Idul Fitri Berpotensi Tak Sama

Jum'at, 03 Juli 2015 - 08:54 WIB
Idul Fitri Berpotensi Tak Sama
Idul Fitri Berpotensi Tak Sama
A A A
JAKARTA - Hari Raya Idul Fitri pada 1 Syawal 1436 H berpotensi dirayakan umat Islam secara tidak bersamaan. Posisi hilal atau bulan sabit pada 29 Ramadan nanti dinilai sangat tipis sehingga ada kemungkinan tidak akan terlihat.

Nahdlatul Ulama (NU) rencananya akan menurunkan tim rukyat pada 29 Ramadan atau 16 Juli nanti di sejumlah daerah di Indonesia untuk mengamati secara langsung munculnya hilal sebagai penentu pergantian bulan .

”Apabila hilal dapat dilihat, PBNU akan mengabarkan (memberitahukan) awal Syawal (Idul Fitri) bertepatan dengan tanggal 17 Juli 2015,” kata Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A Ghazalie Masroeri di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis. Akan tetapi, apabila hilal atau bulan sabit muda tidak terlihat, PBNU akan mengistikmalkan atau menyempurnakan puasa Ramadan menjadi 30 hari sehingga Idul Fitri jatuh pada 18 Juli.

Sebelumnya Muhammadiyah telah mengumumkan bahwa 1 Syawal 1436 H atau Idul Fitri 2015 jatuh pada hari Jumat, 17 Juli 2015. Berdasarkan perhitungan secara matematis dan astronomis oleh Lajnah Falakiyah PBNU, posisi hilal pada 16 Juli berada pada ketinggian 3 derajat 1 menit 58,9 detik dengan jarak busur 5 derajat 43 menit 58 detik. Adapun umur hilal saat itu 9 jam 26 menit 47,5 detik.

”NU berpendapat bahwa hitungan hisab bersifat prediktif. Kesahihannya harus diuji dengan observasi hilal di lapangan,” kata Ghazalie. Dia mengatakan sikap NU itu didasarkan pada ajaran Rasulullah SAW sekaligus sebagai bentuk komitmen untuk melaksanakan kesepakatan ijtimak ulama Komisi Fatwa MUI dan ormas Islam se-Indonesia pada 2003, yaitu penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah didasarkan pada metode rukyat dan hisab.

Ghazalie mengakui bahwa masih ada perbedaan di antara ormas Islam di dalam menentukan awal bulan Hijriah karena perbedaan metode yang digunakan serta kriteria imkanur rukyat atau batas visibilitas hilal. Musyawarah Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) menyepakati imkanur rukyat adalah pada saat matahari terbenam dan ketinggian hilal di atas ufuk minimal 2 derajat dengan jarak lengkung bulan-matahari minimal 3 derajat dan usia bulan minimal 8 jam dihitung sejak ijtimak (konjungsi).

Sementara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menilai secara ilmiah hilal baru bisa dilihat di atas ketinggian 5 derajat di atas ufuk. Ormas Islam yang menggunakan metode hisab murni seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) menetapkan standar berbeda mengenai awal bulan karena Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal, sedangkan Persis menggunakan imkanur rukyat.

Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Machasin mengatakan, ada tiga kriteria dalam penentuan 1 Syawal ini. Pertama wujudul hilal, yakni ketika hilal sudah terlihat berapa pun tingginya. Ini yang selama ini menjadi patokan ormas Muhammadiyah dalam menentukan 1 Syawal. Kedua , hilal harus bisa dilihat. Pengalaman selama ini, kata dia, hilal harus di atas 3 derajat, bahkan ada yang mengatakan 4 derajat dengan usia bulan minimal 8 jam dihitung sejak ijtimak (konjungsi). Lalu ketiga , hilal sudah mungkin dirukyat.

”Namun ketiga metode ini dinilai kritis oleh PBNU sehingga mereka menyatakan nanti harus dibuktikan ada yang melihat hilalnya pada 16 Juli,” ujarnya tadi malam. Jikapun penentuan hari Idul Fitri nanti berbeda, Machasin mengatakan itu hal yang biasa saja karena sebelumnya umat Islam juga pernah mengalami hal serupa.

Sebelumnya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom) Sinansari Ecip menilai wajar apabila nantinya ada perbedaan dalam penentuan awal Syawal sekaligus Idul Fitri. Menurutnya perbedaan harus disikapi sebagai bagian dari keberagaman yang dimiliki umat IslamdiIndonesia.

”Kan memang Islam mengenal adanya perbedaan, tinggal bagaimana kita menyikapinya,” ujarnya.

Dian ramdhani/ant
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4376 seconds (0.1#10.140)