UP2DP & Ujian Sejarah
A
A
A
Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) ini sesungguhnya merupakan ujian sejarah bagi anggota DPR periode2014- 2019.
Hak konstitusional sebagai anggota DPR saat ini mendapat tantangan. Apabila anggota DPR dapat mengklarifikasi, memperjuangkan, dan mewujudkan implementasi usulan ini, maka janji-janji kampanye pada saat Pileg 2014 akan dapat terwujud. Dapat dipastikan semua anggota DPR saat ini menjanjikan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dapilnya, menjanjikan untuk memperjuangkan aspirasi warga menjadi kebijakan formal dalam kehidupan bernegara, menjanjikan agar ketika melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran dapat terwujud kepentingan masyarakat yang seluas-luasnya.
Maka perdebatan untuk mewujudkan UP2DP harus dilihat dalam konteks itu. Usulan ini memperkuat anggota DPR, memberikan tools untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. UP2DP mesti dilihat sebagai isu yang secara langsung menyentuh akar rumput, bukan isu elitis. Apabila dilihat dari besarannya, perdebatan panjang ini hanya membicarakan sekitar 0,5% dari APBN kita.
Di mana penyalurannya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. Upaya memperjuangkan UP2DP ini setidaknya didasari dua motif. Pertama, pelaksanaan sumpah/janji Anggota DPR RI. Penggalan sumpah/janji Anggota DPR RI berbunyi...” akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Tujuan NKRI sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, salah satunya yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum.
Makajelas, pijakananggotaDPR dalam memperjuangkan usulan ini sangat kokoh. Kedua, UP2DP adalah pelaksanaan pembangunan yang tetap menjadi ranah eksekutif dengan pengawasan khusus dari masing-masing anggota DPR. Yang menjadikan usulan ini bersifat khusus adalah aspirasi program yang bersifat bottom-up.
Dari masyarakat yang secara langsung disampaikan pada anggota DPR yang mewakilinya. Kekhususan lain adalah pelaksanaan program ini menjadi satupaketdenganpengawasannya, yaitu oleh masing-masing anggota DPR. Tentu saja supaya pengawasan ini menjadi terjangkau untuk dilaksanakan, yangpaling feasible adalahdilaksanakan di wilayah dapilnya. Dalam setiap kali masa reses, anggota DPR dapat melakukan monitoring dan evaluasi.
Apabila ada suara-suara yangmempertanyakan, apakah UP2DP adalah upaya anggota DPR menanam kebaikan untuk dapat terpilih kembali, maka patut dipertanyakan adalah apakah yang salah dengan itu? Seorang anggota DPR yang berusaha terpilih kembali dengan langkah nyata untuk meningkatkan kesejahteraan dapilnya.
Uang yang digunakan adalah uang dari masyarakat, disalurkan berdasarkan aspirasi masyarakat, menjadi bagian dari APBN dan diawasi pelaksanaannya oleh anggota DPR, sesuai hak konstitusionalnya. Pelaksanaan UP2DP justru meminimalisasi potensi munculnya calo anggaran.
Penyimpangan yang selama ini terjadi adalah calo anggaran mengatasnamakan dapil, kemudian mereka menjalin kerja sama dengan pengusaha. Pengawasan oleh anggota DPR di dapil akan memutus mata rantai tersebut. Problem korupsi yang muncul di lembaga legislatif adalah tidak adanya pengaturan yang jelas dalam hal political financing. Proposal pembangunan dapil sebagai bentuk aspirasi pemilih, bertumpuk di meja.
Sebagai bentuk pemenuhan sumpah dan janji untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, anggota DPR terpaksa mencari dana ekstra, yang kadang ternyata tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dan bisa jadi eksekutif secara sengaja membiarkan situasi ini.
Pelaksanaan di Negara Lain
Di AS, earmarks dipraktekkansejaktahun1873danhingga saat ini menjadi rational public discourse, terutama menjelang pemilu. Kalangan yang sinis pada kebijakaninimenyebutnya sebagai pork barrel. Kelompoksinis tersebut menyamakan earmarks dengan praktik tertentu pada masa era sebelum perang saudaradiAS.
