BIN Harus Kuasai Teknologi Informasi

Kamis, 18 Juni 2015 - 09:30 WIB
BIN Harus Kuasai Teknologi...
BIN Harus Kuasai Teknologi Informasi
A A A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya Komisi I mengharapkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) terpilih mampu menaklukkan cyber war atau perang teknologi informasi (TI). Perang dengan teknologi terbaru tersebut akan menjadi tantangan ke depan.

Wakil Ketua Komisi I dari Fraksi PAN Hanafi Rais menyatakan Kepala BIN nantinya harus bisa melakukan konsolidasi internal, juga bisa memberikan pelayanan terbaik untuk Presiden dan Negara Indonesia.

”Sehingga dapat memberikan jasa intelijen kepada Presiden yang objektif,” ujarnya dalam diskusi legislatif ”Harapan DPR pada Calon Kepala BIN” di Gedung DPR kemarin. Dia juga mengatakan Kepala BIN ke depan harus dapat menguasai bahkan menaklukkan perang-perang cyber.

”Kita mengalami kejadian bukan perang konvensional, tapi perang TI, cyber intelegence.Eksesnya cyber war, tidak terkait lapangan secara fisik, berbeda medan pertempuran dan penanganannya berbeda, ini menyangkut presiden kita disadap, lalu kantor dubes Indonesia yang penuh dengan alat sadap. Kita perlu peduli dan jadi prioritas BIN yang baru,” jelasnya.

Menurut dia, cara-cara spionase yang tidak biasa dan tidak konvensional ini yang merambah negara saat ini. Karena itu diperlukan kepala yang cakap serta mahir TI dan hal itu menjadi sebuah keniscayaan. Menurutnya, satu semester pemerintahan terlihat agak kedodoran mengenai isu politik luar negeri sejak kapal diledakkan, Australia memberi ancaman atas hukuman mati, pengembalian para migran, lalu penyadapan pejabat.

”Kita ingin dalam isu politik, BIN memiliki strategi apa yang harus dilakukan terhadap negara lain, ketika berhadapan dengan negara yang ”cukup nakal” yang mengganggu kepentingan nasional kita, bagaimana melakukan netralisasi dan kontra intelijen kekuatan lawan agar tidak dipandang lemah, agar keamanan tetap terjaga,” ungkapnya.

Menurutnya, BIN perlu dipandang sebagai sebuah mesin besar reformasi pertahanan keamanan negara Indonesia, sebuah tatanan pertahanan keamanan yang semakin modern dan canggih. ”Sejak 2011, kita punya UU Intelijen Negara, lumayan memenuhi tuntutan publik terhadap napas demokrasi, berlaku di berbagai macam aparatur negara,” tambahnya. Komisi I juga akan membentuk tim pengawas intelijen negara sehingga akuntabilitas terpenuhi. Hanafi mengatakan ada tantangan modern perlu menjadi konteks kepala BIN yang baru.

”BIN ini tidak berdiri sendiri, menjadi interkoneksi intelijen TNI, Polri, kejaksaan, dan kementerian, BIN jadi poros utama, bisa mengorganisasi organisasi yang berbeda,” tambahnya Sementara itu, mantan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menyatakan selain kemajuan teknologi, BIN harus sadar dan waspada terhadap ancaman yang bersifat global, salah satunya ISIS. ”Negara adidaya saja khawatir terhadap ISIS, jangan sampai mereka masuk pagar nasionalisme, hal tersebut merupakan kejahatan trans-nasional,” ucapnya.

Selain ancaman global, Priyo juga mengatakan perlu waspada terhadap ancaman lokal, ancaman nyata yang mengkhawatirkan, imbas demokrasi menimbulkan letupan dan gesekan sosial. ”Jikalau dulu elite sekarang ke tingkat paling bawah. Bentuk egoisme sempit, gampang marah, ternyata ide-ide bawah tanah separatisme masih nyata,” ungkapnya. Politikus asal Golkar itu juga menilai BIN perlu untuk melakukan koordinasi bersama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan alat-alat kenegaraan lainnya.

Menurutnya, seluruh kedaulatan Indonesia harus terkoordinasi oleh BIN. Selain itu, Priyo mengatakan Kepala BIN harus bisa menyelesaikan persoalan perbatasan, terorisme, dan propaganda pihak asing. Menurutnya Kepala BIN selanjutnya harus dapat menghadapi tantangan ekonomi yang semakin sulit serta melakukan peremajaan di bidang pertahanan.

”Sehingga segala masukannya tidak keliru dalam mengambil kebijakan-kebijakan,” tambahnya. Pengamat politik UI Boni Hargens meminta calon kuat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso untuk melakukan penataan terhadap lembaga tersebut. Hal ini penting mengingat selama ini BIN kurang mendapatkan perhatian yang optimal dari pemerintah. Padahal, lembaga tersebut penting untuk mendukung program Nawacita.

”Selama ini negara tidak begitu serius mengurusi BIN. Teknologi kurang, human skill dan kontrol kualitas juga kurang. Butuh perombakan total di tubuh BIN,” ujar Boni. Direktur Program Imparsial Al Araf menilai, BIN merupakan aset yang sangat penting dan mahal. Sayangnya, lembaga tersebut kerap dijadikan alat dari suatu rezim. Dalam konteks demokrasi, BIN harus bekerja untuk kepentingan negara, bukan rezim.

”Rasa aman itu bukan milik rezim, tapi masyarakat. Kita nggak mau peristiwa Bom Bali dan JW Marriot terjadi lagi, itu hanya bisa diatasi kalau BIN profesional,” ujarnya.

Mula akmal
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0706 seconds (0.1#10.140)