Cegah PHK Pemerintah Harus Cepat
A
A
A
JAKARTA - Kalangan dunia usaha mendesak pemerintah untuk bergerak cepat menyelamatkan perekonomian nasional. Selain mempercepat belanja berbagai proyek infrastruktur, pemerintah juga didesak untuk mengeluarkan kebijakan yang mendukung aktivitas bisnis.
Harapan tersebut disampaikan sejumlah asosiasi pengusaha setelah melihat lesunya perekonomian belakangan ini telah berdampak luas terhadap dunia usaha. Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia berharap kebijakankebijakan yang tidak pro-growth atau pro-job, seperti pelarangan instansi pemerintah mengadakan pertemuan di hotel, tidak terulang.
”Kemudian, kami minta belanja pemerintah segera (direalisasikan) agar dapat terserap dengan optimal. Kalau ada hambatan-hambatan harus ada terobosan yang berani,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Bahlil menuturkan, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan selalu ada karena penjualan menurun hingga 40%. Data itu didapatkannya dari laporan anggota Hipmi di berbagai daerah. ”Dari sisi pengusaha harus dilakukan pengurangan jam kerja agar terjadi efisiensi biaya SDM (sumber daya manusia) dan menekan overhead cost,” ungkapnya.
Seperti diberitakan, kondisi ekonomi yang kurang baik telah menekan kinerja banyak sektor bisnis. Penjualan wholesales mobil, misalnya, selama periode Januari-Mei 2015 turun 16,5% dibanding periode yang sama tahun lalu. Penjualan sepeda motor pada Januari- April 2015 melemah 21,46% dibanding Januari-April 2014. Bisnis ritel pada tiga bulan pertama 2015 menurun 10-15%. WakilKetuaUmumAsosiasiPengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta meminta pemerintah lebih antisipatif dan lebih peka. Agar situasi tidak bertambahparah, diamemintapemerintah bergerak cepat.
”Jangan sudah kena parah, baru turun tangan,” tegasnya. Tutum melanjutkan, para pengusaha ritel saat ini cenderung berhati-hati untuk melakukan ekspansi. ”Untuk membuka toko baru harus lebih hatihati. Nanti yang terjelek kemungkinan setelah Lebaran akan dievaluasi,” ungkapnya. Ketua 1 Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Sugiarto mengatakan, pelemahan ekonomi dan kurs rupiah menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Oleh karena itu, pemerintah harus turun tangan secepatnya mengatasi masalah ini.
”Kita gak tahu langkah apa yang harus dilakukan. Harusnya pemerintah dong, paling kita bisa berdoa saja,” katanya. Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Theresia Rustandi menjelaskan perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini telah menyebabkan anjloknya penjualan unit properti sebesar 30-60%.Selain imbas perlambatan ekonomi, penurunan permintaan properti juga dipicu menurunnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan melemahnya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
”Untuk koreksi target penjualan properti itu biasanya terdapat di masing-masing kebijakan pengembang, namun REI masih optimistis ke depannya akan lebih baik,” tandasnya. Menurut Theresia, saat ini sejumlah pengembang masih melihat kestabilan bisnis properti setelah Idul Fitri. Jika kondisi pembelian unit properti masih menurun, akan ada koreksi target penjualan unit properti hingga akhir 2015. REI optimistis industri properti akan lebih baik pada semester II/2015. Hal ini didukung dengan mulai terserapnya anggaran belanja negara, terutama untuk sektor infrastruktur.
Faktor tersebut diharapkan menjadi roda penggerak ekonomi nasional. ”Untuk PHK masih terlalu jauh, karena ke depan kami masih optimis sektor properti akan lebih baik, mengingat belanja infrastruktur sudah mulai cair,” paparnya.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, demi mengantisipasi berlanjutnya pelemahan ekonomi, para pelaku usaha pertekstilan mengambil langkah mengurangi produksi yang berimplikasi kepada dirumahkannya sebagian karyawan. Langkah ini terpaksa dilakukan di tengah kenaikan biaya produksi terutama akibat peningkatan biaya listrik, jaminan sosial, pensiun dan asuransi.
