikutnya. Kata dia, kolaborasi dan kontrol sipil atau warga juga menjadi tantangan besar untuk penguatan dalam menyeleksi para calon kepala daerah.
"Bagaimana Bawaslu menyikapi ini? Mari kita nantikan bersama," tuturnya.
Dia menuturkan, basis argumentasi sebaiknya bukan cuma Pasal 27 UUD 1945. Namun, patut juga mengelaborasi lebih luas pada Pasal 18 Ayat (4) jo Pasal 28H Ayat (2) jo Pasal 28J UUD 1945.
"Diskriminasi positif itu dilegalkan kok oleh MK dan sudah terjadi dalam rangka menuju masyarakat yang adil, setara, dan demokratis," ungkapnya.
Misalnya, lanjut dia, melalui afirmasi keterwakilan perempuan 30% dan sistem zipper dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD. Menurutnya, itupun kalau ini mau dianggap sebagai sebuah diskriminasi.
"Kalau saya sih menganggap tidak ada yang dilarang mencalonkan kok. Boleh sepanjang dilakukan jeda satu periode setelah berakhirnya masa jabatan si petahana," pungkasnya.
PILIHAN:
MK Sudah Diprediksi Kabulkan Gugatan UU Dinasti Politik
Legalkan Politik Dinasti, Gerindra Sebut MK Malaikat
Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan politik dinasti.
"Kerja-kerja pengawasan tidak boleh on desk, tapi harus pengawasan intensif lapangan dengan basis kerja cermat, cerdas, dan cerdik menyikapi modus dan potensi kecurangan yang bisa muncul karena pencalonan kerabat petahana dalam pilkada," kata Titi etika dihubungi Sindonews, Jumat 10 Juli 2015.
Lebih lanjut, dia mengatakan, penegakan hukum menjadi pekerjaan rumah (PR) berikutnya. Kata dia, kolaborasi dan kontrol sipil atau warga juga menjadi tantangan besar untuk penguatan dalam menyeleksi para calon kepala daerah.
"Bagaimana Bawaslu menyikapi ini? Mari kita nantikan bersama," tuturnya.
Dia menuturkan, basis argumentasi sebaiknya bukan cuma Pasal 27 UUD 1945. Namun, patut juga mengelaborasi lebih luas pada Pasal 18 Ayat (4) jo Pasal 28H Ayat (2) jo Pasal 28J UUD 1945.
"Diskriminasi positif itu dilegalkan kok oleh MK dan sudah terjadi dalam rangka menuju masyarakat yang adil, setara, dan demokratis," ungkapnya.
Misalnya, lanjut dia, melalui afirmasi keterwakilan perempuan 30% dan sistem zipper dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD. Menurutnya, itupun kalau ini mau dianggap sebagai sebuah diskriminasi.
"Kalau saya sih menganggap tidak ada yang dilarang mencalonkan kok. Boleh sepanjang dilakukan jeda satu periode setelah berakhirnya masa jabatan si petahana," pungkasnya.
PILIHAN:
MK Sudah Diprediksi Kabulkan Gugatan UU Dinasti Politik
Legalkan Politik Dinasti, Gerindra Sebut MK Malaikat
(kri)