Seni Abstrak, Warisan Orde Baru
A
A
A
Proyek kesenian di zaman Orde Baru (Orba) boleh dikatakan mencapai puncaknya, terutama pada kesenian yang dianggap baik oleh pemerintah ketika itu seperti seni abstrak.
Melalui proyek seni tersebut, Orba menancapkan hegemoni kekuasaan dengan menyebar sebanyak mungkin bentuk-bentuk propaganda, melenggang hingga 32 tahun masa pemerintahan. Kini, warisan seni Orba itu masih banyak dijumpai secara kasatmata. Salah satunya adalah Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Hal tersebut menyeruak saat diskusi seni rupa: Esensi Sosial Politik dalam Seni Rupa Orba; yang Selamat dan yang Kiamat, yang diadakan oleh Ok. Video dan Galeri Nasional Indonesia, Selasa (23/6), di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Dengan menggunakan kesenian sebagai salah satu bentuk propaganda, Orba mengambil konsep kebudayaan daerah sebagai kebudayaan nasional.
Kesenian kebudayaan yang diangkat pun adalah sebuah seni kebudayaan yang juga dianggap baik oleh Orba, semisal rumah adat di TMII. Kurator seni rupa Martin menilai, kesenian yang dianggap baik oleh Pemerintah Orba akan mendapat tempat sebanyak- banyaknya ketika itu. Semisal TMII dan juga beberapa karya seni rupa abstrak. Secara tidak sadar, seniman ketika itu turut menciptakan suatu kenyataan sosial baru lewat seni ”pesanan” Orba.
Pembubaran Lekra (lembaga seni yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia) menjadi peristiwa bersejarah dalam dunia seni rupa Indonesia. Dengan tumbangnya Lekra, berakhir pulalah suatu tradisi estetika seni lukis yang memiliki wawasan dan sikap sosial yang eksplisit. Naiknya Orba merupakan naiknya rezim yang memuja segala bentuk yang ambigu dan samarsamar dalam perkara politik.
Hal inilah yang membuat seni abstrak menjadi pilihan terbaik rezim Orba dalam mengangkat sebuah kesenian sebagai sebuah kepentingan politik. Kemenangan Orba atas Orde Lama berarti kemenangan estetika formalis di atas paham-paham estetik lain yang tumbuh kembang di era Soekarno (realisme, didaktisime, fungsionalisme/ instrumentalisme.
Estetika formalis tersebut pun tercermin dalam lukisan-lukisan abstrak dengan cepat dipandang selaras dengan proyek politik kebudayaan Orba. Dalam konteks kesenian, Orba membutuhkan jenis praktik kesenian yang tidak kritis terhadap pemerintah. ”Orde Baru menempatkan seni abstrak dengan baik. Kemudian diharapkan menjadi sebuah jenis kesenian yang tidak kritis terhadap pemerintah dan tak mencampuri urusan politiknya,” ujar Martin.
Keterkaitan erat antara pengarus-utamaan gaya lukis abstrak dengan estetika formalisnya dan politik kebudayaan kapitalisme, lanjutnya, bukanlah fenomena khas Indonesia saja. Di Amerika Serikat, gaya lukis dan estetika semacam itu telah lama disinyalir punya hubungan kerabat dengan Central Intelegence Agency (CIA). Intervensi CIA antara lain melalui lembaga seni berpengaruh seperti Museum of Modern Art (MoMA).
Lewat lembaga inilah perupa abstrak-ekspresionis Amerika Serikat memberikan penekanan individualis dan menghapuskan pokok ikhwal yang kentara dari lukisan mereka. Hal ini secara disadari maupun tidak merupakan sumbangsih dari suatu fenomena politik, yakni perceraian antara seni dan politik yang dengan sempurna melayani kepentingan Amerika Serikat dalam Perang Dingin.
Dengan begitu, terlihat bagaimana laju kapitalisme dibuat sedemikian rupa sehingga sebaris dengan seni lukis abstrak. Dalam konteks Indonesia, kesatua gerak itu terjadi antara kapitalisme-negara yang dikonsolidasikan Orba dan hegemoni gaya lukis abstrak. Maka, kejatuhan PKI dan Soekarno disambut riang oleh Orba, seperti yang tercermin melalui lukisan Mentari Setelah September 1965 karya A.D. Pirous (1968).
Pirous bahkan dalam salah satu wawancaranya dengan seorang antropolog Kenneth George pada 1994 mengungkapkan, ketika ditanya tentang keengganannya dalam partai politik, Pirous menjawab bahwa ia hanya ingin menjadi pelukis dan tidak ingin terlibat dalam arus politik. Dalam konteks ini, Mentari Setelah September 1965 diciptakan. Pirous menceritakan dalam wawancaranya dengan George mengenai arti penting lukisan tersebut ketika dipamerkan pada 1968.
