Puasa dan Islam Melayu
A
A
A
Orang-orang Melayu sudah sejak dahulu kala mendiami wilayah yang luas di antara Benua Asia dan Australia. Bahkan, lebih luas dari wilayah Nusantara yang juga dikenal sebelum Indonesia.
Orangorang Melayu yang dimaksud adalah ras Melayu, bukan (hanya) suku Melayu yang mendiami negeri Malaysia dan beberapa bagian Indonesia sekarang. Tentu dengan demikian budaya orang-orang Melayu begitu kaya dan beraneka ragam, karena begitu banyak juga suku-suku bangsa di dalamnya. Orang-orang Melayu sangat besar jumlahnya yang menganut agama Islam.
Pakar sejarah, Deliar Noor, menulis bahwa pada zaman kolonial, kemusliman identik dengan pribumi (penduduk asli). Orang-orang Melayu Muslim, karena beragam suku bangsa maka cara mereka menyambut dan melakukan ibadah puasa juga bercorak ragam. Di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, ada tradisi ”mandi belimau”, sebagai simbol bertobat dan mengharapkan keselamatan serta berkah Ramadan, saat menyambut bulan suci tersebut.
Menyambut Ramadan, orang-orang Melayu Muslim di Riau biasa berkumpul bersama untuk saling memaafkan. Tiga hari sebelum Ramadan berakhir, orang-orang Melayu di Gorontalo menyalakan lampu minyak tanah di seluruh penjuru kota dan kampung. Seluruh wilayah provinsi tersebut akan terang oleh lampu obor yang ditata dalam bentuk bermacam-macam yang menarik dan diberi hiasan janur.
Tradisi ”tumbilotoho” ini menarik banyak wisatawan untuk berkunjung ke Gorontalo. Orang-orang Melayu Muslim Filipina yang hidup di luar negeri punya kebiasaan mengumpulkan bahan pangan sekitar dua bulan jelang Ramadan untuk dikirimkan kepada warga muslim yang miskin agar mereka dalam berpuasa dapat terbantu dengan sumbangan tersebut.
Meskipun ajaran Islam tidak menetapkan waktu tertentu untuk berziarah kubur, orang-orang Melayu Muslim suku Bugis dan Makassar ramai berziarah ke kuburan keluarga, khususnya orang tua, pada beberapa hari sebelum Ramadan tiba. Pada waktu itu, di pekuburan-pekuburan di Makassar dan sekitarnya, banyak penjual menawarkan kembang dan air kepada para pengunjung yang akan berziarah.
Kembang dan air itu ditaburkan dan disiramkan ke tanah pusara seraya mendoakan mereka yang diziarahi. Mustahil bisa menggambarkan corak ragam bagaimana orang-orang Melayu menyambut dan melaksanakan puasa dalam tulisan yang ruangnya terbatas ini. Sungguh mustahil melukiskan orang-orang Melayu yang terdiri dari sekian ratus, atau ribu, suku dengan warna-warni budaya mereka.
Namun, yang pasti ialah bahwa aneka warna budaya Melayu itu sejak dahulu kala sudah berinteraksi begitu kuat dengan Islam yang dianut. Anasir-anasir kemelayuan melekat ke Islam. Itu tampak dalam ajaran Islam yang dipraktikkan dalam kebudayaan mereka. Orang Melayu bukanlah orang Arab, atau orang Eropa dan bangsa-bangsa bukan Melayu lainnya, seperti bangsa Persia, India, Tiongkok,.
Karena itu, kalau ada perbedaan antara Melayu Muslim dan Arab Muslim, itu pasti dan biasa saja. Anasir kemelayuan dan kearaban tentu berbeda. Jangan berpikir bahwa keislaman orang Arab bisa dianut sepenuhnya oleh orang Melayu.
Sama halnya membiarkan amalan puasa orang Melayu bisa berbeda dengan amalan puasa orang/bangsa bukan Melayu, bisa diterima pula adanya Islam Melayu, Islam Arab, Islam Eropa, Islam Amerika, Islam Persia (Iran), Islam India, Islam Tionghoa yang keberislaman mereka saling berbeda satu dengan yang lain.
Maka kalau orang-orang muslim, yang Melayu dan bukan Melayu, menyadari dan menerima keanekaragamannya, mereka tentu akan bersyukur menerima semua itu sebagai kekayaan yang tak terhingga dan potensi yang tak terhitung besarnya. Untuk masa sekarang, kesadaran demikian agaknya masih tipis. Muslim Melayu berpeluang mengambil peran penting dan strategis bagi bertumbuhkembangnya kesadaran tersebut.
Ibadah puasa yang dijalani sekarang dan yang esensinya antara lain lahirnya kepedulian,disiplin, dan kekuatan sosial, bisa mendorong Melayu Muslim bangkit dengan watak budayanya yang toleran dan santun serta berwarna-warni, menawarkan Islam Melayu ke masyarakat internasional.