Ade khawatir, jika kondisi pelemahan ini terus berlanjut hingga akhir tahun, besar kemungkinan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi. API berharap ada upaya dari pemerintah, misalnya untuk jangka pendek agar memanfaatkan momen Idul Fitri dengan meminta seluruh BUMN membeli produk sarung dan baju koko produksi industri kecil dan menengah (IKM) dalam negeri.
”Untuk jangka menengah, listrik harus turun dan BPJS pensiun sebaiknya diberlakukan secara bertahap,” katanya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, pelemahan ekonomi tidak dapat dihindari lantaran merupakan gejala global. Namun, dia meyakini fenomena ini bersifat temporer.
”Memang banyak yang menjadi koreksi saat ini, faktor eksternal tidak dapat dihindari karena pelemahan pertumbuhan telah menjadi tren dunia, namun persoalan ini hanya temporer dan pemerintah perlu lakukan tindakan fleksibel untuk merespons hal ini,” ujarnya. Dia mengungkapkan, saat ini sedang dilakukan percepatan belanja pemerintah agar daya beli masyarakat menjadi meningkat. Menurutnya, belanja pemerintah akan lebih baik di kuartal II dibandingkan kuartal I yang banyak terbentur dengan permasalahan nomenklatur di sejumlah kementerian.
”Pemerintah pusat akan memacu segera mungkin untuk dorong penyerapan serta realisasi dana, khususnya dana daerah yang kategori implementasinya masih sangat rendah,” kata Sofyan. Jika penyerapan berjalan cepat, produktivitas dalam negeri terpacu. Percepatan belanja ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari tekanan perlambatan ekonomi global.
Hal lain yang dilakukan pemerintah adalah memprioritaskan pembangunan infrastruktur sehingga membuat ekonomi bergerak lebih cepat dan mempekerjakan semakin banyak orang. Langkah ini merupakan solusi, sekaligus mengantisipasi adanya PHK di sejumlah sektor industri.
Heru febrianto/ inda susanti/ rabia edra almira/ oktiani endarwati
Harapan tersebut disampaikan sejumlah asosiasi pengusaha setelah melihat lesunya perekonomian belakangan ini telah berdampak luas terhadap dunia usaha. Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia berharap kebijakankebijakan yang tidak pro-growth atau pro-job, seperti pelarangan instansi pemerintah mengadakan pertemuan di hotel, tidak terulang.
”Kemudian, kami minta belanja pemerintah segera (direalisasikan) agar dapat terserap dengan optimal. Kalau ada hambatan-hambatan harus ada terobosan yang berani,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Bahlil menuturkan, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan selalu ada karena penjualan menurun hingga 40%. Data itu didapatkannya dari laporan anggota Hipmi di berbagai daerah. ”Dari sisi pengusaha harus dilakukan pengurangan jam kerja agar terjadi efisiensi biaya SDM (sumber daya manusia) dan menekan overhead cost,” ungkapnya.
Seperti diberitakan, kondisi ekonomi yang kurang baik telah menekan kinerja banyak sektor bisnis. Penjualan wholesales mobil, misalnya, selama periode Januari-Mei 2015 turun 16,5% dibanding periode yang sama tahun lalu. Penjualan sepeda motor pada Januari- April 2015 melemah 21,46% dibanding Januari-April 2014. Bisnis ritel pada tiga bulan pertama 2015 menurun 10-15%. WakilKetuaUmumAsosiasiPengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta meminta pemerintah lebih antisipatif dan lebih peka. Agar situasi tidak bertambahparah, diamemintapemerintah bergerak cepat.