Ia katakan bahwa lukisan tersebut adalah primadona titik pusat dari seluruh lukisan-lukisannya. Dengan demikian, karya tersebut tidak ditafsirkan dengan simbol pesimisme atau kejengahan terhadap Orba, melainkan justru merupakan rasa syukur terhadap Soeharto. Simpatinya terhadap Orba pun tidak ambigu ketika ditanya apakah seni lukis Indonesia suatu saat nanti dimungkinkan untuk mengungkapkan penderitaan mereka yang terbantai dalam pembasmian komunis, ia pun menyatakan hal tersebut akan lama terjadi.
Bila pemerintahan Soeharto mencapai puncaknya dan kemudian jatuh, atau bila ada orang-orang yang ingin menodai sejarah Indonesia dengan kebohongan, atau sesuatu yang tidak merefleksikan kepentingan mayoritas, lukisan- lukisan tentang mereka yang terbunuh akan menjadi pahlawan kembali. Dalam hal tersebut, menurutnya, persepsi Pirous atas pembasmian komunis sebetulnya tak jauh berbeda dari persepsi mereka yang diwawancarai dalam film The Act of Killing.
Jadi, secara jelas lukisan abstrak tidak bisa lepas dari pengaruh politik Orba. Bahkan, dalam sosok Pirous, komitmen politik itu terlihat terang benderang. Sementara itu, seniman sekaligus Aktor Nirwanto melihat sejarah dan gerak Orba dalam mengendalikan kesenian. Ketika Soekarno lengser, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin ketika itu masih diperbolehkan menjabat dan bahkan didukung langkahnya oleh Orba dalam membangun pusat kebudayaan dan seni di Jakarta, yakni Taman Ismail Marzuki (TIM). Pada masa awal, TIM seolah tidak dapat didikte oleh pemerintah.
Itu terbukti dengan adanya berbagai pergelaran dan pameran seni yang beraneka ragam tanpa membatasi suatu jenis kesenian tertentu. Namun, karena hal tersebut dianggap membahayakan dan mengganggu pemerintah, dengan cepat Ali Sadikin pun lengser dari jabatannya dan digantikan orangnya Soeharto. Hal ini jelas menjadi perubahan haluan TIM yang semula demokratis, menjadi TIM yang antipati terhadap suatu jenis kesenian tertentu.
Orba tidak menginginkan kesenian menjadi kritis terhadap pemerintah. Maka, bisa dikatakan ketika itu, TIM bagaikan mati suri. Tiada gong yang menggaung untuk membangunkannya. ”Digantinya Ali Sadikin dengan sangat jelas mengubah haluan TIM menjadi mati suri. Orde Baru memang tidak menginginkan TIM dan kesenian menjadi kritis terhadap pemerintah. Maka, kesenian mulai didikte pemerintah,” ujarnya.
Imas damayanti
Melalui proyek seni tersebut, Orba menancapkan hegemoni kekuasaan dengan menyebar sebanyak mungkin bentuk-bentuk propaganda, melenggang hingga 32 tahun masa pemerintahan. Kini, warisan seni Orba itu masih banyak dijumpai secara kasatmata. Salah satunya adalah Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Hal tersebut menyeruak saat diskusi seni rupa: Esensi Sosial Politik dalam Seni Rupa Orba; yang Selamat dan yang Kiamat, yang diadakan oleh Ok. Video dan Galeri Nasional Indonesia, Selasa (23/6), di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Dengan menggunakan kesenian sebagai salah satu bentuk propaganda, Orba mengambil konsep kebudayaan daerah sebagai kebudayaan nasional.
Kesenian kebudayaan yang diangkat pun adalah sebuah seni kebudayaan yang juga dianggap baik oleh Orba, semisal rumah adat di TMII. Kurator seni rupa Martin menilai, kesenian yang dianggap baik oleh Pemerintah Orba akan mendapat tempat sebanyak- banyaknya ketika itu. Semisal TMII dan juga beberapa karya seni rupa abstrak. Secara tidak sadar, seniman ketika itu turut menciptakan suatu kenyataan sosial baru lewat seni ”pesanan” Orba.
Pembubaran Lekra (lembaga seni yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia) menjadi peristiwa bersejarah dalam dunia seni rupa Indonesia. Dengan tumbangnya Lekra, berakhir pulalah suatu tradisi estetika seni lukis yang memiliki wawasan dan sikap sosial yang eksplisit. Naiknya Orba merupakan naiknya rezim yang memuja segala bentuk yang ambigu dan samarsamar dalam perkara politik.
Hal inilah yang membuat seni abstrak menjadi pilihan terbaik rezim Orba dalam mengangkat sebuah kesenian sebagai sebuah kepentingan politik. Kemenangan Orba atas Orde Lama berarti kemenangan estetika formalis di atas paham-paham estetik lain yang tumbuh kembang di era Soekarno (realisme, didaktisime, fungsionalisme/ instrumentalisme.
Estetika formalis tersebut pun tercermin dalam lukisan-lukisan abstrak dengan cepat dipandang selaras dengan proyek politik kebudayaan Orba. Dalam konteks kesenian, Orba membutuhkan jenis praktik kesenian yang tidak kritis terhadap pemerintah. ”Orde Baru menempatkan seni abstrak dengan baik. Kemudian diharapkan menjadi sebuah jenis kesenian yang tidak kritis terhadap pemerintah dan tak mencampuri urusan politiknya,” ujar Martin.
