Australia Beraksi di Laut Internasional
A
A
A
ROTE - Pengakuan mengejutkan diungkapkan pencari suaka yang diminta kembali ke tengah laut oleh Angkatan Laut Australia. Mereka mengatakan Australia mengintervensi kapal mereka ketika berada di perairan internasional.
Dua pencari suaka yang bisa berbahasa Inggris dan Indonesia mengaku kapal mereka dihadang Angkatan Laut (AL) dan Australian Customs and Border Protection Services saat mereka keluar dari perairan Indonesia.
Saat itu posisi mereka ketahui dari system positioning global atau sistem penentuan lokasi berdasarkan sinyal satelit (GPS). Mereka mempertanyakan sikap Australia tersebut. ”Kami berada di rute internasional, tidak di wilayah Indonesia ataupun Australia, tapi kenapa Australia menangkap kami?” kata Abdul Maliq Mollah, salah satu pencari suaka, kepada ABC . Pria berusia 65 tahun dari etnis Rohingya itu mengatakan kelompoknya tidak berniat ke Australia, tetapi ke Selandia Baru.
”Meskipun begitu, mereka tetap mencegah kami untuk melanjutkan perjalanan,” ujar Abdul. Hal senada juga diungkapkan Nazmul Hassan. Pria berusia 28 tahun asal Bangladesh itu mengatakan, Australian Customs and Border memperingatkan mereka agar tidak mencoba memasuki Australia. Mereka juga melarang penggunaan jalur perairan Indonesia untuk menuju Selandia Baru. Nazmul mengaku Australian Customs membawa mereka ke perairan lepas pantai di beberapa pulau milik Australia, Kepulauan Ashmore.
”Kami melihat pulau tersebut begitu dekat. Berenang sejam saja bisa sampai,” tandas Abdul. ”Saking dekatnya, kami bahkan bisa melihat orangorang yang ada di pulau tersebut,” sambungnya. Sebelumnya, juru bicara (jubir) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Arrmanatha Nasir mengatakan, selama penyelidikan, polisi Indonesia di Pulau Rote mewawancarai saksi, kru, dan kapten kapal.
Mereka mengatakan, petugas penjaga perbatasan maritim Australia itu menyuap kru masing-masing sebesar USD5.000 agar mereka kembali ke Indonesia. Akhirnya, para pencari suaka dipindahkan ke kapal lain dan berputar haluan menuju Pulau Rote. Salah satu kapal kehabisan petrol dan harus diselamatkan penduduk lokal Pulau Rote. Jaksa Agung Australia George Brandis menampik tuduhan itu. Menurutnya, pernyataan orang yang terlibat kriminal tidak dapat dipercaya.
Pemimpin Partai Hijau Richard di Natale meminta Brandis untuk memberikan bukti atas tuntutan itu. ”Dapatkah dia membuktikan? Dapatkah dia memperhitungkan apa yang sebenarnya terjadi? Apakah penyuapan itu benar terjadi, kapan mereka (pelaku penyelundupan) disuap, dan siapa yang menyuap?” tanya Di Natale. Atas pertanyaan itu, Brandis marah.
”Dengan hormat, itu merupakan pertanyaan yang mengejutkan. Senat Di Natale, apakah Anda tahu bukti yang Anda pertanyakan itu? Pelaku adalah kapten yang membawa kapal penyelundup manusia. Pelaku hidup dari penderitaan orang lain untuk menerima uang yang sangat besar,” kata Brandis. Senator dari Partai Buruh juga mendesak Brandis untuk mengklarifikasi apakah benar Australia menyuap kapten dan kru kapal pencari suaka. Namun, Brandis memilih menghindari isu itu, sama seperti yang dilakukan Perdana Menteri (PM) Tony Abbott.
Dia tidak mengonfirmasi, juga tidak membantah. Sehari sebelumnya, Partai Hijau meminta dokumen yang berkaitan dengan tuduhan penyuapan terhadap pelaku penyelundupan. Namun, Menteri Imigrasi Peter Dutton menolak. Dia mengatakan, dokumen tersebut tidak bisa dibuka umum karena bisa merusak keamanan nasional, pertahanan, atau hubungan internasional.
”Dokumen itu berkaitan dengan permasalahan operasional yang biasanya bersifat rahasia. Pengungkapan informasi ini memiliki risiko. Aset dan taktik mata-mata maritim yang mengawasi aktivitas penyelundupan manusia akan terancam. Lebih luas lagi, efektivitas perlindungan perbatasan juga akan kena dampaknya,” kata Dutton.