Pada masaitu, terdapat praktik memberikan budak kulit hitam satu barrel(gentong) “salt pork“ (sejenis makanan dari daging babi) dan membiarkan mereka memperebutkan gentong tersebut. Earmarks bersifat objective determination, sementara pork barrel bersifat spending subjective, di mana anggota parlemen menjadi pelaksana program. Terminologi pork barrel biasanya mengacu pada pembiayaan yang dimaksudkan untuk memberikan keuntungan bagi konstituen dari politisi.
Proses earmarks di Kongres Amerika Serikat telah mengalami perubahan secara substansial sejak Kongres yang ke- 110. Seluruh anggota harus mem-posting seluruh usulan mereka pada website masingmasing dan mereka harus menandatangani sebuah surat, yang juga ditampilkan secara online, menjamin bahwa baik anggota maupun pasangan mereka tidak memiliki kepentingan finansial pada usulan program earmarks mereka.
Program earmarks dapat menjadi jalan pintas antara kebutuhan masyarakat, perencanaan dan implementasi program yang selama ini masih menjadi kendala di Indonesia. Di AS, praktik yang berjalan selama ratusan tahun ini dibatasi paling tinggi 2% dari APBN (Federal Budget). Filipina memberikan paling banyak 200 juta peso (sekitar Rp40,6 miliar) untuk Senator dan 70 juta peso (sekitar Rp14,21 miliar) untuk DPR.
Selain Amerika Serikat dan Filipina, negara-negara lain yang juga telah menerapkan earmarks adalah Afrika, Australia, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Jerman dengan berbagai variannya. Pada akhirnya, apabila tujuan akhir dari proses alokasi dana dimaksudkan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, maka keputusan merupakan kesepakatan dari eksekutif dan legislatif.
Dalam demokrasi, semua institusi dan proses adalah subject to abuse. Perlindungan terbaik adalah dengan menjaga mekanisme checks and balances, transparansi dan pemilihan pejabat yang memiliki integritas .
Mukhamad Misbakhun
Wakil Ketua TIM UP2DP DPR RI
Hak konstitusional sebagai anggota DPR saat ini mendapat tantangan. Apabila anggota DPR dapat mengklarifikasi, memperjuangkan, dan mewujudkan implementasi usulan ini, maka janji-janji kampanye pada saat Pileg 2014 akan dapat terwujud. Dapat dipastikan semua anggota DPR saat ini menjanjikan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dapilnya, menjanjikan untuk memperjuangkan aspirasi warga menjadi kebijakan formal dalam kehidupan bernegara, menjanjikan agar ketika melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran dapat terwujud kepentingan masyarakat yang seluas-luasnya.
Maka perdebatan untuk mewujudkan UP2DP harus dilihat dalam konteks itu. Usulan ini memperkuat anggota DPR, memberikan tools untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. UP2DP mesti dilihat sebagai isu yang secara langsung menyentuh akar rumput, bukan isu elitis. Apabila dilihat dari besarannya, perdebatan panjang ini hanya membicarakan sekitar 0,5% dari APBN kita.
Di mana penyalurannya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. Upaya memperjuangkan UP2DP ini setidaknya didasari dua motif. Pertama, pelaksanaan sumpah/janji Anggota DPR RI. Penggalan sumpah/janji Anggota DPR RI berbunyi...” akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Tujuan NKRI sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, salah satunya yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum.
Makajelas, pijakananggotaDPR dalam memperjuangkan usulan ini sangat kokoh. Kedua, UP2DP adalah pelaksanaan pembangunan yang tetap menjadi ranah eksekutif dengan pengawasan khusus dari masing-masing anggota DPR. Yang menjadikan usulan ini bersifat khusus adalah aspirasi program yang bersifat bottom-up.
Dari masyarakat yang secara langsung disampaikan pada anggota DPR yang mewakilinya. Kekhususan lain adalah pelaksanaan program ini menjadi satupaketdenganpengawasannya, yaitu oleh masing-masing anggota DPR. Tentu saja supaya pengawasan ini menjadi terjangkau untuk dilaksanakan, yangpaling feasible adalahdilaksanakan di wilayah dapilnya. Dalam setiap kali masa reses, anggota DPR dapat melakukan monitoring dan evaluasi.
