Polres Bogor Bongkar Prostitusi Online
A
A
A
BOGOR - Polres Bogor membongkar praktik prostitusi online melalui layanan BlackBerry Messenger (BBM). Satu mucikari berinisial TS, 20, warga Bogor, ditangkap bersama enam pekerja seks komersial (PSK).
Tersangka menjual para PSK sejak satu tahun lalu kepada beberapa pria hidung belang dari berbagai kalangan di wilayah Bogor. ”Dia (TS) menjajakan para PSK-nya melalui BBM, lalu janjian di sebuah hotel di Bogor,” ujar Kapolres Bogor AKBP Suyudi Ario Seto di Mapolres Bogor kemarin. Tersangka diduga memiliki puluhan PSK, namun saat pengungkapan pihak kepolisian hanya berhasil mengamankan enam PSK, empat di antaranya masih di bawah umur kisaran 13-15 tahun.
Kasat Reskrim Polres Bogor AKP Auliya Djabar menjelaskan, dalam menjalankan aksi tersangka menawari PSK kepada calon pelanggan sesuai kriteria yang diinginkan. Tersangka lalu menentukan harga, bila sudah sepakat, tersangka akan menentukan tempat di mana pelanggan dan PSK-nya bisa berkencan. ”Kebanyakan PSK berasal dari wilayah Bogor. Perekrutannya dari pergaulan, dari teman ke teman, dan juga BBM. Motifnya, mereka mau menjadi PSK karena faktor ekonomi dan memenuhi kebutuhan hidup,” ungkapnya.
Setelah didata, para PSK akan dibawa ke Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Bogor untuk dilakukan pembinaan. Tersangka bakal dijerat dengan Pasal 88 juncto Pasal76 UU No 35 Tahun 2012 tentang Perdagangan Manusia dan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. ”Kita juga menangkap 10 mucikari lainnya dan 14 PSK yang sering beroperasi di wilayah Kabupaten Bogor,” sebutnya.
Psikolog Universitas Indonesia (UI) Farida Haryoko mengungkapkan, para remaja sangat mudah tergiur dengan iming-iming kemewahan melalui cara singkat. Apalagi saat ini pola perekrutan dan penjualan PSK sudah canggih dengan bantuan media sosial atau layanan BBM. ”Sebenarnya bukan kemajuan teknologinya, tapi kurangnya wawasan (ketidaktahuan) remaja sehingga mereka mudah tertipu dengan tawaran itu,” katanya.
Seharusnya kemajuan teknologi tidak digunakan untuk hal demikian. Kemajuan teknologi harus dibarengi kesiapan penggunanya agar bisa memahami sekaligus menggunakan secara bijak. ”Kalau kurang (wawasan), ya bisa jadi terjerumus,” ujarnya.
Di sisi lain, ada remaja yang sudah mengetahui pola perekrutan seperti itu, namun tetap saja mau karena mereka ingin sesuatu yang lebih secara materi. Itu dipicu juga dari kurangnya pendidikan moral yang cukup dari keluarga.
Haryudi/ r ratna purnama
Tersangka menjual para PSK sejak satu tahun lalu kepada beberapa pria hidung belang dari berbagai kalangan di wilayah Bogor. ”Dia (TS) menjajakan para PSK-nya melalui BBM, lalu janjian di sebuah hotel di Bogor,” ujar Kapolres Bogor AKBP Suyudi Ario Seto di Mapolres Bogor kemarin. Tersangka diduga memiliki puluhan PSK, namun saat pengungkapan pihak kepolisian hanya berhasil mengamankan enam PSK, empat di antaranya masih di bawah umur kisaran 13-15 tahun.
Kasat Reskrim Polres Bogor AKP Auliya Djabar menjelaskan, dalam menjalankan aksi tersangka menawari PSK kepada calon pelanggan sesuai kriteria yang diinginkan. Tersangka lalu menentukan harga, bila sudah sepakat, tersangka akan menentukan tempat di mana pelanggan dan PSK-nya bisa berkencan. ”Kebanyakan PSK berasal dari wilayah Bogor. Perekrutannya dari pergaulan, dari teman ke teman, dan juga BBM. Motifnya, mereka mau menjadi PSK karena faktor ekonomi dan memenuhi kebutuhan hidup,” ungkapnya.
Setelah didata, para PSK akan dibawa ke Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Bogor untuk dilakukan pembinaan. Tersangka bakal dijerat dengan Pasal 88 juncto Pasal76 UU No 35 Tahun 2012 tentang Perdagangan Manusia dan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. ”Kita juga menangkap 10 mucikari lainnya dan 14 PSK yang sering beroperasi di wilayah Kabupaten Bogor,” sebutnya.
Psikolog Universitas Indonesia (UI) Farida Haryoko mengungkapkan, para remaja sangat mudah tergiur dengan iming-iming kemewahan melalui cara singkat. Apalagi saat ini pola perekrutan dan penjualan PSK sudah canggih dengan bantuan media sosial atau layanan BBM. ”Sebenarnya bukan kemajuan teknologinya, tapi kurangnya wawasan (ketidaktahuan) remaja sehingga mereka mudah tertipu dengan tawaran itu,” katanya.
Seharusnya kemajuan teknologi tidak digunakan untuk hal demikian. Kemajuan teknologi harus dibarengi kesiapan penggunanya agar bisa memahami sekaligus menggunakan secara bijak. ”Kalau kurang (wawasan), ya bisa jadi terjerumus,” ujarnya.
Di sisi lain, ada remaja yang sudah mengetahui pola perekrutan seperti itu, namun tetap saja mau karena mereka ingin sesuatu yang lebih secara materi. Itu dipicu juga dari kurangnya pendidikan moral yang cukup dari keluarga.
Haryudi/ r ratna purnama
(ars)