Muh shamil
Dua pencari suaka yang bisa berbahasa Inggris dan Indonesia mengaku kapal mereka dihadang Angkatan Laut (AL) dan Australian Customs and Border Protection Services saat mereka keluar dari perairan Indonesia.
Saat itu posisi mereka ketahui dari system positioning global atau sistem penentuan lokasi berdasarkan sinyal satelit (GPS). Mereka mempertanyakan sikap Australia tersebut. ”Kami berada di rute internasional, tidak di wilayah Indonesia ataupun Australia, tapi kenapa Australia menangkap kami?” kata Abdul Maliq Mollah, salah satu pencari suaka, kepada ABC . Pria berusia 65 tahun dari etnis Rohingya itu mengatakan kelompoknya tidak berniat ke Australia, tetapi ke Selandia Baru.
”Meskipun begitu, mereka tetap mencegah kami untuk melanjutkan perjalanan,” ujar Abdul. Hal senada juga diungkapkan Nazmul Hassan. Pria berusia 28 tahun asal Bangladesh itu mengatakan, Australian Customs and Border memperingatkan mereka agar tidak mencoba memasuki Australia. Mereka juga melarang penggunaan jalur perairan Indonesia untuk menuju Selandia Baru. Nazmul mengaku Australian Customs membawa mereka ke perairan lepas pantai di beberapa pulau milik Australia, Kepulauan Ashmore.
”Kami melihat pulau tersebut begitu dekat. Berenang sejam saja bisa sampai,” tandas Abdul. ”Saking dekatnya, kami bahkan bisa melihat orangorang yang ada di pulau tersebut,” sambungnya. Sebelumnya, juru bicara (jubir) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Arrmanatha Nasir mengatakan, selama penyelidikan, polisi Indonesia di Pulau Rote mewawancarai saksi, kru, dan kapten kapal.
Mereka mengatakan, petugas penjaga perbatasan maritim Australia itu menyuap kru masing-masing sebesar USD5.000 agar mereka kembali ke Indonesia. Akhirnya, para pencari suaka dipindahkan ke kapal lain dan berputar haluan menuju Pulau Rote. Salah satu kapal kehabisan petrol dan harus diselamatkan penduduk lokal Pulau Rote. Jaksa Agung Australia George Brandis menampik tuduhan itu. Menurutnya, pernyataan orang yang terlibat kriminal tidak dapat dipercaya.
Pemimpin Partai Hijau Richard di Natale meminta Brandis untuk memberikan bukti atas tuntutan itu. ”Dapatkah dia membuktikan? Dapatkah dia memperhitungkan apa yang sebenarnya terjadi? Apakah penyuapan itu benar terjadi, kapan mereka (pelaku penyelundupan) disuap, dan siapa yang menyuap?” tanya Di Natale. Atas pertanyaan itu, Brandis marah.
”Dengan hormat, itu merupakan pertanyaan yang mengejutkan. Senat Di Natale, apakah Anda tahu bukti yang Anda pertanyakan itu? Pelaku adalah kapten yang membawa kapal penyelundup manusia. Pelaku hidup dari penderitaan orang lain untuk menerima uang yang sangat besar,” kata Brandis. Senator dari Partai Buruh juga mendesak Brandis untuk mengklarifikasi apakah benar Australia menyuap kapten dan kru kapal pencari suaka. Namun, Brandis memilih menghindari isu itu, sama seperti yang dilakukan Perdana Menteri (PM) Tony Abbott.
Dia tidak mengonfirmasi, juga tidak membantah. Sehari sebelumnya, Partai Hijau meminta dokumen yang berkaitan dengan tuduhan penyuapan terhadap pelaku penyelundupan. Namun, Menteri Imigrasi Peter Dutton menolak. Dia mengatakan, dokumen tersebut tidak bisa dibuka umum karena bisa merusak keamanan nasional, pertahanan, atau hubungan internasional.
”Dokumen itu berkaitan dengan permasalahan operasional yang biasanya bersifat rahasia. Pengungkapan informasi ini memiliki risiko. Aset dan taktik mata-mata maritim yang mengawasi aktivitas penyelundupan manusia akan terancam. Lebih luas lagi, efektivitas perlindungan perbatasan juga akan kena dampaknya,” kata Dutton.
Muh shamil
(ars)