Pemerintah Harus Cepat Atasi PHK
A
A
A
JAKARTA - Ekonomi melambat, daya beli menurun, perusahaan-perusahaan terus melakukan perampingan, gelombang PHK massal pun tidak terhindarkan. Karena itu, pemerintah harus cepat mengantisipasinya.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo (HT) seusai memimpin rapat konsolidasi DPD Perindo Jawa Barat di Bandung kemarin. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi nasional kuartal I – 2015 hanya 4,71%. Lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan pertama tahun lalu yang mencapai 5,14%.
Ini merupakan angka pertumbuhan terendah sejak 2009. Akibatnya, ujar HT, dari melambatnya pertumbuhan ekonomi tersebut sejumlah sektor usaha sudah melakukan PHK terhadap karyawannya. ”Bagaimana ekonomi bisa cepat pulih. Tidak mudah, tapi harus cepat supaya ekses dari penurunan (pertumbuhan ekonomi) ini tidak berdampak terlalu berat,” katanya.
Berdasarkan data yang dipublikasikan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) akhir Mei lalu, sekitar 60 industri di Bandung dan Majalaya, Jawa Barat, merumahkan karyawannya. Tindakan itu diambil menyusul anjloknya penjualan produk tekstil hingga 50% sepanjang Januari-April 2015 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. PHK terjadi di berbagai sektor.
Di antaranya semen, pertambangan, baja. Sebagai gambaran, ungkap CEO MNC Group ini, perusahaan baja mulai memangkas jumlah karyawannya hingga 20-25% karena tidak mampu menahan kenaikan biaya produksi. Kementerian Perindustrian mencatat, sebanyak 40.000 buruh pabrik sepatu sudah di-PHK sejak Januari 2015 atau sejak melemahnya nilai tukar rupiah.
Mengutip data BPS, angka pengangguran di Indonesia naik 300.000 orang dalam kurun Februari 2014-Februari 2015. Saat ini, total pengangguran di Indonesia mencapai 7,45 juta orang. ”PHK sudah tidak bisa dihindari. Sekarang sudah terjadi PHK, dan setelah Lebaran akan banyak sekali,” kata HT. HT melanjutkan, masyarakat menengah ke bawah yang paling merasakan dampak melambatnya perekonomian tersebut. Kualitas hidup mereka mengalami penurunan.
Saat harga-harga kebutuhan pokok yang dipenuhi dari impor mengalami kenaikan karena tingginya nilai tukar dolar Amerika Serikat, penghasilan mereka turun. ”Saya khawatir nanti eksesnya setelah enam bulan, begitu pesangon mereka sudah habis bagaimana hidup mereka selanjutnya? Biaya hidup mahal, yang kita makan saja kan harus impor. Beras, gula, kedelai,” tutur HT. Dia berharap pemerintah segera mengambil langkahlangkah konkret untuk mengatasi persoalan tersebut. ”Harus punya program tepat sasaran,” desaknya.
Tak Siap Hadapi MEA
Belum lagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di ujung mata, Indonesia akan langsung berhadapan dengan negara-negara ASEAN lain dalam hal arus bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, dan arus bebas tenaga kerja. Menurut The Global Competitiveness Report tahun 2014-2015, Indonesia berada pada peringkat 34.
Apabila dibandingkan dari tahun sebelumnya, Indonesia memang naik empat tingkat. Namun, peringkat tersebut masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Singapura pada peringkat 2, Malaysia pada peringkat 20, dan Thailand pada peringkat 31. Daya saing Indonesia tertinggal dalam hal infrastruktur, makroekonomi, kesehatandanpendidikan dasar, pendidikan tinggi danpelatihan, efisiensipasar, efisiensi tenaga kerja, pengembangan pasar keuangan, kesiapan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi.
Padahal, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN. Jumlah penduduk Indonesia sekitar 40% penduduk ASEAN. Tentu Indonesia akan menjadi pasar yang subur bagi negara ASEAN lain. ”Kalangan bawah tidak siap menghadapi hal tersebut, baik dari segi modal, jaringan, keterampilan. Ini harus dipikirkan. Harus ada kebijakan yang prorakyat,” kata HT.
Dia mengambil contoh, pinjaman bank untuk UMKM hingga saat ini masih berbunga mahal, berkisar 20-40%. Lebih tinggi dari bunga pinjaman korporasi yang hanya 11-13%. Seharusnya, kata HT, UMKM diberikan kemudahan akses modal dan bunga pinjaman yang murah, lebih murah dari pinjaman korporasi. Begitu pun dengan petani, nelayan, dan buruh.
Selain akses modal, mereka butuh peningkatan pendidikan dan keterampilan. Mereka harus didorong untuk maju agar bisa ikut menggerakkan perekonomian. Semakin banyak penggerak ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi bisa melesat. ”Masyarakat bawah harus disejahterakan. Mereka yang ketinggalan harus diberikan perlakuan khusus. Dengan mereka sejahtera, ekonomi bisa tumbuh lebih bagus,” kata HT.
