Laboratorium Revolusi Mental
A
A
A
Belakangan ini kita disuguhi dengan berbagai tindak kejahatan dan penyimpangan dalam kehidupan sosial dan kebangsaan kita, bahkan hampir di semua level.
Di level masyarakat bawah hampir setiap hari kita mendengar berita tentang pemerkosaan, pencurian dengan kekerasan, tawuran, penyalahgunaan narkoba, hingga yang belakangan adalah kekerasan terhadap anak. Belakangan juga menyeruak maraknya kasus pemalsuan ijazah, pemalsuan dokumen nikah, bahkan hingga pemalsuan bahan pangan seperti beras dan merica.
Sedangkan di level elite hampir setiap hari kita mendengar berita tentang kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat negara. Ini semua menunjukkan bahwa bangsa ini sedang dilanda krisis moralitas yang sangat serius. Di tengah fakta itu, sangat tepat ketika pemerintahan Jokowi-JK menggelorakan revolusi mental sebagai upaya untuk memperbaiki karakter bangsa.
Dengan menempatkan revolusi karakter bangsa sebagai salah satu visi dalam Nawacita, Presiden Joko Widodo memiliki political willuntuk membangun dan memperkuat moralitas bangsa Indonesia sebagai pilar peradaban bangsa. Namun, visi itu hanya akan berada di menara gading jika tidak dibumikan dengan tindakan dan program nyata. Sebagai sebuah pekerjaan besar, revolusi mental bangsa haruslah menjadi concerndan kerja semua komponen bangsa.
Dalam konteks ini keterlibatan masyarakat dan warga bangsa merupakan modal yang sangat penting. Sebagai bangsa yang religius, tentu karakter dan mental bangsa Indonesia berakar pada nilai-nilai keagamaan. Untuk itu, penguatan karakter bangsa dan revolusi mental haruslah dilakukan dengan penguatan dan pembumian nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Memang hal ini terasa amat klise dan sudah umum disampaikan. Tetapi, kita masih meyakini bahwa agama memiliki nilai yang sangat agung dan masih memegang peran besar untuk menjaga moralitas masyarakat. Sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, Islam juga memainkan peran besar dalam menegakkan moralitas dan akhlak warga bangsa serta mewujudkan kehidupan yang baik dan beradab.
Dalam konteks ini ibadah puasa Ramadan memiliki makna penting untuk menegakkan moralitas dan akhlak sebagai fondasi kehidupan bangsa dan peradaban umat manusia. Untuk itu, puasa tidak boleh semata-mata dipahami sebagai ritual rutin tahunan, melainkan harus diinternalisasi nilai-nilainya. Sebagaimana yang kita semua sudah pahami, hakikat puasa bukan sekadar menahan rasa lapar dan dahaga, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Puasa itu bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi puasa itu juga menahan diri dari kata-kata yang tidak bermanfaat dan kata-kata kasar. Karena itu, bila ada yang mencacimu atau menjahilimu, katakanlah kepadanya, sesungguhnya aku sedang berpuasa! Sesungguhnya aku sedang berpuasa!” (HR Muslim).
Di samping itu, puasa juga mengajarkan orang yang melaksanakannya untuk bisa bersikap lebih kritis dan peduli terhadap lingkungan sekitar dan kesulitan orang lain. Dengan menahan lapar dan dahaga, kita dapat merasakan bagaimana pedihnya para fakir miskin yang kelaparan, bahkan kadang-kadang berhari-hari tidak makan. Dengan demikian, hidup kita akan lebih mempunyai makna.
Ramadan adalah momen yang tepat untuk memupuk potensi kepekaan manusiawi kita, yang mungkin telah terkubur selama 11 bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun. Jika seseorang terlatih untuk bersikap kritis dan introspektif terhadap persoalan sosial yang timbul di masyarakat, diharapkan akan muncul kekuatan dan keberanian moral untuk melakukan koreksi dan tindakan perbaikan bersamasama.
Karakter orang yang berpuasa seperti ini tentu akan membawa dampak kepedulian sosial sebagai salah satu bentuk karakter bangsa. Bagi Indonesia yang mayoritas warganya beragama Islam, ibadah puasa Ramadan harus dimaknai sebagai laboratorium pembentukan karakter bangsa atau yang oleh Jokowi disebut sebagai revolusi mental.
