Memeluk Sampah Seperti Sahabat

Kamis, 25 Juni 2015 - 10:37 WIB
Memeluk Sampah Seperti Sahabat
Memeluk Sampah Seperti Sahabat
A A A
Kota Malang. Kota intelektual yang memiliki keistimewaan secara geografis. Dikelilingi oleh banyak gunung, mulai dari Gunung Semeru di sisi timur, Gunung Kawi di sisi barat, Gunung Arjuna, dan Gunung Welirang di sisi utara.

Sebagai kota wisata, kota ini menghadirkan banyak taman dan bangunan bersejarah. Kota ini juga merupakan pusat pendidikan. Sedikitnya ada 1.500 lembaga pendidikan, mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini hingga pendidikan tinggi ada di kota ini. Intelektual kota ini terbangun tidak hanya dalam sekejapan mata, tetapi sudah sejak ribuan tahun silam.

Menurut sejarawan dan arkeolog Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono, budaya intelektualitas dalam bentuk penulisan sudah ada sejak tahun 760 Masehi. Intelektualitas pada masa lampau itu dibuktikan dengan hadir Prasasti Kanjuruhan. Prasasti yang mengajak bangsa ini menjadi diri sendiri tersebut merupakan prasasti pertama yang ditulis menggunakan huruf Jawa kuno.

“Tulisan dalam prasasti ini menggunakan huruf asli Indonesia. Tidak lagi menggunakan huruf Palawa dari India,” kata Dwi. Penggunaan huruf Jawa kuno menjadi tonggak revolusi membaca dan menulis penduduk nusantara. Hal itu diawali dari Malang. Intelektualisme itu hingga kini masih terpelihara dengan baik. Bukan hanya mahasiswa, yang berada di tengah-tengah kampus.

Tetapi, intelektualisme itu terbangun subur di tengah masyarakat Kota Malang. Intelektualisme yang terbangun secara bergotong royong. Salah satu bukti intelektualisme warga kota ini terbukti dari kemampuan dan kesadaran mereka dalam menjaga kelestarian lingkungan. Apabila di banyak kota sampah menjadi musuh. Di kota yang dipimpin M. Anton ini, sampah menjadi sahabat bersama yang mampu dimanfaatkan bersama untuk keuntungan bersama.

Menjadikan sampah sebagai sahabat, membuat kota ini semakin bersih. Sampah tidak lagi berkeliaran bebas di sembarangan tempat. Apalagi sampai mengotori aliran sungai. Sampah bahkan telah mampu dikelola menjadi sumber energi baru dan ditabung sehingga memiliki keuntungan ekonomis. Sampah yang selama ini dianggap sebagai barang tidak terpakai dan dibuang begitu saja, bagi warga Kota Malang mampu dikelola dan memiliki nilai ekonomi.

Pengelolaan sampah sejak dari sumbernya, yakni sejak dari rumah tangga, sampah diwadahi dalam lembaga Bank Sampah Malang (BSM). Sampah-sampah yang bisa didaur ulang kembali mulai dari kertas, plastik, hingga logam, dikumpulkan oleh warga. Sampah itu kemudian bisa diuangkan dan ditabung ke BSM. Bahkan, kini BSM sudah berkembang hingga di tingkat RW dan RT.

Masyarakat yang menjadi nasabah bank sampah ini, bukan hanya bisa mengurangi sampah yang terbuang begitu saja dan mengotori lingkungan. Namun, juga bisa memiliki tabungan. Pemanfaatan tabungan ini juga mulai berkembang, bukan sekadar bisa diuangkan. Tabungan dari sampah ini bisa digunakan untuk membeli kebutuhan pokok, membayar rekening listrik, telepon, dan air.

Sagi Santoso, 71, salah satu pendiri unit BSM di Kelurahan Polehan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, mengaku, pemanfaatan tabungan di BSM terus berkembang. Bahkan, sekarang sudah dimanfaatkan untuk membayar guru mengaji, membangun musala, hingga sebagai asuransi kesehatan. Unit BSM di Kelurahan Polehan memiliki nama BSM Berhias. Unit ini merupakan salah satu contoh unit-unit BSM yang terus tumbuh di Kota Malang.

