Konstitusi dalam Negara Demokratis
A
A
A
Menyaksikan situasi bangsa kita hari ini, barangkali tidak ada kata lain selain kata memprihatinkan. Persoalan-persoalan pelik yang melanda bangsa ini silih berganti datang. Belum usai persoalan yang satu sudah disusul oleh persoalan berikutnya yang tak kalah pelik, dan begitu seterusnya.
Yang sangat jelas, problem serius melanda bidang penegakan hukum di mana hukum yang dibuat dan ditegakkan, seolah kehilangan nyawa. Hukum dapat dengan mudah dirasuki oleh kepentingan sesaat yang justru bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri. Begitu pula di ranah politik, yang hanya menyuguhkan panggung perebutan kekuasaan yang minim etika.
Tata kelola perekonomian, seperti pemanfaatan sumber daya alam, tenaga kerja, serta keuangan negara, pada umumnya belum memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Politik identitas dan kepentingan mengalahkan visi kebersamaan sebagai bangsa seiring rasa saling percaya di antara sesama warga bangsa yang memudar pelan-pelan.
Distrust itu telah menimbulkan disorientasi, tak ada pegangan bagi rakyat mengenai hendak dibawa ke mana bangsa ini dijalankan. Pada gilirannya, disorientasi itu pun berpeluang mencetak pembangkangan (disobedience), yang dalam skala kecil atau besar, sama-sama membahayakan bagi integrasi bangsa dan negara.
Segala cara telah diupayakan guna memperbaiki sistem, baik hukum, sosial, politik, dan ekonomi, namun hal ini tak juga menunjukkan hasil. Maka, banyak yang kemudian meyakini bahwa problem sebenarnya bukanlah soal sistem belaka, melainkan terkait dengan soal etika berbangsa dan bernegara yang meredup.
Betapa pun sistem diubah dan diganti, tetap saja problem tak kunjung tuntas teratasi selama kita belum mampu membenahi etika berbangsa dan bernegara. Jadi, inti persoalannya sekarang ialah soal melemahnya etika berbangsa dan bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan kondisi bangsa ini haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian erat dengan krisis etika dan moralitas.
Untuk itu, upaya menemukan solusi harus disertai upaya mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip fundamen etis-moral dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, UUD 1945.
Buku Konstitusi Bernegara (Praksis Kenegaraan Bermartabat dan Demokratis) karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. memberikan wawasan dan pembahasan yang menarik mengenai pentingnya penyelenggaraan negara yang baik dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945 agar tercipta kehidupan berbangsa yang bermartabat dan demokratis.
Tulisan dalam buku ini terdiri atas 5 (lima) bagian, yaitu: (1) Aktualisasi dan Potret Konstitusi dalam Praksis Kenegaraan, (2) Akuntabilitas Hukum dan Penyelenggaraan Good Governance, (3) Wajah Demokrasi Pasca-Perubahan UUD 1945, (4) Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Konstitusi, dan (5) Kesadaran Berkonstitusi dalam Pembangunan Bangsa.
Dalam konsep negara hukum demokratis, demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum, sedangkan hukum itu sendiri ditentukan melalui cara-cara demokratis berdasarkan konstitusi. Dengan demikian, aturan dasar penyelenggaraan negara harus disandarkan kembali secara konsisten pada konstitusi.
Tanpa kecuali, semua aturan hukum yang dibuat melalui mekanisme demokrasi tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi. UUD 1945 yang terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal itu menjadi acuan negara dan masyarakat. Bagi negara, konstitusi adalah kontrak sosial antara penguasa dan rakyat yang telah memberikan mandatnya untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagi masyarakat, konstitusi menjadi acuan dalam bertindak dan bertingkah laku dalam setiap aktivitas berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Negara Indonesia adalah negara hukum. Secara konstitusional hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Bahkan, secara historis negara hukum (Rechtsstaat ) adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa.
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Upaya pembangunan hukum hingga saat ini lebih banyak terkonsentrasi pada masalah substansi hukum dan struktur hukum atau elemen kelembagaan (institusional) dan elemen kaidah aturan (instrumental).
Salah satu faktor yang ditengarai bila hukum tidak berjalan, kendalanya adalah budaya hukum masyarakat. Dengan demikian, untuk menjalankan konstitusi juga diperlukan adanya budaya berkonstitusi. Untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi diperlukan pemahaman terhadap norma-norma dasar yang menjadi muatan dasar konstitusi.
Pemahaman tersebut menjadi dasar bagi masyarakat untuk selalu menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, patut disadari upaya membangun kesadaran mengenai pentingnya konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentu tidak mudah. Karena yang menyusun dan merumuskan teks UUD 1945 hanyalah segelintir elite tokoh-tokoh yang mengklaim atau diklaim mewakili seluruh rakyat Indonesia melalui proses sistem permusyawaratan dan perwakilan di lembaga MPR.
Oleh sebab itu, upaya pemasyarakatan nilai-nilai dan norma yang terkandung di dalam UUD 1945 itu sangat penting. Upaya pemasyarakatan itu bukanlah pekerjaan ringan dan dapat dibebankan hanya kepada salah satu institusi kenegaraan.
