Dilarang Bekerja Formal, Terpaksa Jadi Pemulung

Jum'at, 03 Juli 2015 - 08:58 WIB
Dilarang Bekerja Formal, Terpaksa Jadi Pemulung
Dilarang Bekerja Formal, Terpaksa Jadi Pemulung
A A A
Berbagai cara dilakukan para imigran asal Myanmar untuk bertahan hidup di tempat penampungan.

Ribuan pencari suaka dan pengungsi yang selamat dari perjalanan panjang di laut beberapa waktu lalu kini terjebak dalam siklus baru kehidupan mereka yang miskin di Malaysia. Hidup di negara orang, mereka dituntut untuk mandiri. Untuk bisa menyambung hidup, di antara mereka ada yang menjadi pemulung. Mereka harus memilih sampah yang dapat didaur ulang atau dijual di sekitar tempat penampung.

”Kami mendapatkan sekitar 30-35 Ringgit (sekitar Rp105.000-Rp123.000). Jumlah tersebut tidak cukup untuk menghidupi keluarga kami,” kata Muhammad Hassan, pria etnis Rohingya, dikutip ABC. Upah yang didapat Hassan tersebut tentu tidak cukup untuk memenuhi keperluan keluarganya seperti membeli makanan, pakaian, dan membayar sewa. Hasan mengungkapkan, hidup di Malaysia sangat sulit.

”Kami sangat tidak sehat. Di sini kami menjadi orang yang tidak berpendidikan dan miskin. Jika kami tidak bisa bekerja sebagai pengungsi, bagaimana kita bisa bertahan?” katanya. Hassan dibantu anggota keluarganya untuk memungut sampah demi membantu mencukupi biaya hidup. Para pengungsi tersebut terpaksa tinggal di tempat yang sempit. Mereka tidak diizinkan untuk bekerja atau pergi ke sekolah umum.

Mereka hanya bisa bekerja di sektor informal atau pasar abu-abu. Seperti mengumpulkan kaleng, botol plastik, dan sampah lainnya. Peraturan tersebut mengacu pada Undang-Undang Imigrasi Malaysia. Wakil Menteri Sumber Daya Manusia Datuk Ismail Abd Muthalib mengatakan, pengusaha Malaysia tidak diizinkan untuk mempekerjakan orang asing tanpa dokumen perjalanan yang sah.

Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) menyebutkan ada lebih dari 150.000 pencari suaka atau pengungsi di Malaysia yang menunggu untuk menjadi warga negara tetap di negara lain. ”Komunitas kami ingin pergi ke Myanmar lagi karena ini bukan negara asal kami. Jika tidak mungkin, kita akan lebih suka untuk pergi ke negara ketiga seperti Australia, Amerika, atau Kanada,” harap Hassan.

Sebagian besar pengungsi dan pencari suaka yang menunggu di Malaysia berasal dari Myanmar, terutama etnis muslim Rohingya atau pemeluk Kristen Chin. Dua kelompok tersebut mengatakan, mereka dianiaya mayoritas Buddha di negaranya. Mereka mengatakan kerap mendapatkan kekerasan fisik dan pembatasan aktivitas. Di Malaysia, pengungsi tidak bisa belajar di sekolah umum.

Kendati begitu, beberapa anak tetap bisa pergi ke sekolah tidak resmi. Salah satunya sekolah di Kuala Lumpur yang memiliki 46 siswa berusia antara 3-15 tahun. ”Mereka datang ke sini untuk belajar demi masa depan yang lebih baik,” ujar Zachunghain, kepala sekolah yang mengajar di lembaga pendidikan yang didanai donatur dan dikelola relawan. Salah satunya Mara Whittaker asal Australia.

”Mereka, etnis Kristen Chin hidup dalam kemiskinan ekstrem di sini dan tidak terpelihara,” ujar Whittaker. Dia mengatakan, ada sekitar 13.000 pengungsi Chin seusai sekolah di Malaysia. ”Sebesar 40% dari mereka tidak memiliki pendidikan formal. Saya berharap mereka bisa mendapatkan pendidikan sehingga mereka dapat membuat pilihan hidup,” tambahnya. Mereka berharap ketika suatu saat nanti bisa menetap di suatu negara, mereka dapat melanjutkan pendidikan yang lebih baik.

Di antara mereka terpaksa bekerja untuk membantu keluarganya. ”Salah satu siswa saya usia 12 tahun ada yang terpaksa putus sekolah untuk merawat bayi. Saya sedih melihat kondisi seperti ini karena saya merasa tidak ada lagi harapan baginya,” ungkap Whittaker.

Ananda Nararya
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4893 seconds (0.1#10.140)