TNI AL Siapkan Kapal Perang Awasi Perairan
A
A
A
JAKARTA - TNI Angkatan Laut (AL) akan meningkatkan patroli perbatasan terkait sikap Australia yang menyuap USD5.000 terhadap nakhoda kapal imigran gelap agar membawa penumpangnya kembali ke Indonesia.
”Itu ranah politik, saya belum terlibat,” ujar Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Ade Supandi saat membuka Initial Planning Conference (IPC) Multilateral Naval Exercise Komodo 2016 yang dihadiri angkatan laut dari 25 negara di Hotel Borobudur, Jakarta, kemarin. Saat ini pihaknya masih menunggu instruksi selanjutnya dari Panglima TNI Jenderal Moeldoko apakah perlu ada penambahan kekuatan atau patroli di perairan tersebut atau tidak.
”Ya, nanti Panglima TNI yang akan memerintahkan. Kita memberikan masukan ke Panglima bahwa ada keadaan yang perlu kita tindak lanjuti, nanti penggunaan operasi dari Panglima TNI,” ujarnya. Bila Panglima TNI memerintahkan TNI AL untuk menyiapkan kapal dan menambah kekuatan di perairan tersebut, pihaknya akan segera menyiapkannya.
”Nanti tergantung Panglima misalkan, KSAL tolong siapkan kapal untuk tambah operasi di sana kita nyiapin kapalnya. Saya sebagai pelaksana operasi siapin kapalnya untuk digunakan oleh Panglima TNI, sehingga hasil asesmen nanti Panglima TNI yang beri keputusan,” kata Ade. Mengenai kapal jenis apa yang nantinya dikerahkan untuk melakukan pengawasan di perairan tersebut, Ade mengaku, TNI AL memiliki banyak kapal yang bisa digerakkan kapan pun. ”Kita kan banyak kapal, kita siapkan. Ya, (dari armatim) angkatan laut,” paparnya.
Ade menyadari adanya potensi kerawanan di perairan Indonesia yang meliputi perairan di sekitar Ambalat dan Natuna, termasuk perairan perbatasan di Kupang Timur, selatan Jawa. ”Evaluasi patroli kebutuhan pada kerawanan. Itu sudah ada dalam konsep operasi Mabes TNI. Itu kan perairan-perairan yang memiliki kerawanan tinggi di mana angkatan laut hadir,” ujarnya. Untuk menjaga perairan Indonesia yang sedemikian luas, sambung Ade, diperlukan banyak kapal patroli yang bertugas melakukan pengawasan.
”Kalau kita mau magerin pulau itu butuh kapal banyak. Deteksi kapalkan 20 mil dari radar. Kalau kita patroli misalnya dua kapal di perbatasan itu kan (luas) butuh penambahan kapal,” katanya. Tidak hanya itu, diperlukan juga kerja sama intelijen antara Indonesia dan negara tetangga. ”Nah itu, memang di situ kita sebenarnya harus ada (intelijen), satu keterpaduan dengan intelijen apakah dari Australia, dan kita sendiri turut membantu,” katanya.
Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai cara Australia yang diduga menggunakan uang untuk mendorong kapal pencari suaka perlu dikutuk. ”Jadi, beberapa waktu lalu polisi mendapatkan informasi dari awak kapal Indonesia yang disangka melakukan penyelundupan manusia bahwa mereka mendapatkan uang dari otoritas Australia agar memutar balik kapal mereka ke Indonesia,” ujarnya.
Hikmahanto menyebutkan, ada sejumlah alasan untuk melakukan protes dan kutukan yang dilakukan oleh Indonesia dan masyarakat internasional kepada Australia. Salah satunya, tindakan pemberian uang kepada para nelayan Indonesia yang membawa para pencari suaka bertentangan dengan kewajiban Australia sebagai negara peserta Konvensi tentang Pengungsi.
Sucipto
”Itu ranah politik, saya belum terlibat,” ujar Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Ade Supandi saat membuka Initial Planning Conference (IPC) Multilateral Naval Exercise Komodo 2016 yang dihadiri angkatan laut dari 25 negara di Hotel Borobudur, Jakarta, kemarin. Saat ini pihaknya masih menunggu instruksi selanjutnya dari Panglima TNI Jenderal Moeldoko apakah perlu ada penambahan kekuatan atau patroli di perairan tersebut atau tidak.
”Ya, nanti Panglima TNI yang akan memerintahkan. Kita memberikan masukan ke Panglima bahwa ada keadaan yang perlu kita tindak lanjuti, nanti penggunaan operasi dari Panglima TNI,” ujarnya. Bila Panglima TNI memerintahkan TNI AL untuk menyiapkan kapal dan menambah kekuatan di perairan tersebut, pihaknya akan segera menyiapkannya.
”Nanti tergantung Panglima misalkan, KSAL tolong siapkan kapal untuk tambah operasi di sana kita nyiapin kapalnya. Saya sebagai pelaksana operasi siapin kapalnya untuk digunakan oleh Panglima TNI, sehingga hasil asesmen nanti Panglima TNI yang beri keputusan,” kata Ade. Mengenai kapal jenis apa yang nantinya dikerahkan untuk melakukan pengawasan di perairan tersebut, Ade mengaku, TNI AL memiliki banyak kapal yang bisa digerakkan kapan pun. ”Kita kan banyak kapal, kita siapkan. Ya, (dari armatim) angkatan laut,” paparnya.
Ade menyadari adanya potensi kerawanan di perairan Indonesia yang meliputi perairan di sekitar Ambalat dan Natuna, termasuk perairan perbatasan di Kupang Timur, selatan Jawa. ”Evaluasi patroli kebutuhan pada kerawanan. Itu sudah ada dalam konsep operasi Mabes TNI. Itu kan perairan-perairan yang memiliki kerawanan tinggi di mana angkatan laut hadir,” ujarnya. Untuk menjaga perairan Indonesia yang sedemikian luas, sambung Ade, diperlukan banyak kapal patroli yang bertugas melakukan pengawasan.
”Kalau kita mau magerin pulau itu butuh kapal banyak. Deteksi kapalkan 20 mil dari radar. Kalau kita patroli misalnya dua kapal di perbatasan itu kan (luas) butuh penambahan kapal,” katanya. Tidak hanya itu, diperlukan juga kerja sama intelijen antara Indonesia dan negara tetangga. ”Nah itu, memang di situ kita sebenarnya harus ada (intelijen), satu keterpaduan dengan intelijen apakah dari Australia, dan kita sendiri turut membantu,” katanya.
Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai cara Australia yang diduga menggunakan uang untuk mendorong kapal pencari suaka perlu dikutuk. ”Jadi, beberapa waktu lalu polisi mendapatkan informasi dari awak kapal Indonesia yang disangka melakukan penyelundupan manusia bahwa mereka mendapatkan uang dari otoritas Australia agar memutar balik kapal mereka ke Indonesia,” ujarnya.
Hikmahanto menyebutkan, ada sejumlah alasan untuk melakukan protes dan kutukan yang dilakukan oleh Indonesia dan masyarakat internasional kepada Australia. Salah satunya, tindakan pemberian uang kepada para nelayan Indonesia yang membawa para pencari suaka bertentangan dengan kewajiban Australia sebagai negara peserta Konvensi tentang Pengungsi.
Sucipto
(ars)