Kemacetan di Kota Bogor Semakin Parah
A
A
A
BOGOR - Meski kepala daerahnya setiap lima tahun terus berganti, masalah kemacetan di Kota Bogor nyaris tak ada solusi. Segala kebijakan yang berkaitan dengan kemacetan coba dilakukan.
Mulai dari pembatasan operasi angkutan kota (angkot), konversi tiga angkot diganti satu bus Trans Pakuan, penertiban pedagang kaki lima (PKL), hingga penggembokan kendaraan yang diparkir sembarangan. Namun, kenyataannya nyaris tidak ada perubahan signifikan dari sejumlah kebijakan yang diterapkan.
”Laju kendaraan dari tahun ke tahun terus melambat. Jaringan jalan hanya itu-itu saja dan setahun terakhir ini tidak ada pelebaran jalan sama sekali,” kata Ramdan, 32, warga Bogor Utara, Kota Bogor, yang mengeluh karena setiap hari terjebak kemacetan. Hal senada diungkapkan, Rendy, 25, warga Katulampa, Bogor Timur, Kota Bogor. Menurutnya, kemacetan di Kota Bogor bukan hanya terjadi di jalan protokol, tapi juga sudah merambah jalur alternatif hingga jalan kampung.
”Saya perhatikan hampir tiap hari kemacetan di Jalan Durian Raya, Pandu Raya, dan Pandawa menuju Katulampa sering mengalami kemacetan, apalagi saat akhir pekan,” tandasnya. Berdasarkan pantauan, kemacetan terparah terjadi di Jalan Raya KS Tubun (Kedunghalang- Warungjambu), Jalan Suryakancana, Jalan Sukasari, Tajur, Jalan Pahlawan, Simpang Empang, Jalan Ir H Juanda (depan Bogor Trade Mall), Jalan Simpang Pomad, Jalan Sholeh Iskandar, KHR Abdullah bin Nuh, Simpang Yasmin-Semplak, dan Bubulak.
”Jika dibiarkan dan tidak ada solusi, kemacetan di Kota Bogor akan semakin parah. Salah satu alternatif mengatasi masalah ini adalah keberadaan transportasi massal. Mengingat Bogor telah berkembang menjadi kota besar sehingga transportasi massal sudah menjadi kebutuhan,” kata dosen Universitas Pakuan (Unpak), Bogor, Budi Arif. Namun, kebijakan pengembangan transportasi massal juga harus diiringi pengaturan dan tata kelola yang tepat. Harus ada pengaturan yang sistematis, postur badan jalan, dan kesediaan rasio kendaraan.
”Kenyataannya, kondisi jalan di Kota Bogor pada pagi hari penuh, siang hari lengang. Jadi harus dipelajari polanya untuk memfasilitasi lonjakan pergerakan di periode tertentu,” tuturnya. Sebagai gambaran umum, kondisi jalanan di Kota Bogor saat ini adalah 1:47. Artinya setiap 1 km diakses 47 kendaraan. Kondisi jalan yang rusak juga menjadi salah satu biang kemacetan kota. Pada akhir 2014 hanya 351 km (55%) dari 635 total panjang jalanan di Kota Bogor berkualitas baik. Sisanya rusak ringan hingga parah. Kerusakan juga terjadi di trotoar sebagian besar ruas jalan.
Trotoar jalan Pajajaran (Warungjambu-Sukasari), 90% kondisinya buruk dan sudah beralih fungsi. Penataan dilakukan hanya di titik-titik yang tidak terlalu penting seperti di Tugu Kujang, Kapten Muslihat. Itu pun dananya bersumber dari pemerintah pusat. Mimpi Bima Arya Sugiarto dan Usmar Hariman yang sudah memimpin Kota Bogor selama setahun untuk membangun citra Bogor sebagai Kota Ramah Pejalan Kaki hingga saat ini hanya isapan jempol belaka.
Jika ada pembangunan jalan baru, itu warisan kebijakan dari wali kota sebelumnya yakni penyelesaian proyek terusan seksi dua Jalan Lingkar R3 sepanjang 1,25 km dan jalan ke Stasiun Lawang Taleus (Sukaresmi) 250 meter. Kepala Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Bogor Achsin Prasetyo saat dikonfirmasi upaya menangani kemacetan mengaku masih mengandalkan kebijakan wali kota sebelumnya.
”Kita akan menghidupkan lagi sistem shift angkot. Sistem ini berlaku untuk 16 trayek dari 23 trayek di Kota Bogor yang dilayani 3.412 angkot,” katanya. Berdasarkan data DLLAJ, selain 3.412 angkot di dalam wilayah Kota Bogor, juga beroperasi 4.426 angkot dari Kabupaten Bogor yang melewati 10 trayek. Karena dari daerah lain, angkot itu tidak terkena kebijakan shift. Jika dijumlahkan, angkot yang masuk ke Kota Bogor mencapai 8.000 unit.
Namun, dari 8.000 angkot yang masuk ke dalam kota, cakupan layanan hanya 50% dari luas wilayah. Separuhnya belum terlayani moda reguler. Selain angkot, jalanan di Kota Bogor juga dijejali 1.000 bus, 231.000 unit sepeda motor, 58.000 unit mobil penumpang pribadi, dan 12.000 truk barang. Dari data itu, perbandingan pemakaian kendaraan pribadi dan pemakaian angkutan umum adalah 77% berbanding 33%.
”Namun, kemacetan bukan semata karena angkot, melainkan juga karena kendaraan pribadi. Pertumbuhan kendaraan pribadi dengan penambahan jaringan jalan tidak seimbang. Kendaraan pribadi setiap tahunnya tumbuh hingga 10%, sedangkan jalan di bawah 1%,” tandasnya.