”Jangan sudah kena parah, baru turun tangan,” tegasnya. Tutum melanjutkan, para pengusaha ritel saat ini cenderung berhati-hati untuk melakukan ekspansi. ”Untuk membuka toko baru harus lebih hatihati. Nanti yang terjelek kemungkinan setelah Lebaran akan dievaluasi,” ungkapnya. Ketua 1 Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Sugiarto mengatakan, pelemahan ekonomi dan kurs rupiah menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Oleh karena itu, pemerintah harus turun tangan secepatnya mengatasi masalah ini.
”Kita gak tahu langkah apa yang harus dilakukan. Harusnya pemerintah dong, paling kita bisa berdoa saja,” katanya. Wakil Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Theresia Rustandi menjelaskan perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini telah menyebabkan anjloknya penjualan unit properti sebesar 30-60%.Selain imbas perlambatan ekonomi, penurunan permintaan properti juga dipicu menurunnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan melemahnya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
”Untuk koreksi target penjualan properti itu biasanya terdapat di masing-masing kebijakan pengembang, namun REI masih optimistis ke depannya akan lebih baik,” tandasnya. Menurut Theresia, saat ini sejumlah pengembang masih melihat kestabilan bisnis properti setelah Idul Fitri. Jika kondisi pembelian unit properti masih menurun, akan ada koreksi target penjualan unit properti hingga akhir 2015. REI optimistis industri properti akan lebih baik pada semester II/2015. Hal ini didukung dengan mulai terserapnya anggaran belanja negara, terutama untuk sektor infrastruktur.
Faktor tersebut diharapkan menjadi roda penggerak ekonomi nasional. ”Untuk PHK masih terlalu jauh, karena ke depan kami masih optimis sektor properti akan lebih baik, mengingat belanja infrastruktur sudah mulai cair,” paparnya.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, demi mengantisipasi berlanjutnya pelemahan ekonomi, para pelaku usaha pertekstilan mengambil langkah mengurangi produksi yang berimplikasi kepada dirumahkannya sebagian karyawan. Langkah ini terpaksa dilakukan di tengah kenaikan biaya produksi terutama akibat peningkatan biaya listrik, jaminan sosial, pensiun dan asuransi.
Ade khawatir, jika kondisi pelemahan ini terus berlanjut hingga akhir tahun, besar kemungkinan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi. API berharap ada upaya dari pemerintah, misalnya untuk jangka pendek agar memanfaatkan momen Idul Fitri dengan meminta seluruh BUMN membeli produk sarung dan baju koko produksi industri kecil dan menengah (IKM) dalam negeri.
”Untuk jangka menengah, listrik harus turun dan BPJS pensiun sebaiknya diberlakukan secara bertahap,” katanya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, pelemahan ekonomi tidak dapat dihindari lantaran merupakan gejala global. Namun, dia meyakini fenomena ini bersifat temporer.
”Memang banyak yang menjadi koreksi saat ini, faktor eksternal tidak dapat dihindari karena pelemahan pertumbuhan telah menjadi tren dunia, namun persoalan ini hanya temporer dan pemerintah perlu lakukan tindakan fleksibel untuk merespons hal ini,” ujarnya. Dia mengungkapkan, saat ini sedang dilakukan percepatan belanja pemerintah agar daya beli masyarakat menjadi meningkat. Menurutnya, belanja pemerintah akan lebih baik di kuartal II dibandingkan kuartal I yang banyak terbentur dengan permasalahan nomenklatur di sejumlah kementerian.
”Pemerintah pusat akan memacu segera mungkin untuk dorong penyerapan serta realisasi dana, khususnya dana daerah yang kategori implementasinya masih sangat rendah,” kata Sofyan. Jika penyerapan berjalan cepat, produktivitas dalam negeri terpacu. Percepatan belanja ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari tekanan perlambatan ekonomi global.
Hal lain yang dilakukan pemerintah adalah memprioritaskan pembangunan infrastruktur sehingga membuat ekonomi bergerak lebih cepat dan mempekerjakan semakin banyak orang. Langkah ini merupakan solusi, sekaligus mengantisipasi adanya PHK di sejumlah sektor industri.
Heru febrianto/ inda susanti/ rabia edra almira/ oktiani endarwati
(ars)