Ditolak Jokowi, Revisi UU KPK Jalan Terus
A
A
A
JAKARTA - Berbagai penolakan atas rencana revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dipastikan menguap. Rapat paripurna DPR kemarin menyetujui revisi UU KPK masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Sareh Wiyono mengatakan, Rancangan Undang- Undang (RUU) Perubahan UU 30/2002 tentang KPK sah menggantikan RUU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sareh menuturkan, masuknya RUU KPK dalam Prolegnas Prioritas 2015 merupakan tindak lanjut pertemuan Baleg dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly pada 16 Juni lalu.
Meskipun revisi UU KPK masuk Prolegnas 2014-2019, Baleg awalnya tidak memasukkannya ke dalam Prolegnas Prioritas 2015 karena dianggap belum terlalu mendesak. ”Namun Menteri Hukum dan HAM berkomitmen melakukan perubahan UU KPK dengan beberapa alasan kegentingan,” kata Sareh dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, beberapa alasan kegentingan itu mencakup lima hal, yakni kewenangan penyadapan agar tidak melanggar HAM, sinergi penuntutan dengan kejaksaan, aturan tentang pelaksana tugas bila pimpinan berhalangan, dan penguatan aturan kolektif kolegial. ”Selain itu perlunya dibentuk dewan pengawas mengenai pengaturan pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan,” kata politikus Partai Gerindra itu.
Dengan masuknya RUU KPK, secara keseluruhan Prolegnas 2015 mengalami perubahan dari 37 RUU dan lima RUU kumulatif terbuka menjadi 39 RUU dan lima daftar RUU kumulatif terbuka. Seperti diberitakan, revisi UU KPK menuai polemik. Sejumlah kalangan menolak revisi karena dianggap berpotensi melemahkan KPK. Presiden Joko Widodo termasuk pihak yang menolak revisi itu.
Berbeda dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dengan lantang menyuarakan perlunya perubahan. Revisi UU KPK, menurut JK, merupakan hal wajar untuk menyesuaikan perkembangan zaman dan kebutuhan. Pakar komunikasi politik dari Universitas Mercu Buana Heri Budianto menilai perbedaan pendapat antara Presiden dan Wapres tidak perlu terjadi. Ketidaksepahaman justru menunjukkan telah terjadi kesalahan koordinasi dan komunikasi di antara mereka.
Tanpa Interupsi
Rapat paripurna kemarin berjalan mulus. Setelah Sareh membacakan laporannya, pemimpin rapat Fahri Hamzah meminta persetujuan anggota rapat. ”Apakah laporan Baleg dapat disetujui?” tanya Fahri. Sebanyak 315 anggota rapat kompak menyerukan setuju tanpa ada interupsi. Merespons penolakan Presiden, Fahri menduga Kepala Negara selama ini belum mendapatkan masukan utuh tentang apa yang selama ini terjadi di KPK.
Jika sudah memahami dinamika yang terjadi di lembaga itu, dia yakin Presiden akan sependapat bahwa KPK perlu dievaluasi. ”Karena itu saya rasa sekarang Presiden mulai mengerti,” ujar Fahri. Politikus PKS itu mengingatkan, sampai saat ini pemerintah belum mengirimkan surat resmi penolakan atas rencana revisi tersebut.
Namun Menkumham Yasonna Laoly sebagai kepanjangan tangan Presiden sudah jelas menyetujui hal itu. Sementara itu, KPK tetap pada pendiriannya menolak rencana revisi UU KPK. Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi SP meminta agar DPR mengurungkan niat untuk merevisi UU tersebut jika hanya ingin mereduksi wewenang penyadapan KPK.
Kiswondari/ant
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Sareh Wiyono mengatakan, Rancangan Undang- Undang (RUU) Perubahan UU 30/2002 tentang KPK sah menggantikan RUU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sareh menuturkan, masuknya RUU KPK dalam Prolegnas Prioritas 2015 merupakan tindak lanjut pertemuan Baleg dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly pada 16 Juni lalu.
Meskipun revisi UU KPK masuk Prolegnas 2014-2019, Baleg awalnya tidak memasukkannya ke dalam Prolegnas Prioritas 2015 karena dianggap belum terlalu mendesak. ”Namun Menteri Hukum dan HAM berkomitmen melakukan perubahan UU KPK dengan beberapa alasan kegentingan,” kata Sareh dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, beberapa alasan kegentingan itu mencakup lima hal, yakni kewenangan penyadapan agar tidak melanggar HAM, sinergi penuntutan dengan kejaksaan, aturan tentang pelaksana tugas bila pimpinan berhalangan, dan penguatan aturan kolektif kolegial. ”Selain itu perlunya dibentuk dewan pengawas mengenai pengaturan pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan,” kata politikus Partai Gerindra itu.
Dengan masuknya RUU KPK, secara keseluruhan Prolegnas 2015 mengalami perubahan dari 37 RUU dan lima RUU kumulatif terbuka menjadi 39 RUU dan lima daftar RUU kumulatif terbuka. Seperti diberitakan, revisi UU KPK menuai polemik. Sejumlah kalangan menolak revisi karena dianggap berpotensi melemahkan KPK. Presiden Joko Widodo termasuk pihak yang menolak revisi itu.
Berbeda dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dengan lantang menyuarakan perlunya perubahan. Revisi UU KPK, menurut JK, merupakan hal wajar untuk menyesuaikan perkembangan zaman dan kebutuhan. Pakar komunikasi politik dari Universitas Mercu Buana Heri Budianto menilai perbedaan pendapat antara Presiden dan Wapres tidak perlu terjadi. Ketidaksepahaman justru menunjukkan telah terjadi kesalahan koordinasi dan komunikasi di antara mereka.
Tanpa Interupsi
Rapat paripurna kemarin berjalan mulus. Setelah Sareh membacakan laporannya, pemimpin rapat Fahri Hamzah meminta persetujuan anggota rapat. ”Apakah laporan Baleg dapat disetujui?” tanya Fahri. Sebanyak 315 anggota rapat kompak menyerukan setuju tanpa ada interupsi. Merespons penolakan Presiden, Fahri menduga Kepala Negara selama ini belum mendapatkan masukan utuh tentang apa yang selama ini terjadi di KPK.
Jika sudah memahami dinamika yang terjadi di lembaga itu, dia yakin Presiden akan sependapat bahwa KPK perlu dievaluasi. ”Karena itu saya rasa sekarang Presiden mulai mengerti,” ujar Fahri. Politikus PKS itu mengingatkan, sampai saat ini pemerintah belum mengirimkan surat resmi penolakan atas rencana revisi tersebut.
Namun Menkumham Yasonna Laoly sebagai kepanjangan tangan Presiden sudah jelas menyetujui hal itu. Sementara itu, KPK tetap pada pendiriannya menolak rencana revisi UU KPK. Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi SP meminta agar DPR mengurungkan niat untuk merevisi UU tersebut jika hanya ingin mereduksi wewenang penyadapan KPK.
Kiswondari/ant
(bbg)