Peran Komisi Yudisial Dinilai Belum Optimal
A
A
A
JAKARTA - Peran dan fungsi Komisi Yudisial (KY) selama ini dinilai belum optimal sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Karena itu, seleksi calon komisioner KY harusnya bisa menjadi momentum untuk melakukan perbaikan dengan menjaring calon berkualitas. Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Universitas Indonesia Dio Ashar Wicaksana mengatakan, pembentukan KY hakikatnya merupakan amanat konstitusi sesuai Pasal 24A ayat 3 dan 24B UUD 1945.
Di samping bertugas melakukan pengangkatan hakim agung, KY juga dituntut menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim dengan fungsi pengawasan di dalamnya.
”Menjaga martabat hakim bukan hanya dengan penindakan, tapi dengan langkah preventif yang selama ini tidak dilakukan. Tidak ada database pelanggaran dan rekam jejak hakim,” kata Dio Ashar Wicaksana dalam diskusi publik ”Mencari Komisioner KY Ideal 2015-2020” di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, KY selama ini dinilai tidak mampu membangun relasi dengan pihak eksternal. Dio mengatakan, relasi KY dengan Mahkamah Agung termasuk DPR dan kepolisian dinilai buruk terbukti dengan rendahnya respect mereka terhadap KY. KY juga dipandang lemah dalam menjalin komunikasi dengan media untuk membuka informasi kepada publik.
Anggota Koalisi Posko Pemantau KY dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani menyebutkan, setelah pengungkapan tujuh mafia peradilan oleh mantan komisioner KY Busyro Muqoddas pada 2010, sampai saat ini KY tidak memiliki nyali lagi dalam mengungkap dan merilis hakim yang melakukan pelanggaran.
Buktinya, tidak ditemukan satu database yang memuat pelanggaran hakim dan dirilis ke publik. Padahal, menurut Julius, masyarakat perlu tahu siapa saja hakim yang melakukan pelanggaran kode etik sehingga dapat membantu proses pengawalan.
”Dari ribuan laporan yang masuk ke KY, publik tidak pernah tahu siapa yang dianggap pelanggar dan siapa yang dihukum. Padahal, mandat utama KY di samping melakukan pengawasan juga harus transparan dan akuntabel mengenai laporan pelanggaran hakim,” katanya.
Pakar hukum pidana UII Yogyakarta Muzakkir mengingatkan, pansel harus berhatihati dalam merekrut komisioner KY, sebab kinerja KY selama ini menjadi sorotan. Kriteria komisioner KY, menurut Muzakkir, dikembalikan pada peran KY sebagai penjaga kehormatan atau marwah hakim.
Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, KY harus menguasai pengetahuan hukum, baik pidana maupun perdata. Pasalnya, objek pengawasan KY terhadap kinerja hakim adalah terkait teknis yudisial atau peradilan yang menyangkut tugas pokok hakim, termasuk bagaimana terlaksananya keputusan tersebut.
Selain menguasai pengetahuan peradilan, komisioner KY juga harus memiliki kewibawaan dan bisa menegakkan kode etik.
Khoirul muzakki
Karena itu, seleksi calon komisioner KY harusnya bisa menjadi momentum untuk melakukan perbaikan dengan menjaring calon berkualitas. Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Universitas Indonesia Dio Ashar Wicaksana mengatakan, pembentukan KY hakikatnya merupakan amanat konstitusi sesuai Pasal 24A ayat 3 dan 24B UUD 1945.
Di samping bertugas melakukan pengangkatan hakim agung, KY juga dituntut menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim dengan fungsi pengawasan di dalamnya.
”Menjaga martabat hakim bukan hanya dengan penindakan, tapi dengan langkah preventif yang selama ini tidak dilakukan. Tidak ada database pelanggaran dan rekam jejak hakim,” kata Dio Ashar Wicaksana dalam diskusi publik ”Mencari Komisioner KY Ideal 2015-2020” di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, KY selama ini dinilai tidak mampu membangun relasi dengan pihak eksternal. Dio mengatakan, relasi KY dengan Mahkamah Agung termasuk DPR dan kepolisian dinilai buruk terbukti dengan rendahnya respect mereka terhadap KY. KY juga dipandang lemah dalam menjalin komunikasi dengan media untuk membuka informasi kepada publik.
Anggota Koalisi Posko Pemantau KY dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani menyebutkan, setelah pengungkapan tujuh mafia peradilan oleh mantan komisioner KY Busyro Muqoddas pada 2010, sampai saat ini KY tidak memiliki nyali lagi dalam mengungkap dan merilis hakim yang melakukan pelanggaran.
Buktinya, tidak ditemukan satu database yang memuat pelanggaran hakim dan dirilis ke publik. Padahal, menurut Julius, masyarakat perlu tahu siapa saja hakim yang melakukan pelanggaran kode etik sehingga dapat membantu proses pengawalan.
”Dari ribuan laporan yang masuk ke KY, publik tidak pernah tahu siapa yang dianggap pelanggar dan siapa yang dihukum. Padahal, mandat utama KY di samping melakukan pengawasan juga harus transparan dan akuntabel mengenai laporan pelanggaran hakim,” katanya.
Pakar hukum pidana UII Yogyakarta Muzakkir mengingatkan, pansel harus berhatihati dalam merekrut komisioner KY, sebab kinerja KY selama ini menjadi sorotan. Kriteria komisioner KY, menurut Muzakkir, dikembalikan pada peran KY sebagai penjaga kehormatan atau marwah hakim.
Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, KY harus menguasai pengetahuan hukum, baik pidana maupun perdata. Pasalnya, objek pengawasan KY terhadap kinerja hakim adalah terkait teknis yudisial atau peradilan yang menyangkut tugas pokok hakim, termasuk bagaimana terlaksananya keputusan tersebut.
Selain menguasai pengetahuan peradilan, komisioner KY juga harus memiliki kewibawaan dan bisa menegakkan kode etik.
Khoirul muzakki
(ftr)