Nuzul QurNuzul Quraini Mardiya,
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengkajian Perkara dan
Pengelolaan Teknologi Informasi Komunikasi Mahkamah
Yang sangat jelas, problem serius melanda bidang penegakan hukum di mana hukum yang dibuat dan ditegakkan, seolah kehilangan nyawa. Hukum dapat dengan mudah dirasuki oleh kepentingan sesaat yang justru bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri. Begitu pula di ranah politik, yang hanya menyuguhkan panggung perebutan kekuasaan yang minim etika.
Tata kelola perekonomian, seperti pemanfaatan sumber daya alam, tenaga kerja, serta keuangan negara, pada umumnya belum memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Politik identitas dan kepentingan mengalahkan visi kebersamaan sebagai bangsa seiring rasa saling percaya di antara sesama warga bangsa yang memudar pelan-pelan.
Distrust itu telah menimbulkan disorientasi, tak ada pegangan bagi rakyat mengenai hendak dibawa ke mana bangsa ini dijalankan. Pada gilirannya, disorientasi itu pun berpeluang mencetak pembangkangan (disobedience), yang dalam skala kecil atau besar, sama-sama membahayakan bagi integrasi bangsa dan negara.
Segala cara telah diupayakan guna memperbaiki sistem, baik hukum, sosial, politik, dan ekonomi, namun hal ini tak juga menunjukkan hasil. Maka, banyak yang kemudian meyakini bahwa problem sebenarnya bukanlah soal sistem belaka, melainkan terkait dengan soal etika berbangsa dan bernegara yang meredup.
Betapa pun sistem diubah dan diganti, tetap saja problem tak kunjung tuntas teratasi selama kita belum mampu membenahi etika berbangsa dan bernegara. Jadi, inti persoalannya sekarang ialah soal melemahnya etika berbangsa dan bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan kondisi bangsa ini haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian erat dengan krisis etika dan moralitas.
Untuk itu, upaya menemukan solusi harus disertai upaya mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip fundamen etis-moral dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, UUD 1945.
Buku Konstitusi Bernegara (Praksis Kenegaraan Bermartabat dan Demokratis) karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. memberikan wawasan dan pembahasan yang menarik mengenai pentingnya penyelenggaraan negara yang baik dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945 agar tercipta kehidupan berbangsa yang bermartabat dan demokratis.
Tulisan dalam buku ini terdiri atas 5 (lima) bagian, yaitu: (1) Aktualisasi dan Potret Konstitusi dalam Praksis Kenegaraan, (2) Akuntabilitas Hukum dan Penyelenggaraan Good Governance, (3) Wajah Demokrasi Pasca-Perubahan UUD 1945, (4) Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Konstitusi, dan (5) Kesadaran Berkonstitusi dalam Pembangunan Bangsa.
Dalam konsep negara hukum demokratis, demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum, sedangkan hukum itu sendiri ditentukan melalui cara-cara demokratis berdasarkan konstitusi. Dengan demikian, aturan dasar penyelenggaraan negara harus disandarkan kembali secara konsisten pada konstitusi.
Tanpa kecuali, semua aturan hukum yang dibuat melalui mekanisme demokrasi tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi. UUD 1945 yang terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal itu menjadi acuan negara dan masyarakat. Bagi negara, konstitusi adalah kontrak sosial antara penguasa dan rakyat yang telah memberikan mandatnya untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagi masyarakat, konstitusi menjadi acuan dalam bertindak dan bertingkah laku dalam setiap aktivitas berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Negara Indonesia adalah negara hukum. Secara konstitusional hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Bahkan, secara historis negara hukum (Rechtsstaat ) adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa.
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Upaya pembangunan hukum hingga saat ini lebih banyak terkonsentrasi pada masalah substansi hukum dan struktur hukum atau elemen kelembagaan (institusional) dan elemen kaidah aturan (instrumental).
Salah satu faktor yang ditengarai bila hukum tidak berjalan, kendalanya adalah budaya hukum masyarakat. Dengan demikian, untuk menjalankan konstitusi juga diperlukan adanya budaya berkonstitusi. Untuk menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi diperlukan pemahaman terhadap norma-norma dasar yang menjadi muatan dasar konstitusi.
Pemahaman tersebut menjadi dasar bagi masyarakat untuk selalu menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, patut disadari upaya membangun kesadaran mengenai pentingnya konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentu tidak mudah. Karena yang menyusun dan merumuskan teks UUD 1945 hanyalah segelintir elite tokoh-tokoh yang mengklaim atau diklaim mewakili seluruh rakyat Indonesia melalui proses sistem permusyawaratan dan perwakilan di lembaga MPR.
Oleh sebab itu, upaya pemasyarakatan nilai-nilai dan norma yang terkandung di dalam UUD 1945 itu sangat penting. Upaya pemasyarakatan itu bukanlah pekerjaan ringan dan dapat dibebankan hanya kepada salah satu institusi kenegaraan.
Nuzul QurNuzul Quraini Mardiya,
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengkajian Perkara dan
Pengelolaan Teknologi Informasi Komunikasi Mahkamah
(bbg)