Petahana Diminta Tak Undurkan Diri
A
A
A
JAKARTA - Komisi II DPR mendesak Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo untuk menindak tegas calon petahana yang mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir.
Pasalnya, pengunduran diri tersebut merupakan modus kepala daerah untuk melanggengkan dinasti politik di daerahnya. Hal ini diungkapkan sejumlah anggota Komisi II dari berbagai fraksi di DPR dalam rapat kerja (raker) bersama dengan Mendagri tentang kesiapan pilkada serentak 2015. Seperti yang diungkapkan oleh perwakilan Fraksi PPP, Amirul Tamim.
Dia meminta Mendagri bertindak tegas atas upaya pelanggengan dinasti politik di daerah itu. ”Kalau ada dinasti yang hendak mempertahankan dinastinya. Mendagri kasih tegas saja, tidak boleh mengundurkan diri petahana yang belum saatnya,” kata Amirul dalam raker. Kemudian, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Sa’duddin mengkritisi terbitnya surat edaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pencalonan petahana yang membuka peluang bagi pencalonan petahana mundur.
Menurut Sa’duddin, surat tersebut menegaskan bahwa calon kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 dan 2016 tidak masuk kategori petahana. Tentu, surat tersebut telah bertentangan dengan Undang- Undang (UU) No 8/2015 tentang Pilkada dan Peraturan KPU (PKPU) Pilkada.
”Itu melanggar dan melampaui UU Pilkada. Saya tidak tahu itu berkaitan dengan kesengajaan KPU atau sebuah kesalahan sehingga dibuat seperti ini,” tegasnya. Hal senada diungkapkan oleh anggota Komisi II dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan. Dia menganggap wajar banyaknya kepala daerah yang mengundurkan diri karena itu bagian dari hak mereka dan itu diatur dalam UU.
Namun, hal ini tidak wajar karena pada saat kepala daerah dilantik, mereka mengucapkan sumpah jabatan. Terdapat etika dan moral yang berlandaskan konstitusi dalam sumpah jabatan itu. ”Perlu ada penindakan yang tegas dari Mendagri. Negara kita dibangun dengan etika dan moral,” ujarnya.
Anggota Komisi II dari Fraksi PPP, Arwani Thomafi mendesak Mendagri agar menolak secara tegas petahana yang mundur untuk memajukan saudaranya dalam pilkada. Pasalnya, ini merupakan bagian tanggung jawab bersama antara DPR dan pemerintah yang sudah membahas UU Pilkada. ”UU Pilkada ini kemarin dibuat dengan ruh untuk mengatur politik dinasti secara jelas,” kata Arwani.
Oleh karena itu, Komisi II DPR lewat kesimpulan raker yang dibacakan Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman, meminta kepada Mendagri untuk terus dapat menyempurnakan regulasi yang dipandang perlu untuk melaksanakan pilkada yang berkualitas, demokratis, efisien, aman, dan partisipatif. ”Untuk mengantisipasi praktik-praktik tidak sehat dan memastikan penyelenggaraan tahapan pilkada secara konsisten dalam pelaksanaan pilkada serentak 2015,” kata Rambe.
Selain itu, lanjut Rambe, Komisi II DPR juga meminta Kemendagri untuk lebih mengoptimalkan koordinasi dengan pemda yang akan melaksanakan pilkada serentak 2015, khususnya terkait dengan belum ditandatanganinya Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) di sembilan daerah. Selain itu, juga anggaran pengawasan dan anggaran pengamanan pilkada.
Harus Disetujui DPRD
Di sisi lain, Mendagri Tjahjo Kumolo menolak secara tegas pengunduran diri kepala daerah sebelum masa jabatannya berakhir tanpa adanya alasan yang jelas. pengunduran diri itu juga harus disertai persetujuan dari DPRD. Terlebih, pengunduran diri tersebut bertujuan untuk melanggengkan dinasti politik. ”Harus ada persetujuan DPRD menyangkutsumpahjabatandan semuanya.
Dengan adanya surat DPRD,” kata Tjahjo usai rapat. Tjahjo juga membantah bahwa sudah ada empat kepala daerah yang telah mengundurkan diri. Dia baru menerima satu surat pengunduran diri, yakni dari Bupati Kutai Timur Isran Noor yang telah disetujui oleh DPRD, tetapi tanpa menyebutkan alasan pengunduran dirinya. ”Iya (cuma satu kepala daerah), yang lain belum tegas.
Saya belum baca suratnya belum ada surat DPRD-nya,” jelasnya. Menurut Tjahjo, seharusnya para kepala daerah itu mengerti aturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Pilkada di mana dalam pasal 1 ayat 6 huruf (r) menyebutkan bahwa calon kepala/wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Artinya, calon tidak boleh memiliki ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
”Kalau itu harusnya tahu kalau UU sekarang ini selama belum ada putusan dari MK mengenai pasal tersebut, masih tidak boleh,” tegas politikus PDIP itu. Selain itu, lanjut Tjahjo, Surat Edaran (SE) Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal pencalonan petahana juga menimbulkan kontroversi tersendiri,
lantaran surat itu memperbolehkan kepala daerah atau petahana mundur dari jabatannya demi pencalonan keluarga atau kerabatnya dalam pilkada serentak. ”Itu harus sinkron dengan PKPU (SE KPU). Kalau UU-nya sih tidak boleh sebelum ada gugatan mereka dikabulkan oleh MK, tidak boleh,” tegas dia.
