Larangan Politik Dinasti Tak Efektif
A
A
A
JAKARTA - Larangan politik dinasti di pilkada serentak 2015 tak efektif karena terdapat sejumlah celah yang bisa digunakan oleh kepala daerah yang berkuasa untuk memuluskan pencalonan anggota keluarganya.
Salah satu celah yang potensial digunakan adalah kepala daerah yang sudah menjabat dua periode mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir. Dengan status tidak lagi menjabat, anggota keluarga yang bersangkutan bisa langsung mencalonkan diri tanpa melanggar peraturan undangundang.
Kasus pengunduran diri tiga kepala daerah di Indonesia dalam kurun waktu kurang sebulan ini dinilai termasuk upaya untuk memanfaatkan celah pada aturan tersebut. Kepala daerah yang mundur kurang dari dua bulan menjelang pendaftaran calon ini adalah Wali Kota Pekalongan M Basyir. Diketahui, istri M Basyir, Balqis Diab, akan maju di Pilkada Pekalongan. Selain itu Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya juga mengajukan pengunduran diri karena anaknya AW Noviadi maju di pilkada Ogan Ilir.
Hal yang sama dilakukan Wakil Wali Kota Sibolga Marudut Situmorang yang istrinya Memory Evaulina Br Panggabean maju sebagai calon wakil wali kota Sibolga. Sebelumnya, pada Februari lalu, Bupati Kutai Timur Isran Noor juga mengundurkan diri. Pengunduran diri Isran tersebut juga dikait-kaitkan dengan rencana pencalonan istrinya Norbaiti di Pilkada Kutai Timur. Untuk diketahui, pengunduran diri kepala daerah ini diawali oleh terbitnya Surat Edaran (SE) 302/KPU/VI/2015 yang ditujukan kepada KPU daerah.
”Fenomena yang muncul ini karena Surat Edaran KPU yang mengatakan bahwa petahana itu adalah orang-orang yang sedang menjabat,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini kemarin. Menurut Titi, mundurnya para kepala daerah yang tujuannya untuk memuluskan langkah anggota keluarganya di pilkada adalah sebuah pengelabuan hukum. Dia meminta masyarakat untuk tidak buta melihat hal tersebut.
”Publik harus sadar dan memberikan hukuman kepada kepala daerah yang seperti ini,” tegas Titi. Direktur Fasilitasi Kepala Daerah, DPRD, dan Hubungan Antar Lembaga (FKDH) pada Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Ansel Tan mengaku kesulitan untuk mengantisipasi trik-trik kepala daerah petahana yang ingin memuluskan keluarganya maju di pilkada.
Menurut dia, di PKPU jelas disebutkan bahwa petahana adalah kepala daerah yang sedang menjabat sehingga ketika dia mundur otomatis yang bersangkutan tidak lagi bisa disebut petahana. ”Definisi petahana sesuai PKPU 9/2015 kan jelas, kepala daerah yang sedang menjabat,” ujarnya kemarin. Dia mengatakan antisipasi terhadap ini hanya bisa dilakukan saat kepala daerah mengajukan pengunduran ke DPRD setempat.
”Bisa saja DPRD menghalanginya mundur, jadi tergantung DPRD-nya. Dari etika politik memang ini masuk kategori tidak etis,” ungkapnya. Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan mundurnya sejumlah kepaladaerahpetahanajelangwaktu pendaftaran calon memang tidak dilarang. Ferry mengatakan mundurnya kepala daerah harus disertai dengan surat resmi pengunduran diri dari instansi yang menaunginya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan, larangan pencalonan keluarga petahana tidak cukup bisa mencegah praktik itu dari hulu ke hilir. ”Ini hanya menunjukkan bahwa dinasti itu keliru. Tapi dinasti ini tidak dapat dicegah secara komprehensif. Saat dia (kepala daerah) mundur sebelum berakhir masa jabatannya, otomatis dia bukan petahana lagi dan keluarganya pun bisa mencalonkan,” ujarnya kemarin.
