Mengamalkan Spirit Imsak
A
A
A
Islam sebagai agama penutup adalah agama paling ideal yang dilengkapi perangkat syariat dengan lima prinsip tujuan yang dikenal dengan maqoshid syariah (tujuan syariat) yaitu : 1- hifzud din(menjaga agama), 2- hifzun nafs(menjaga jiwa), 3- hifzul aql(menjaga akal), 4- hifzun nasl(menjaga keturunan), dan 5- hifzul mâl (menjaga harta).
Lima prinsip pokok inilah yang membedakan syariat Islam dengan syariat agama-agama lainnya. Dengan lima prinsip pokok ini, harus diyakini bahwa setiap perintah agama pasti di dalamnya mengandung value, nilai, hikmah, atau tujuan. Karena itu, jika kita perhatikan, sesungguhnya perintah (hukum) Allah SWT selalu diiringi dengan penyebutan hikmah dalam Alquran.
Ketika Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan salat yakni ”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Alquran) dan dirikanlah salat”, Allah SWT juga menyebutkan hikmah dari ibadah salat tersebut yakni ”Sesungguhnya salat mencegah perbuatan keji dan mungkar”. Ibadah zakat dan haji juga demikian, perintah menjalankannya juga disertai dengan hikmah.
Ibadah puasa juga seperti ibadah–ibadah pokok di atas, di dalamnya pasti mengandung hikmah, baik hikmah yang tersebut di dalam Alquran maupun hikmah-hikmah lain yang bisa digali baik dari aspek kesehatan, sosial, maupun lainnya.
Allah SWT telah menyebutkan hikmah tersebut dalam ayat 183 surat al-Baqarah : ”Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada umatumat sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa…”. Hikmah yang termaktub dalam ayat tersebut sangat jelas ”agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa…”.
Salah satu ciri orang yang bertakwa seperti tersebut dalam surat al-Imron ayat 134 adalah ”Orang yang menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain.” Jika dikaitkan dengan pengertian puasa dari segi bahasa yang berarti imsak(menahan) dan pengertian puasa dari sisi fikih seperti yang dijelaskan di atas, ciri orang yang bertakwa menjadi linear dengan pengertian tersebut.
Hal ini diperkuat dengan hadis Rasulullah SAW. ”Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya dia menikah karena dia (menikah) dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu (menikah) hendaknya dia berpuasa sebab dia (puasa) dapat mengendalikan (hawa nafsu) mu.”
Hadis di atas menjelaskan bahwa bagi orang yang sudah memiliki bekal untuk menikah sebaiknya segera menikah, bagi yang belum hendaklah dia berpuasa karena puasa memiliki fungsi pengendali bagi syahwat.
Dengan demikian, ibadah puasa terkait erat dengan persoalan menahan dan mengendalikan, baik menahan diri dari yang membatalkan puasa secara fikih (makan, minum, dan berhubungan suami-istri) maupun mengendalikan diri dari sikap dan perilaku yang bertentangan dengan spirit ibadah puasa seperti berkata-kata kotor, mengumpat, berbohong, berperilaku tidak baik, dan sebagainya.
Meskipun tidak membatalkan puasa secara fikih, ihwal tersebut dapat menghilangkan nilai dari ibadah tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : ”Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata kotor dan perbuatan keji, usahanya meninggalkan makan dan minum tidak berarti bagi Allah”.
Dalam konteks kebangsaan, dengan spirit imsak ini para pemimpin hendaknya mampu menahan diri untuk mengeluarkan pernyataan yang dapat meresahkan umat. Nilai keikhlasan ibadah puasa juga sejatinya menjadi spirit bagi kita, pemimpin dan rakyat negeri ini untuk menahan diri dari ambisi pribadi atau golongan dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Untuk para pemimpin, saatnyalah untuk merealisasikan janji-janji manis yang pernah diucapkan waktu kampanye, apalagi sekarang sudah ada fatwa ulama mengenai itu.
Saatnya menghentikan perilaku pencitraan, bekerjalah dengan sepenuh hati, ikhlas, dan yakinlah bahwa Allah SWT tidak akan menutup mata dari amal perbuatan hambanya meski kebaikan yang dilakukan tidak mendapatkan publikasi oleh media massa.
