Momentum Muhasabah Nasional

Kamis, 02 Juli 2015 - 09:12 WIB
Momentum Muhasabah Nasional
Momentum Muhasabah Nasional
A A A
Tidak terasa kita sudah tiba di pertengahan puasa. Waktu terasa begitu sangat cepat sehingga entah mengapa kita seolah melewatinya dengan tanpa merasa.

Saya menduga bahwa kesibukan mengurus keperluan masing-masinglah yang membuat waktu menjadi terasa bergulir tiga kali lebih cepat. Apalagi bagi mereka yang hidup di Jakarta, ibu kota negara yang sangat macet, waktu terasa singkat dan berlalu sekejap saja. Pada posisi yang demikian ini saya sependapat dengan Bre Redana (2015) yang menyatakan bahwa pada kota yang macet sesungguhnya peradaban dan kebudayaannya pun ikut macet.

Puasa adalah momentum yang tepat untuk kembali menyelami diri dan bermuhasabah sembari melakukan koreksi-koreksi diri. Jika yang kita temukan adalah kesalahan maka kita harus bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, sebaliknya jika yang kita temui adalah kebenaran dan kebaikan maka tak ada pilihan lain bagi kita kecuali memperjuangkannya kembali. Penting untuk diingat, menurut Imam Ghazali dalam opusnya IhyaIhyaUlumuddin kunci kesuksesan adalah pada keseimbangan.

Apapun yang kita jalankan hendaknya beralaskan pada proses keseimbangan. Dalam terminologi bahasa Arab, keseimbangan disebut at tawazun . Saya sependapat dengan pendapat KH A Mustofa Bisri yang mengatakan bahwa hendaknya dalam hidup ini manusia menyeimbangkan antara kesalehan ritual dengan kesalehan sosialnya. Kesalehan ritual berarti hubungan vertikal hamba dengan Tuhannya yang menyangkut ibadah-ibadah mahdah (murni) seperti salat dan juga puasa.

Adapun, kesalehan sosial berarti ibadah-ibadah yang bernilai sosial dan memiliki dampak langsung kepada kehidupan sosial. Muslim ideal adalah muslim yang mampu menyeimbangkan ibadah ritualnya dengan ibadah sosialnya. Dalam Alquran jelas sekali berkali-kali disinggung keseimbangan dua aspek ini; ritual dan sosial. Makna puasa sesungguhnya menurut hemat saya bukan saja menahan lapar dan haus serta menahan hawa nafsu destruktif seperti marah dan lain sebagainya, namun lebih dari itu puasa adalah medium untuk berbuat baik kepada sesama.

Puasa dengan kata lain adalah instrumen yang tepat untuk digunakan sebagai ladang untuk berbuat baik. Dalam terminologi lain yang lebih universal, puasa berarti menajamkan rasa kemanusiaan. Sebab dalam puasa bukan saja kita sedang dididik untuk merasakan bagaimana menderitanya orang yang sedang kelaparan, namun lebih dari itu kita juga diajarkan bagaimana berbagi terhadap sesama melalui zakat fitrah.

Akhir-akhir ini miris sekali menyaksikan pelbagai macam tragedi kemanusiaan. Sebut saja misalnya soal tragedi Rohingnya. Pengungsi-pengungsi yang terombang ambing di tengah laut tersebut bak tsunami yang datang dengan begitu cepatnya. Tragedi Rohingnya adalah tragedi tsunami manusia. Tragedi lainnya adalah kematian bocah Engeline. Kematian anak 8 tahun tersebut merupakan tamparan buat kita bersama bahwa betapa masih sangat menjamurnya kekerasan-kekerasan yang ada di sekeliling kita.

Dua tragedi kemanusiaan tersebut sesungguhnya membuat kita bertanya-tanya, sebengis itukah sifat asli manusia? Bukankah manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dikatakan paling sempurna? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kita untuk paling tidak bertanya pada diri kita bahwa apakah masih pantas kita ini disebut manusia jika masih gemar melakukan kekerasan terhadap sesama, bahkan terhadap anak-anak kita. Momentum puasa adalah momentum yang sangat tepat untuk kembali menyelami diri sendiri dan melakukan koreksi-koreksi.

Puasa juga momentum yang sangat tepat untuk dijadikan sebagai media untuk berlatih mempertajam rasa kemanusiaan kita agar kelak di kemudian hari kita tidak kembali terjerumus ke dalam tragedi yang sama; yakni tragedi kejahatan kemanusiaan. Wallahu alam bish-shawab.

A Helmy Faishal Zaini
Ketua Fraksi PKB dan Anggota Komisi X DPR
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1132 seconds (0.1#10.140)