MK Izinkan Mantan Napi Maju Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Mantan narapidana yang pernah dijatuhi hukuman dengan ancaman pidana lima tahun penjara akhirnya bisa mengajukan diri sebagai calon dalam pemilu kepala daerah (pilkada).
Hal ini setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 7 huruf g Undang-Undang (UU) 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Meski demikian, MK mensyaratkan mantan napi yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah wajib mengumumkan dan mengakui secara terbuka serta jujur atas statusnya tersebut pada publik.
Namun, putusan ini tidak berlakubagi mantannarapidana yang hak pilihnya dicabut melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. ”Pasal 7 huruf g UU 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota bertentangan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, kecuali bagi mantan narapidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” ujar Ketua MK Arief Hidayat di Ruang Sidang MK, Jakarta, kemarin.
Sebelumnya, dalam Pasal 7 huruf g UU Pilkada dikatakan bahwa mantan narapidana bisa majusebagaicalondalampilkada apabila tidak pernah dijatuhi hukuman penjara atas tindak pidana dengan ancaman pidana lima tahun penjara. Dalam pertimbangannya, MK memandang norma UU tidak bisa mencabut hak pilih seseorang.
Menurut dia, pencabutan hak pilih dan dipilih seseorang hanya bisa dilakukan oleh hakim melalui putusan yang berkekuatan hukum tetap sebagai hukuman tambahan. ”Ketentuan tersebut (pasal 7 huruf g) bentuk pengurangan hak atas seseorang,” ungkap hakim konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan.
Dengan begitu, pembatasan dalam UU Pilkada sama saja memberikan hukuman tambahan bagi mantan narapidana yang seharusnya menjadi domain pengadilan. Ini tecermin dalam putusan MK Nomor 011- 017/PUU-1/2003 yang menyatakan pembatasan hak pilih diperbolehkan apabila hak itu dicabut berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Jadi, dengan adanya ketentuan itu, pembuat UU terlihat seperti menghukum seseorang tanpa batasan waktu. Ini jelas menghambat hak warga negara untuk berpartisipasi secara aktif dalam agenda demokrasi. Putusan ini tidak diambil MK secara bulat. Tiga hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Hakim konstitusi Maria Farida memandang seharusnya Pasal 7 huruf g tidak dapat ditafsirkan lain selain sesuai putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009. Dalam putusan itu, MK memberikan beberapa syarat antara lain tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih, lima tahun sejak terpidana selesai menjalani masa hukumannya, mantan terpidana harus secara terbuka dan jujur pada publik, dan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
”Dengan demikian, penafsiran terhadap ketentuan syarat tidak pernah dipidana telah selesai, sehingga syarat tidak pernah dipidana tetap dimaknai sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 bertanggal 24 Maret 2009,” ungkap Maria.
Sementara itu, hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo menilai belum ada alasan-alasan yang secara konstitusional bersifat fundamental bagi MK untuk mengubah pendiriannya, sehingga Pasal 7 huruf g UU Pilkada harus menyatakan pertimbangan-pertimbangan yang dituangkan dalam putusan sebelumnya atau mutatis mutandis.
Pakar pemilu Universitas Airlangga (Unair) Ramlan Surbakti mempersoalkan mekanisme pengumuman status mantan napi. Menurut dia, perlu kejelasan bagaimana mekanisme pengumumannya. ”Kalau begini, tinggal diserahkan ke masyarakat bagaimana menilainya,” ujarnya.
Nurul adriyana/ Dita angga
Hal ini setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 7 huruf g Undang-Undang (UU) 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Meski demikian, MK mensyaratkan mantan napi yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah wajib mengumumkan dan mengakui secara terbuka serta jujur atas statusnya tersebut pada publik.
Namun, putusan ini tidak berlakubagi mantannarapidana yang hak pilihnya dicabut melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. ”Pasal 7 huruf g UU 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota bertentangan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, kecuali bagi mantan narapidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” ujar Ketua MK Arief Hidayat di Ruang Sidang MK, Jakarta, kemarin.
Sebelumnya, dalam Pasal 7 huruf g UU Pilkada dikatakan bahwa mantan narapidana bisa majusebagaicalondalampilkada apabila tidak pernah dijatuhi hukuman penjara atas tindak pidana dengan ancaman pidana lima tahun penjara. Dalam pertimbangannya, MK memandang norma UU tidak bisa mencabut hak pilih seseorang.
Menurut dia, pencabutan hak pilih dan dipilih seseorang hanya bisa dilakukan oleh hakim melalui putusan yang berkekuatan hukum tetap sebagai hukuman tambahan. ”Ketentuan tersebut (pasal 7 huruf g) bentuk pengurangan hak atas seseorang,” ungkap hakim konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan.
Dengan begitu, pembatasan dalam UU Pilkada sama saja memberikan hukuman tambahan bagi mantan narapidana yang seharusnya menjadi domain pengadilan. Ini tecermin dalam putusan MK Nomor 011- 017/PUU-1/2003 yang menyatakan pembatasan hak pilih diperbolehkan apabila hak itu dicabut berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Jadi, dengan adanya ketentuan itu, pembuat UU terlihat seperti menghukum seseorang tanpa batasan waktu. Ini jelas menghambat hak warga negara untuk berpartisipasi secara aktif dalam agenda demokrasi. Putusan ini tidak diambil MK secara bulat. Tiga hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Hakim konstitusi Maria Farida memandang seharusnya Pasal 7 huruf g tidak dapat ditafsirkan lain selain sesuai putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009. Dalam putusan itu, MK memberikan beberapa syarat antara lain tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih, lima tahun sejak terpidana selesai menjalani masa hukumannya, mantan terpidana harus secara terbuka dan jujur pada publik, dan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
”Dengan demikian, penafsiran terhadap ketentuan syarat tidak pernah dipidana telah selesai, sehingga syarat tidak pernah dipidana tetap dimaknai sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 bertanggal 24 Maret 2009,” ungkap Maria.
Sementara itu, hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo menilai belum ada alasan-alasan yang secara konstitusional bersifat fundamental bagi MK untuk mengubah pendiriannya, sehingga Pasal 7 huruf g UU Pilkada harus menyatakan pertimbangan-pertimbangan yang dituangkan dalam putusan sebelumnya atau mutatis mutandis.
Pakar pemilu Universitas Airlangga (Unair) Ramlan Surbakti mempersoalkan mekanisme pengumuman status mantan napi. Menurut dia, perlu kejelasan bagaimana mekanisme pengumumannya. ”Kalau begini, tinggal diserahkan ke masyarakat bagaimana menilainya,” ujarnya.
Nurul adriyana/ Dita angga
(ftr)