Berdiri sejak tahun 2012, kini nasabahnya lebih dari 120 orang. Nilai tabungan setiap nasabahnya mencapai lebih dari Rp2 juta per orang. Kehadiran BSM Berhias ini, menurut Sagi, juga kembali membangkitkan rasa kebersamaan di antara warga kota. “Sejak ada BSM, kami menjadi bisa bersama-sama memperhatikan kelestarian lingkungan. Warga juga semakin akrab dan selalu bergotong royong dalam kegiatan kampung.

Tidak lagi mementingkan kepentingan individual,” ujarnya. Persoalan sampah kini bukan hanya tanggung jawab Pemkot Malang semata. Warga kota secara mandiri terus membangun kesadarannya sendiri mengelola sampah sejak dari rumahnya masing-masing. Hal itu dibuktikan dengan ada 24 ribu orang nasabah BSM yang kini terus berkembang. Bahkan, kehadiran bank sampah ini juga berkembang dan dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat di perumahan kelas menengah dan atas.

Setidaknya itu dirasakan Handayani, 45, warga Kelurahan Lesanpuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Ibu rumah tangga ini menyebutkan, ada sekitar 102 orang ibu rumah tangga di lingkungannya kini menjadi nasabah BSM. “Awalnya memang banyak menertawakan. Tetapi, setelah mengetahui besar manfaatnya. Akhirnya, semuanya dengan kesadaran sendiri ikut aktif mengumpulkan sampah di rumahnya, dan menjadi nasabah BSM,” ujarnya.

Para aktivis bank sampah ini terus bergerak dengan kesadaran sendiri menjadi agen perubahan di tengah masyarakat. Mereka memeluk sampah sebagai sahabat sehingga tidak pernah memikirkan keuntungan pribadi. “Kami ingin kota ini bersih. Kalau hanya bicara, tentu akan sulit terwujud. Bank sampah telah lahir menjadi solusi. Lingkungan menjadi bersih dan masyarakat bisa menerima manfaat ekonomi,” tutur Handayani.

Kehadiran BSM di tengah masyarakat Kota Malang terjadi sejak tahun 2011. Awalnya, menurut Direktur BSM Rahmat Hidayat, bank sampah ini dibangun dengan suntikan modal dari Pemkot Malang sebesar Rp250 juta. Saat memulai berdiri sudah ada sekitar 1.000 nasabah. Perjalanan BSM tidak mulus begitu saja. Hanya setahun sejak berdiri, bank ini telah merugi secara finansial.

Kerugian terjadi hingga mencapai Rp105 juta. “Kondisi ini dipicu manajemen yang belum sempurna. Masyarakat yang terlibat sudah terlalu aktif menyetorkan sampah. Sementara manajemen belum mampu menjual sampah dengan harga baik,” ungkapnya. Keterpurukan itu tidak membuatnya surut. Bahkan, masyarakat yang menjadi nasabah BSM ikut aktif menyemangati keberlangsungan bank berorientasi pada pelestarian lingkungan ini.

Akhirnya bank ini mampu menyehatkan keuangannya hingga kini. Saat ini nilai transaksi di BSM mencapai lebih dari Rp300 juta per bulan. Bahkan, pada saat menjelang Lebaran, nilai transaksinya bisa naik hingga mencapai Rp500 juta per bulan. Nasabahnya mencapai lebih dari 24 ribu orang terdiri atas 381 kelompok masyarakat, 178 sekolah, lebih dari 900 individu, 35 instansi, serta 25 lapak pengepul sampah. Selain sampah non organik, Kota Malang juga merintis pengelolaan sampah organik.

Di wilayah Kecamatan Sukun, ternak cacing telah menghasilkan ratusan juta. Salah satu peternak cacing di Kecamatan Sukun, Yuli Triaswati, 49 mengaku, ternak cacing ini sangat mudah dan yang terpenting bisa memanfaatkan sampah dapur. “Sampah dapur mulai dari kulit buah, sayuran basi, hingga sisa ikan, bisa dijadikan makanan cacing sehingga sampah dapur tidak lagi harus dibuang,” ungkapnya.

YUSWANTORO
Malang
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6148 seconds (0.1#10.140)