Nugroho
Hal itu diungkapkan Ketua Umum DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo (HT) seusai memimpin rapat konsolidasi DPD Perindo Jawa Barat di Bandung kemarin. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi nasional kuartal I – 2015 hanya 4,71%. Lebih rendah dibandingkan pertumbuhan triwulan pertama tahun lalu yang mencapai 5,14%.
Ini merupakan angka pertumbuhan terendah sejak 2009. Akibatnya, ujar HT, dari melambatnya pertumbuhan ekonomi tersebut sejumlah sektor usaha sudah melakukan PHK terhadap karyawannya. ”Bagaimana ekonomi bisa cepat pulih. Tidak mudah, tapi harus cepat supaya ekses dari penurunan (pertumbuhan ekonomi) ini tidak berdampak terlalu berat,” katanya.
Berdasarkan data yang dipublikasikan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) akhir Mei lalu, sekitar 60 industri di Bandung dan Majalaya, Jawa Barat, merumahkan karyawannya. Tindakan itu diambil menyusul anjloknya penjualan produk tekstil hingga 50% sepanjang Januari-April 2015 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. PHK terjadi di berbagai sektor.
Di antaranya semen, pertambangan, baja. Sebagai gambaran, ungkap CEO MNC Group ini, perusahaan baja mulai memangkas jumlah karyawannya hingga 20-25% karena tidak mampu menahan kenaikan biaya produksi. Kementerian Perindustrian mencatat, sebanyak 40.000 buruh pabrik sepatu sudah di-PHK sejak Januari 2015 atau sejak melemahnya nilai tukar rupiah.
Mengutip data BPS, angka pengangguran di Indonesia naik 300.000 orang dalam kurun Februari 2014-Februari 2015. Saat ini, total pengangguran di Indonesia mencapai 7,45 juta orang. ”PHK sudah tidak bisa dihindari. Sekarang sudah terjadi PHK, dan setelah Lebaran akan banyak sekali,” kata HT. HT melanjutkan, masyarakat menengah ke bawah yang paling merasakan dampak melambatnya perekonomian tersebut. Kualitas hidup mereka mengalami penurunan.
Saat harga-harga kebutuhan pokok yang dipenuhi dari impor mengalami kenaikan karena tingginya nilai tukar dolar Amerika Serikat, penghasilan mereka turun. ”Saya khawatir nanti eksesnya setelah enam bulan, begitu pesangon mereka sudah habis bagaimana hidup mereka selanjutnya? Biaya hidup mahal, yang kita makan saja kan harus impor. Beras, gula, kedelai,” tutur HT. Dia berharap pemerintah segera mengambil langkahlangkah konkret untuk mengatasi persoalan tersebut. ”Harus punya program tepat sasaran,” desaknya.
Tak Siap Hadapi MEA
Belum lagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di ujung mata, Indonesia akan langsung berhadapan dengan negara-negara ASEAN lain dalam hal arus bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, dan arus bebas tenaga kerja. Menurut The Global Competitiveness Report tahun 2014-2015, Indonesia berada pada peringkat 34.
Apabila dibandingkan dari tahun sebelumnya, Indonesia memang naik empat tingkat. Namun, peringkat tersebut masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Singapura pada peringkat 2, Malaysia pada peringkat 20, dan Thailand pada peringkat 31. Daya saing Indonesia tertinggal dalam hal infrastruktur, makroekonomi, kesehatandanpendidikan dasar, pendidikan tinggi danpelatihan, efisiensipasar, efisiensi tenaga kerja, pengembangan pasar keuangan, kesiapan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis, dan inovasi.
Padahal, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN. Jumlah penduduk Indonesia sekitar 40% penduduk ASEAN. Tentu Indonesia akan menjadi pasar yang subur bagi negara ASEAN lain. ”Kalangan bawah tidak siap menghadapi hal tersebut, baik dari segi modal, jaringan, keterampilan. Ini harus dipikirkan. Harus ada kebijakan yang prorakyat,” kata HT.
Dia mengambil contoh, pinjaman bank untuk UMKM hingga saat ini masih berbunga mahal, berkisar 20-40%. Lebih tinggi dari bunga pinjaman korporasi yang hanya 11-13%. Seharusnya, kata HT, UMKM diberikan kemudahan akses modal dan bunga pinjaman yang murah, lebih murah dari pinjaman korporasi. Begitu pun dengan petani, nelayan, dan buruh.
Selain akses modal, mereka butuh peningkatan pendidikan dan keterampilan. Mereka harus didorong untuk maju agar bisa ikut menggerakkan perekonomian. Semakin banyak penggerak ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi bisa melesat. ”Masyarakat bawah harus disejahterakan. Mereka yang ketinggalan harus diberikan perlakuan khusus. Dengan mereka sejahtera, ekonomi bisa tumbuh lebih bagus,” kata HT.
Nugroho
(bbg)