PROF M Qasim Mathar
Guru Besar Bidang Pemikiran Islam UIN Alauddin Makassar
Orangorang Melayu yang dimaksud adalah ras Melayu, bukan (hanya) suku Melayu yang mendiami negeri Malaysia dan beberapa bagian Indonesia sekarang. Tentu dengan demikian budaya orang-orang Melayu begitu kaya dan beraneka ragam, karena begitu banyak juga suku-suku bangsa di dalamnya. Orang-orang Melayu sangat besar jumlahnya yang menganut agama Islam.
Pakar sejarah, Deliar Noor, menulis bahwa pada zaman kolonial, kemusliman identik dengan pribumi (penduduk asli). Orang-orang Melayu Muslim, karena beragam suku bangsa maka cara mereka menyambut dan melakukan ibadah puasa juga bercorak ragam. Di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, ada tradisi ”mandi belimau”, sebagai simbol bertobat dan mengharapkan keselamatan serta berkah Ramadan, saat menyambut bulan suci tersebut.
Menyambut Ramadan, orang-orang Melayu Muslim di Riau biasa berkumpul bersama untuk saling memaafkan. Tiga hari sebelum Ramadan berakhir, orang-orang Melayu di Gorontalo menyalakan lampu minyak tanah di seluruh penjuru kota dan kampung. Seluruh wilayah provinsi tersebut akan terang oleh lampu obor yang ditata dalam bentuk bermacam-macam yang menarik dan diberi hiasan janur.
Tradisi ”tumbilotoho” ini menarik banyak wisatawan untuk berkunjung ke Gorontalo. Orang-orang Melayu Muslim Filipina yang hidup di luar negeri punya kebiasaan mengumpulkan bahan pangan sekitar dua bulan jelang Ramadan untuk dikirimkan kepada warga muslim yang miskin agar mereka dalam berpuasa dapat terbantu dengan sumbangan tersebut.
Meskipun ajaran Islam tidak menetapkan waktu tertentu untuk berziarah kubur, orang-orang Melayu Muslim suku Bugis dan Makassar ramai berziarah ke kuburan keluarga, khususnya orang tua, pada beberapa hari sebelum Ramadan tiba. Pada waktu itu, di pekuburan-pekuburan di Makassar dan sekitarnya, banyak penjual menawarkan kembang dan air kepada para pengunjung yang akan berziarah.
Kembang dan air itu ditaburkan dan disiramkan ke tanah pusara seraya mendoakan mereka yang diziarahi. Mustahil bisa menggambarkan corak ragam bagaimana orang-orang Melayu menyambut dan melaksanakan puasa dalam tulisan yang ruangnya terbatas ini. Sungguh mustahil melukiskan orang-orang Melayu yang terdiri dari sekian ratus, atau ribu, suku dengan warna-warni budaya mereka.
Namun, yang pasti ialah bahwa aneka warna budaya Melayu itu sejak dahulu kala sudah berinteraksi begitu kuat dengan Islam yang dianut. Anasir-anasir kemelayuan melekat ke Islam. Itu tampak dalam ajaran Islam yang dipraktikkan dalam kebudayaan mereka. Orang Melayu bukanlah orang Arab, atau orang Eropa dan bangsa-bangsa bukan Melayu lainnya, seperti bangsa Persia, India, Tiongkok,.
Karena itu, kalau ada perbedaan antara Melayu Muslim dan Arab Muslim, itu pasti dan biasa saja. Anasir kemelayuan dan kearaban tentu berbeda. Jangan berpikir bahwa keislaman orang Arab bisa dianut sepenuhnya oleh orang Melayu.
Sama halnya membiarkan amalan puasa orang Melayu bisa berbeda dengan amalan puasa orang/bangsa bukan Melayu, bisa diterima pula adanya Islam Melayu, Islam Arab, Islam Eropa, Islam Amerika, Islam Persia (Iran), Islam India, Islam Tionghoa yang keberislaman mereka saling berbeda satu dengan yang lain.
Maka kalau orang-orang muslim, yang Melayu dan bukan Melayu, menyadari dan menerima keanekaragamannya, mereka tentu akan bersyukur menerima semua itu sebagai kekayaan yang tak terhingga dan potensi yang tak terhitung besarnya. Untuk masa sekarang, kesadaran demikian agaknya masih tipis. Muslim Melayu berpeluang mengambil peran penting dan strategis bagi bertumbuhkembangnya kesadaran tersebut.
Ibadah puasa yang dijalani sekarang dan yang esensinya antara lain lahirnya kepedulian,disiplin, dan kekuatan sosial, bisa mendorong Melayu Muslim bangkit dengan watak budayanya yang toleran dan santun serta berwarna-warni, menawarkan Islam Melayu ke masyarakat internasional.
PROF M Qasim Mathar
Guru Besar Bidang Pemikiran Islam UIN Alauddin Makassar
(ftr)