Haryudi
Mulai dari pembatasan operasi angkutan kota (angkot), konversi tiga angkot diganti satu bus Trans Pakuan, penertiban pedagang kaki lima (PKL), hingga penggembokan kendaraan yang diparkir sembarangan. Namun, kenyataannya nyaris tidak ada perubahan signifikan dari sejumlah kebijakan yang diterapkan.
”Laju kendaraan dari tahun ke tahun terus melambat. Jaringan jalan hanya itu-itu saja dan setahun terakhir ini tidak ada pelebaran jalan sama sekali,” kata Ramdan, 32, warga Bogor Utara, Kota Bogor, yang mengeluh karena setiap hari terjebak kemacetan. Hal senada diungkapkan, Rendy, 25, warga Katulampa, Bogor Timur, Kota Bogor. Menurutnya, kemacetan di Kota Bogor bukan hanya terjadi di jalan protokol, tapi juga sudah merambah jalur alternatif hingga jalan kampung.
”Saya perhatikan hampir tiap hari kemacetan di Jalan Durian Raya, Pandu Raya, dan Pandawa menuju Katulampa sering mengalami kemacetan, apalagi saat akhir pekan,” tandasnya. Berdasarkan pantauan, kemacetan terparah terjadi di Jalan Raya KS Tubun (Kedunghalang- Warungjambu), Jalan Suryakancana, Jalan Sukasari, Tajur, Jalan Pahlawan, Simpang Empang, Jalan Ir H Juanda (depan Bogor Trade Mall), Jalan Simpang Pomad, Jalan Sholeh Iskandar, KHR Abdullah bin Nuh, Simpang Yasmin-Semplak, dan Bubulak.
”Jika dibiarkan dan tidak ada solusi, kemacetan di Kota Bogor akan semakin parah. Salah satu alternatif mengatasi masalah ini adalah keberadaan transportasi massal. Mengingat Bogor telah berkembang menjadi kota besar sehingga transportasi massal sudah menjadi kebutuhan,” kata dosen Universitas Pakuan (Unpak), Bogor, Budi Arif. Namun, kebijakan pengembangan transportasi massal juga harus diiringi pengaturan dan tata kelola yang tepat. Harus ada pengaturan yang sistematis, postur badan jalan, dan kesediaan rasio kendaraan.
”Kenyataannya, kondisi jalan di Kota Bogor pada pagi hari penuh, siang hari lengang. Jadi harus dipelajari polanya untuk memfasilitasi lonjakan pergerakan di periode tertentu,” tuturnya. Sebagai gambaran umum, kondisi jalanan di Kota Bogor saat ini adalah 1:47. Artinya setiap 1 km diakses 47 kendaraan. Kondisi jalan yang rusak juga menjadi salah satu biang kemacetan kota. Pada akhir 2014 hanya 351 km (55%) dari 635 total panjang jalanan di Kota Bogor berkualitas baik. Sisanya rusak ringan hingga parah. Kerusakan juga terjadi di trotoar sebagian besar ruas jalan.
Trotoar jalan Pajajaran (Warungjambu-Sukasari), 90% kondisinya buruk dan sudah beralih fungsi. Penataan dilakukan hanya di titik-titik yang tidak terlalu penting seperti di Tugu Kujang, Kapten Muslihat. Itu pun dananya bersumber dari pemerintah pusat. Mimpi Bima Arya Sugiarto dan Usmar Hariman yang sudah memimpin Kota Bogor selama setahun untuk membangun citra Bogor sebagai Kota Ramah Pejalan Kaki hingga saat ini hanya isapan jempol belaka.
Jika ada pembangunan jalan baru, itu warisan kebijakan dari wali kota sebelumnya yakni penyelesaian proyek terusan seksi dua Jalan Lingkar R3 sepanjang 1,25 km dan jalan ke Stasiun Lawang Taleus (Sukaresmi) 250 meter. Kepala Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Bogor Achsin Prasetyo saat dikonfirmasi upaya menangani kemacetan mengaku masih mengandalkan kebijakan wali kota sebelumnya.
”Kita akan menghidupkan lagi sistem shift angkot. Sistem ini berlaku untuk 16 trayek dari 23 trayek di Kota Bogor yang dilayani 3.412 angkot,” katanya. Berdasarkan data DLLAJ, selain 3.412 angkot di dalam wilayah Kota Bogor, juga beroperasi 4.426 angkot dari Kabupaten Bogor yang melewati 10 trayek. Karena dari daerah lain, angkot itu tidak terkena kebijakan shift. Jika dijumlahkan, angkot yang masuk ke Kota Bogor mencapai 8.000 unit.
Namun, dari 8.000 angkot yang masuk ke dalam kota, cakupan layanan hanya 50% dari luas wilayah. Separuhnya belum terlayani moda reguler. Selain angkot, jalanan di Kota Bogor juga dijejali 1.000 bus, 231.000 unit sepeda motor, 58.000 unit mobil penumpang pribadi, dan 12.000 truk barang. Dari data itu, perbandingan pemakaian kendaraan pribadi dan pemakaian angkutan umum adalah 77% berbanding 33%.
”Namun, kemacetan bukan semata karena angkot, melainkan juga karena kendaraan pribadi. Pertumbuhan kendaraan pribadi dengan penambahan jaringan jalan tidak seimbang. Kendaraan pribadi setiap tahunnya tumbuh hingga 10%, sedangkan jalan di bawah 1%,” tandasnya.
Haryudi
(ars)