DR Nasrullah Jasam
Dosen STAINU Jakarta/Kepala Daerah Kerja (Daker) Haji di Madinah 2014
Lima prinsip pokok inilah yang membedakan syariat Islam dengan syariat agama-agama lainnya. Dengan lima prinsip pokok ini, harus diyakini bahwa setiap perintah agama pasti di dalamnya mengandung value, nilai, hikmah, atau tujuan. Karena itu, jika kita perhatikan, sesungguhnya perintah (hukum) Allah SWT selalu diiringi dengan penyebutan hikmah dalam Alquran.
Ketika Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan salat yakni ”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Alquran) dan dirikanlah salat”, Allah SWT juga menyebutkan hikmah dari ibadah salat tersebut yakni ”Sesungguhnya salat mencegah perbuatan keji dan mungkar”. Ibadah zakat dan haji juga demikian, perintah menjalankannya juga disertai dengan hikmah.
Ibadah puasa juga seperti ibadah–ibadah pokok di atas, di dalamnya pasti mengandung hikmah, baik hikmah yang tersebut di dalam Alquran maupun hikmah-hikmah lain yang bisa digali baik dari aspek kesehatan, sosial, maupun lainnya.
Allah SWT telah menyebutkan hikmah tersebut dalam ayat 183 surat al-Baqarah : ”Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada umatumat sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa…”. Hikmah yang termaktub dalam ayat tersebut sangat jelas ”agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa…”.
Salah satu ciri orang yang bertakwa seperti tersebut dalam surat al-Imron ayat 134 adalah ”Orang yang menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain.” Jika dikaitkan dengan pengertian puasa dari segi bahasa yang berarti imsak(menahan) dan pengertian puasa dari sisi fikih seperti yang dijelaskan di atas, ciri orang yang bertakwa menjadi linear dengan pengertian tersebut.
Hal ini diperkuat dengan hadis Rasulullah SAW. ”Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya dia menikah karena dia (menikah) dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu (menikah) hendaknya dia berpuasa sebab dia (puasa) dapat mengendalikan (hawa nafsu) mu.”
Hadis di atas menjelaskan bahwa bagi orang yang sudah memiliki bekal untuk menikah sebaiknya segera menikah, bagi yang belum hendaklah dia berpuasa karena puasa memiliki fungsi pengendali bagi syahwat.
Dengan demikian, ibadah puasa terkait erat dengan persoalan menahan dan mengendalikan, baik menahan diri dari yang membatalkan puasa secara fikih (makan, minum, dan berhubungan suami-istri) maupun mengendalikan diri dari sikap dan perilaku yang bertentangan dengan spirit ibadah puasa seperti berkata-kata kotor, mengumpat, berbohong, berperilaku tidak baik, dan sebagainya.
Meskipun tidak membatalkan puasa secara fikih, ihwal tersebut dapat menghilangkan nilai dari ibadah tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : ”Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata kotor dan perbuatan keji, usahanya meninggalkan makan dan minum tidak berarti bagi Allah”.
Dalam konteks kebangsaan, dengan spirit imsak ini para pemimpin hendaknya mampu menahan diri untuk mengeluarkan pernyataan yang dapat meresahkan umat. Nilai keikhlasan ibadah puasa juga sejatinya menjadi spirit bagi kita, pemimpin dan rakyat negeri ini untuk menahan diri dari ambisi pribadi atau golongan dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Untuk para pemimpin, saatnyalah untuk merealisasikan janji-janji manis yang pernah diucapkan waktu kampanye, apalagi sekarang sudah ada fatwa ulama mengenai itu.
Saatnya menghentikan perilaku pencitraan, bekerjalah dengan sepenuh hati, ikhlas, dan yakinlah bahwa Allah SWT tidak akan menutup mata dari amal perbuatan hambanya meski kebaikan yang dilakukan tidak mendapatkan publikasi oleh media massa.
DR Nasrullah Jasam
Dosen STAINU Jakarta/Kepala Daerah Kerja (Daker) Haji di Madinah 2014
(ftr)