Kiswondari
Pasalnya, pengunduran diri tersebut merupakan modus kepala daerah untuk melanggengkan dinasti politik di daerahnya. Hal ini diungkapkan sejumlah anggota Komisi II dari berbagai fraksi di DPR dalam rapat kerja (raker) bersama dengan Mendagri tentang kesiapan pilkada serentak 2015. Seperti yang diungkapkan oleh perwakilan Fraksi PPP, Amirul Tamim.
Dia meminta Mendagri bertindak tegas atas upaya pelanggengan dinasti politik di daerah itu. ”Kalau ada dinasti yang hendak mempertahankan dinastinya. Mendagri kasih tegas saja, tidak boleh mengundurkan diri petahana yang belum saatnya,” kata Amirul dalam raker. Kemudian, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Sa’duddin mengkritisi terbitnya surat edaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pencalonan petahana yang membuka peluang bagi pencalonan petahana mundur.
Menurut Sa’duddin, surat tersebut menegaskan bahwa calon kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 dan 2016 tidak masuk kategori petahana. Tentu, surat tersebut telah bertentangan dengan Undang- Undang (UU) No 8/2015 tentang Pilkada dan Peraturan KPU (PKPU) Pilkada.
”Itu melanggar dan melampaui UU Pilkada. Saya tidak tahu itu berkaitan dengan kesengajaan KPU atau sebuah kesalahan sehingga dibuat seperti ini,” tegasnya. Hal senada diungkapkan oleh anggota Komisi II dari Fraksi PDIP, Arteria Dahlan. Dia menganggap wajar banyaknya kepala daerah yang mengundurkan diri karena itu bagian dari hak mereka dan itu diatur dalam UU.
Namun, hal ini tidak wajar karena pada saat kepala daerah dilantik, mereka mengucapkan sumpah jabatan. Terdapat etika dan moral yang berlandaskan konstitusi dalam sumpah jabatan itu. ”Perlu ada penindakan yang tegas dari Mendagri. Negara kita dibangun dengan etika dan moral,” ujarnya.
Anggota Komisi II dari Fraksi PPP, Arwani Thomafi mendesak Mendagri agar menolak secara tegas petahana yang mundur untuk memajukan saudaranya dalam pilkada. Pasalnya, ini merupakan bagian tanggung jawab bersama antara DPR dan pemerintah yang sudah membahas UU Pilkada. ”UU Pilkada ini kemarin dibuat dengan ruh untuk mengatur politik dinasti secara jelas,” kata Arwani.
Oleh karena itu, Komisi II DPR lewat kesimpulan raker yang dibacakan Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman, meminta kepada Mendagri untuk terus dapat menyempurnakan regulasi yang dipandang perlu untuk melaksanakan pilkada yang berkualitas, demokratis, efisien, aman, dan partisipatif. ”Untuk mengantisipasi praktik-praktik tidak sehat dan memastikan penyelenggaraan tahapan pilkada secara konsisten dalam pelaksanaan pilkada serentak 2015,” kata Rambe.
Selain itu, lanjut Rambe, Komisi II DPR juga meminta Kemendagri untuk lebih mengoptimalkan koordinasi dengan pemda yang akan melaksanakan pilkada serentak 2015, khususnya terkait dengan belum ditandatanganinya Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) di sembilan daerah. Selain itu, juga anggaran pengawasan dan anggaran pengamanan pilkada.
Harus Disetujui DPRD
Di sisi lain, Mendagri Tjahjo Kumolo menolak secara tegas pengunduran diri kepala daerah sebelum masa jabatannya berakhir tanpa adanya alasan yang jelas. pengunduran diri itu juga harus disertai persetujuan dari DPRD. Terlebih, pengunduran diri tersebut bertujuan untuk melanggengkan dinasti politik. ”Harus ada persetujuan DPRD menyangkutsumpahjabatandan semuanya.
Dengan adanya surat DPRD,” kata Tjahjo usai rapat. Tjahjo juga membantah bahwa sudah ada empat kepala daerah yang telah mengundurkan diri. Dia baru menerima satu surat pengunduran diri, yakni dari Bupati Kutai Timur Isran Noor yang telah disetujui oleh DPRD, tetapi tanpa menyebutkan alasan pengunduran dirinya. ”Iya (cuma satu kepala daerah), yang lain belum tegas.
Saya belum baca suratnya belum ada surat DPRD-nya,” jelasnya. Menurut Tjahjo, seharusnya para kepala daerah itu mengerti aturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Pilkada di mana dalam pasal 1 ayat 6 huruf (r) menyebutkan bahwa calon kepala/wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Artinya, calon tidak boleh memiliki ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
”Kalau itu harusnya tahu kalau UU sekarang ini selama belum ada putusan dari MK mengenai pasal tersebut, masih tidak boleh,” tegas politikus PDIP itu. Selain itu, lanjut Tjahjo, Surat Edaran (SE) Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal pencalonan petahana juga menimbulkan kontroversi tersendiri,
lantaran surat itu memperbolehkan kepala daerah atau petahana mundur dari jabatannya demi pencalonan keluarga atau kerabatnya dalam pilkada serentak. ”Itu harus sinkron dengan PKPU (SE KPU). Kalau UU-nya sih tidak boleh sebelum ada gugatan mereka dikabulkan oleh MK, tidak boleh,” tegas dia.
Kiswondari
(bbg)