Ida Fauziyah
Ketua Umum PP Fatayat NU
Di level masyarakat bawah hampir setiap hari kita mendengar berita tentang pemerkosaan, pencurian dengan kekerasan, tawuran, penyalahgunaan narkoba, hingga yang belakangan adalah kekerasan terhadap anak. Belakangan juga menyeruak maraknya kasus pemalsuan ijazah, pemalsuan dokumen nikah, bahkan hingga pemalsuan bahan pangan seperti beras dan merica.
Sedangkan di level elite hampir setiap hari kita mendengar berita tentang kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pejabat negara. Ini semua menunjukkan bahwa bangsa ini sedang dilanda krisis moralitas yang sangat serius. Di tengah fakta itu, sangat tepat ketika pemerintahan Jokowi-JK menggelorakan revolusi mental sebagai upaya untuk memperbaiki karakter bangsa.
Dengan menempatkan revolusi karakter bangsa sebagai salah satu visi dalam Nawacita, Presiden Joko Widodo memiliki political willuntuk membangun dan memperkuat moralitas bangsa Indonesia sebagai pilar peradaban bangsa. Namun, visi itu hanya akan berada di menara gading jika tidak dibumikan dengan tindakan dan program nyata. Sebagai sebuah pekerjaan besar, revolusi mental bangsa haruslah menjadi concerndan kerja semua komponen bangsa.
Dalam konteks ini keterlibatan masyarakat dan warga bangsa merupakan modal yang sangat penting. Sebagai bangsa yang religius, tentu karakter dan mental bangsa Indonesia berakar pada nilai-nilai keagamaan. Untuk itu, penguatan karakter bangsa dan revolusi mental haruslah dilakukan dengan penguatan dan pembumian nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Memang hal ini terasa amat klise dan sudah umum disampaikan. Tetapi, kita masih meyakini bahwa agama memiliki nilai yang sangat agung dan masih memegang peran besar untuk menjaga moralitas masyarakat. Sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, Islam juga memainkan peran besar dalam menegakkan moralitas dan akhlak warga bangsa serta mewujudkan kehidupan yang baik dan beradab.
Dalam konteks ini ibadah puasa Ramadan memiliki makna penting untuk menegakkan moralitas dan akhlak sebagai fondasi kehidupan bangsa dan peradaban umat manusia. Untuk itu, puasa tidak boleh semata-mata dipahami sebagai ritual rutin tahunan, melainkan harus diinternalisasi nilai-nilainya. Sebagaimana yang kita semua sudah pahami, hakikat puasa bukan sekadar menahan rasa lapar dan dahaga, tetapi juga mengendalikan hawa nafsu.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Puasa itu bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi puasa itu juga menahan diri dari kata-kata yang tidak bermanfaat dan kata-kata kasar. Karena itu, bila ada yang mencacimu atau menjahilimu, katakanlah kepadanya, sesungguhnya aku sedang berpuasa! Sesungguhnya aku sedang berpuasa!” (HR Muslim).
Di samping itu, puasa juga mengajarkan orang yang melaksanakannya untuk bisa bersikap lebih kritis dan peduli terhadap lingkungan sekitar dan kesulitan orang lain. Dengan menahan lapar dan dahaga, kita dapat merasakan bagaimana pedihnya para fakir miskin yang kelaparan, bahkan kadang-kadang berhari-hari tidak makan. Dengan demikian, hidup kita akan lebih mempunyai makna.
Ramadan adalah momen yang tepat untuk memupuk potensi kepekaan manusiawi kita, yang mungkin telah terkubur selama 11 bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun. Jika seseorang terlatih untuk bersikap kritis dan introspektif terhadap persoalan sosial yang timbul di masyarakat, diharapkan akan muncul kekuatan dan keberanian moral untuk melakukan koreksi dan tindakan perbaikan bersamasama.
Karakter orang yang berpuasa seperti ini tentu akan membawa dampak kepedulian sosial sebagai salah satu bentuk karakter bangsa. Bagi Indonesia yang mayoritas warganya beragama Islam, ibadah puasa Ramadan harus dimaknai sebagai laboratorium pembentukan karakter bangsa atau yang oleh Jokowi disebut sebagai revolusi mental.
Ida Fauziyah
Ketua Umum PP Fatayat NU
(bbg)