Keterkaitan erat antara pengarus-utamaan gaya lukis abstrak dengan estetika formalisnya dan politik kebudayaan kapitalisme, lanjutnya, bukanlah fenomena khas Indonesia saja. Di Amerika Serikat, gaya lukis dan estetika semacam itu telah lama disinyalir punya hubungan kerabat dengan Central Intelegence Agency (CIA). Intervensi CIA antara lain melalui lembaga seni berpengaruh seperti Museum of Modern Art (MoMA).
Lewat lembaga inilah perupa abstrak-ekspresionis Amerika Serikat memberikan penekanan individualis dan menghapuskan pokok ikhwal yang kentara dari lukisan mereka. Hal ini secara disadari maupun tidak merupakan sumbangsih dari suatu fenomena politik, yakni perceraian antara seni dan politik yang dengan sempurna melayani kepentingan Amerika Serikat dalam Perang Dingin.
Dengan begitu, terlihat bagaimana laju kapitalisme dibuat sedemikian rupa sehingga sebaris dengan seni lukis abstrak. Dalam konteks Indonesia, kesatua gerak itu terjadi antara kapitalisme-negara yang dikonsolidasikan Orba dan hegemoni gaya lukis abstrak. Maka, kejatuhan PKI dan Soekarno disambut riang oleh Orba, seperti yang tercermin melalui lukisan Mentari Setelah September 1965 karya A.D. Pirous (1968).
Pirous bahkan dalam salah satu wawancaranya dengan seorang antropolog Kenneth George pada 1994 mengungkapkan, ketika ditanya tentang keengganannya dalam partai politik, Pirous menjawab bahwa ia hanya ingin menjadi pelukis dan tidak ingin terlibat dalam arus politik. Dalam konteks ini, Mentari Setelah September 1965 diciptakan. Pirous menceritakan dalam wawancaranya dengan George mengenai arti penting lukisan tersebut ketika dipamerkan pada 1968.
Ia katakan bahwa lukisan tersebut adalah primadona titik pusat dari seluruh lukisan-lukisannya. Dengan demikian, karya tersebut tidak ditafsirkan dengan simbol pesimisme atau kejengahan terhadap Orba, melainkan justru merupakan rasa syukur terhadap Soeharto. Simpatinya terhadap Orba pun tidak ambigu ketika ditanya apakah seni lukis Indonesia suatu saat nanti dimungkinkan untuk mengungkapkan penderitaan mereka yang terbantai dalam pembasmian komunis, ia pun menyatakan hal tersebut akan lama terjadi.
Bila pemerintahan Soeharto mencapai puncaknya dan kemudian jatuh, atau bila ada orang-orang yang ingin menodai sejarah Indonesia dengan kebohongan, atau sesuatu yang tidak merefleksikan kepentingan mayoritas, lukisan- lukisan tentang mereka yang terbunuh akan menjadi pahlawan kembali. Dalam hal tersebut, menurutnya, persepsi Pirous atas pembasmian komunis sebetulnya tak jauh berbeda dari persepsi mereka yang diwawancarai dalam film The Act of Killing.
Jadi, secara jelas lukisan abstrak tidak bisa lepas dari pengaruh politik Orba. Bahkan, dalam sosok Pirous, komitmen politik itu terlihat terang benderang. Sementara itu, seniman sekaligus Aktor Nirwanto melihat sejarah dan gerak Orba dalam mengendalikan kesenian. Ketika Soekarno lengser, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin ketika itu masih diperbolehkan menjabat dan bahkan didukung langkahnya oleh Orba dalam membangun pusat kebudayaan dan seni di Jakarta, yakni Taman Ismail Marzuki (TIM). Pada masa awal, TIM seolah tidak dapat didikte oleh pemerintah.
Itu terbukti dengan adanya berbagai pergelaran dan pameran seni yang beraneka ragam tanpa membatasi suatu jenis kesenian tertentu. Namun, karena hal tersebut dianggap membahayakan dan mengganggu pemerintah, dengan cepat Ali Sadikin pun lengser dari jabatannya dan digantikan orangnya Soeharto. Hal ini jelas menjadi perubahan haluan TIM yang semula demokratis, menjadi TIM yang antipati terhadap suatu jenis kesenian tertentu.
Orba tidak menginginkan kesenian menjadi kritis terhadap pemerintah. Maka, bisa dikatakan ketika itu, TIM bagaikan mati suri. Tiada gong yang menggaung untuk membangunkannya. ”Digantinya Ali Sadikin dengan sangat jelas mengubah haluan TIM menjadi mati suri. Orde Baru memang tidak menginginkan TIM dan kesenian menjadi kritis terhadap pemerintah. Maka, kesenian mulai didikte pemerintah,” ujarnya.
Imas damayanti
(bbg)