Apabila ada suara-suara yangmempertanyakan, apakah UP2DP adalah upaya anggota DPR menanam kebaikan untuk dapat terpilih kembali, maka patut dipertanyakan adalah apakah yang salah dengan itu? Seorang anggota DPR yang berusaha terpilih kembali dengan langkah nyata untuk meningkatkan kesejahteraan dapilnya.
Uang yang digunakan adalah uang dari masyarakat, disalurkan berdasarkan aspirasi masyarakat, menjadi bagian dari APBN dan diawasi pelaksanaannya oleh anggota DPR, sesuai hak konstitusionalnya. Pelaksanaan UP2DP justru meminimalisasi potensi munculnya calo anggaran.
Penyimpangan yang selama ini terjadi adalah calo anggaran mengatasnamakan dapil, kemudian mereka menjalin kerja sama dengan pengusaha. Pengawasan oleh anggota DPR di dapil akan memutus mata rantai tersebut. Problem korupsi yang muncul di lembaga legislatif adalah tidak adanya pengaturan yang jelas dalam hal political financing. Proposal pembangunan dapil sebagai bentuk aspirasi pemilih, bertumpuk di meja.
Sebagai bentuk pemenuhan sumpah dan janji untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, anggota DPR terpaksa mencari dana ekstra, yang kadang ternyata tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dan bisa jadi eksekutif secara sengaja membiarkan situasi ini.
Pelaksanaan di Negara Lain
Di AS, earmarks dipraktekkansejaktahun1873danhingga saat ini menjadi rational public discourse, terutama menjelang pemilu. Kalangan yang sinis pada kebijakaninimenyebutnya sebagai pork barrel. Kelompoksinis tersebut menyamakan earmarks dengan praktik tertentu pada masa era sebelum perang saudaradiAS.
Pada masaitu, terdapat praktik memberikan budak kulit hitam satu barrel(gentong) “salt pork“ (sejenis makanan dari daging babi) dan membiarkan mereka memperebutkan gentong tersebut. Earmarks bersifat objective determination, sementara pork barrel bersifat spending subjective, di mana anggota parlemen menjadi pelaksana program. Terminologi pork barrel biasanya mengacu pada pembiayaan yang dimaksudkan untuk memberikan keuntungan bagi konstituen dari politisi.
Proses earmarks di Kongres Amerika Serikat telah mengalami perubahan secara substansial sejak Kongres yang ke- 110. Seluruh anggota harus mem-posting seluruh usulan mereka pada website masingmasing dan mereka harus menandatangani sebuah surat, yang juga ditampilkan secara online, menjamin bahwa baik anggota maupun pasangan mereka tidak memiliki kepentingan finansial pada usulan program earmarks mereka.
Program earmarks dapat menjadi jalan pintas antara kebutuhan masyarakat, perencanaan dan implementasi program yang selama ini masih menjadi kendala di Indonesia. Di AS, praktik yang berjalan selama ratusan tahun ini dibatasi paling tinggi 2% dari APBN (Federal Budget). Filipina memberikan paling banyak 200 juta peso (sekitar Rp40,6 miliar) untuk Senator dan 70 juta peso (sekitar Rp14,21 miliar) untuk DPR.
Selain Amerika Serikat dan Filipina, negara-negara lain yang juga telah menerapkan earmarks adalah Afrika, Australia, Denmark, Swedia, Norwegia, dan Jerman dengan berbagai variannya. Pada akhirnya, apabila tujuan akhir dari proses alokasi dana dimaksudkan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, maka keputusan merupakan kesepakatan dari eksekutif dan legislatif.
Dalam demokrasi, semua institusi dan proses adalah subject to abuse. Perlindungan terbaik adalah dengan menjaga mekanisme checks and balances, transparansi dan pemilihan pejabat yang memiliki integritas .
Mukhamad Misbakhun
Wakil Ketua TIM UP2DP DPR RI
(ars)