Hukuman Wali Kota Palembang Diperberat

Sabtu, 20 Juni 2015 - 12:35 WIB
Hukuman Wali Kota Palembang Diperberat
Hukuman Wali Kota Palembang Diperberat
A A A
JAKARTA - Majelis banding Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman Wali Kota Palembang nonaktif Romi Herton dan istrinya, Masyito. Ada dua poin penting dalam putusan Romi dan Masyito tersebut.

”Masing-masing dijatuhi pidana tujuh tahun untuk Romi Herton dan lima tahun untuk Masyito dan denda masingmasing sebesar Rp200 juta subsider dua bulan kurungan. Ditambah hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dan memilih selama lima tahun,” kata Humas PT DKI M Hatta melalui pesan singkat kepada KORAN SINDO tadi malam. Dia melanjutkan, putusan ini diambil dalam musyawarah hakim banding dengan ketua majelis Elang Prakoso Wibowo pada 18 Juni 2015.

Hatta menggariskan, hukuman pidana penjara kepada keduanya lebih berat satu tahun dari putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. ”Pada tingkat pertama juga tidak ada hukuman tambahan pencabutan hak dipilih dan memilih,” ujarnya. Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi Sapto Pribowo menyatakan, pihaknya menghormati putusan banding itu. KPK masih menunggu salinan putusan tersebut untuk dipelajari.

Karena itu, KPK belum bisa mengambil keputusan apakah akan kasasi bila melihat hukuman penjara masih jauh dari tuntutan JPU, yakni 9 tahun untuk Romi dan 6 tahun untuk Masyito serta mencabut hak politik selama 11 tahun untuk Romi. ”Kalau terdakwa kasasi, itu hak yang bersangkutan,” kata Johan. Sirra Prayuna selaku kuasa hukum Romi dan Masyito belum memberikan komentar banyak atas putusan banding kliennya. Pihaknya juga belum bersikap apakah akan mengajukan kasasi atau tidak.

”Belum bisa tanggapi, karena belum dapat salinan putusan,” kata Sirra. Diketahui, majelis Pengadilan Tipikor Jakarta dengan komposisi ketua sekaligus anggota Muchlis dan anggota majelis Supriyono, Alexander Marwata, Sofialdi, dan Saiful Arif menyatakan, Romi Herton dan Masyito terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi dalam dua delik sesuai dua dakwaan yang dituangkan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Atas perbuatan itu, Romi Herton dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun dan Masyito selama 4 tahun. Masingmasing terdakwa juga dipidana dengan denda Rp200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar setelah putusan ini satu bulan berkekuatan hukum tetap, maka diganti pidana kurungan dua bulan. Dua delik yang dilakukan Romi dan Masyito yakni pertama, secara bersamasama dan berlanjut memberikan suap Rp11,395 miliar dan USD 316.700 kepada mantan Ketua MK M Akil Mochtar melalui orang dekat Akil yang juga pemilik PTPromicInternasional Muhtar Ependy.

Kedua, secara sendiri-sendiri Romi dan Masyito selaku saksi pada sidang Akil dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau keterangan palsu. Dalam pemberian keterangan palsu ini, majelis tidak sependapat dengan dakwaan dan tuntutan JPU bahwa kedua terdakwa melakukannya secara bersama-sama. Majelis tidak sependapat dengan tuntutan JPU soal pidana penjara 9 tahun untuk Romi dan 6 tahun untuk Masyito.

”Terdakwa 1 (Romi) dan terdakwa 2 (Masyito) disumpah secara sendiri-sendiri dan bertanggung jawab atas kesaksian mereka masingmasing,” ungkap Alexander Marwata. Atas perbuatan suap, Romi dan Masyito terbukti melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke- (1) KUH Pidana jo Pasal64 ayat (1) KUH Pidana, sebagaimana dalam dakwaan kesatu pertama.

Sedangkan pada delik keterangan palsu, pasangan suami istri itu terbukti menurut hukum bersalah melanggar Pasal 22 jo Pasal 35 UU Pemberantasan Tipikor. ”Sebagaimana dalam dakwaan kedua pertama,” ujar hakim Muchlis. Namun, majelis tidak sependapat dengan tuntutan pencabutan hak politik selama 11 tahun terhadap Romi seperti disampaikan JPU. Ada dua alasan yang dikemukakan.

Pertama, tuntutan tersebut tidak jelas maksud hak memilih dan dipilih yang mana dan dalam kaitan apa. Kedua, hak memilih dan dipilih adalah hak yang melekat pada warga negara. Karena itu, tuntutan tersebut tidak bisa dipenuhi.

Sabir laluhu
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3609 seconds (0.1#10.140)