CSIS Sebut Perencanaan Anggaran Alutsista Anomali
A
A
A
JAKARTA - Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) yang dimiliki TNI baik matra darat, laut dan udara sekitar 52% sudah beroperasi lebih dari 30 tahun. Kondisi ini tidak lepas dari adanya anomali dalam menyusun anggaran militer.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Iis Gindarsih melihat logika yang digunakan pemerintah dan DPR tampaknya menempatkan anggaran militer sebagai variable independen dalam pengembangan kekuatan pertahanan Indonesia.
Sedangkan di negara-negara lain menempatkan anggaran sebagai variabel dependen yakni, konsekuensi dari upaya pengembangan kapabilitas pertahanan militer negara.
Artinya, bila pemerintah negara tersebut menginginkan pengadaan satu atau dua skuadron pesawat tempur dengan kapabilitas tertentu maka otomatis anggaran akan dikalkulasikan dengan pesawat sesuai spesifikasi yang diinginkan. Berbeda dengan Indonesia dimana anggaran ditetapkan terlebih dahulu, baru kemudian jumlah pesawat dan skuadron ditentukan sesuai kediaan anggaran tersebut.
"Jadi ada perbedaan perpektif perencanaan anggaran dan pengembangan kekuatan pertahanan di Indonesia. Ini ada anomali perencanaan. Jadi bisa disimpulkan proses modernisasi alutsista berjalan lamban," ujarnya saat menggelar Media Briefing Situasi dan Kondisi Alutsista TNI di Auditorium CSIS, Gedung Pakarti Centre, Jakarta Pusat, Jumat (3/7/2015).
"Melihat perkembangan lingkungan strategis dan kondisi alutsista TNI yang ada, pemerintah dan DPR hendaknya mengintensifkan upaya modernisasi militer khususnya dukungan finansial," sambungnya.
Karenanya, komitmen pemerintah agar anggaran pertahanan sebesar 1,5% dari Gross Domestic Product (GDP) patut menjadi momentum untuk membangkitkan kejayaan industri dalam negeri. Meskipun hal itu sangat dipengaruhi pertumbuhan ekonomi rata-rata 5%.
PILIHAN:
52% Alutsista TNI Beroperasi Lebih dari 30 Tahun
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Iis Gindarsih melihat logika yang digunakan pemerintah dan DPR tampaknya menempatkan anggaran militer sebagai variable independen dalam pengembangan kekuatan pertahanan Indonesia.
Sedangkan di negara-negara lain menempatkan anggaran sebagai variabel dependen yakni, konsekuensi dari upaya pengembangan kapabilitas pertahanan militer negara.
Artinya, bila pemerintah negara tersebut menginginkan pengadaan satu atau dua skuadron pesawat tempur dengan kapabilitas tertentu maka otomatis anggaran akan dikalkulasikan dengan pesawat sesuai spesifikasi yang diinginkan. Berbeda dengan Indonesia dimana anggaran ditetapkan terlebih dahulu, baru kemudian jumlah pesawat dan skuadron ditentukan sesuai kediaan anggaran tersebut.
"Jadi ada perbedaan perpektif perencanaan anggaran dan pengembangan kekuatan pertahanan di Indonesia. Ini ada anomali perencanaan. Jadi bisa disimpulkan proses modernisasi alutsista berjalan lamban," ujarnya saat menggelar Media Briefing Situasi dan Kondisi Alutsista TNI di Auditorium CSIS, Gedung Pakarti Centre, Jakarta Pusat, Jumat (3/7/2015).
"Melihat perkembangan lingkungan strategis dan kondisi alutsista TNI yang ada, pemerintah dan DPR hendaknya mengintensifkan upaya modernisasi militer khususnya dukungan finansial," sambungnya.
Karenanya, komitmen pemerintah agar anggaran pertahanan sebesar 1,5% dari Gross Domestic Product (GDP) patut menjadi momentum untuk membangkitkan kejayaan industri dalam negeri. Meskipun hal itu sangat dipengaruhi pertumbuhan ekonomi rata-rata 5%.
PILIHAN:
52% Alutsista TNI Beroperasi Lebih dari 30 Tahun
(kri)