Asep mengatakan aturan pelarangan politik dinasti secara filosofis pada UU tidak tuntas dan tidak kuat. Ini yang menyebabkan perumusan norma menjadi sangat parsial.
Dian ramdhani/ dita angga
Salah satu celah yang potensial digunakan adalah kepala daerah yang sudah menjabat dua periode mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir. Dengan status tidak lagi menjabat, anggota keluarga yang bersangkutan bisa langsung mencalonkan diri tanpa melanggar peraturan undangundang.
Kasus pengunduran diri tiga kepala daerah di Indonesia dalam kurun waktu kurang sebulan ini dinilai termasuk upaya untuk memanfaatkan celah pada aturan tersebut. Kepala daerah yang mundur kurang dari dua bulan menjelang pendaftaran calon ini adalah Wali Kota Pekalongan M Basyir. Diketahui, istri M Basyir, Balqis Diab, akan maju di Pilkada Pekalongan. Selain itu Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya juga mengajukan pengunduran diri karena anaknya AW Noviadi maju di pilkada Ogan Ilir.
Hal yang sama dilakukan Wakil Wali Kota Sibolga Marudut Situmorang yang istrinya Memory Evaulina Br Panggabean maju sebagai calon wakil wali kota Sibolga. Sebelumnya, pada Februari lalu, Bupati Kutai Timur Isran Noor juga mengundurkan diri. Pengunduran diri Isran tersebut juga dikait-kaitkan dengan rencana pencalonan istrinya Norbaiti di Pilkada Kutai Timur. Untuk diketahui, pengunduran diri kepala daerah ini diawali oleh terbitnya Surat Edaran (SE) 302/KPU/VI/2015 yang ditujukan kepada KPU daerah.
”Fenomena yang muncul ini karena Surat Edaran KPU yang mengatakan bahwa petahana itu adalah orang-orang yang sedang menjabat,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini kemarin. Menurut Titi, mundurnya para kepala daerah yang tujuannya untuk memuluskan langkah anggota keluarganya di pilkada adalah sebuah pengelabuan hukum. Dia meminta masyarakat untuk tidak buta melihat hal tersebut.
”Publik harus sadar dan memberikan hukuman kepada kepala daerah yang seperti ini,” tegas Titi. Direktur Fasilitasi Kepala Daerah, DPRD, dan Hubungan Antar Lembaga (FKDH) pada Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Ansel Tan mengaku kesulitan untuk mengantisipasi trik-trik kepala daerah petahana yang ingin memuluskan keluarganya maju di pilkada.
Menurut dia, di PKPU jelas disebutkan bahwa petahana adalah kepala daerah yang sedang menjabat sehingga ketika dia mundur otomatis yang bersangkutan tidak lagi bisa disebut petahana. ”Definisi petahana sesuai PKPU 9/2015 kan jelas, kepala daerah yang sedang menjabat,” ujarnya kemarin. Dia mengatakan antisipasi terhadap ini hanya bisa dilakukan saat kepala daerah mengajukan pengunduran ke DPRD setempat.
”Bisa saja DPRD menghalanginya mundur, jadi tergantung DPRD-nya. Dari etika politik memang ini masuk kategori tidak etis,” ungkapnya. Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan mundurnya sejumlah kepaladaerahpetahanajelangwaktu pendaftaran calon memang tidak dilarang. Ferry mengatakan mundurnya kepala daerah harus disertai dengan surat resmi pengunduran diri dari instansi yang menaunginya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan, larangan pencalonan keluarga petahana tidak cukup bisa mencegah praktik itu dari hulu ke hilir. ”Ini hanya menunjukkan bahwa dinasti itu keliru. Tapi dinasti ini tidak dapat dicegah secara komprehensif. Saat dia (kepala daerah) mundur sebelum berakhir masa jabatannya, otomatis dia bukan petahana lagi dan keluarganya pun bisa mencalonkan,” ujarnya kemarin.
Asep mengatakan aturan pelarangan politik dinasti secara filosofis pada UU tidak tuntas dan tidak kuat. Ini yang menyebabkan perumusan norma menjadi sangat parsial.
Dian ramdhani/ dita angga
(ars)