Pemerintah Godok Kurikulum Bersama Dunia Usaha dan Akademisi

Senin, 15 Juni 2015 - 09:34 WIB
Pemerintah Godok Kurikulum Bersama Dunia Usaha dan Akademisi
Pemerintah Godok Kurikulum Bersama Dunia Usaha dan Akademisi
A A A
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M Nasir menyatakan, menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), lulusan pendidikan vokasi memang sangat dibutuhkan sebab pendidikan vokasi menitikberatkan pada kesiapan lulusannya dalam mengaplikasikan keahlian.

Lulusan pendidikan vokasi siap pakai dan bisa diserap dunia kerja. Nasir tidak memungkiri bawa dunia industri saat ini lebih suka menggunakan lulusan vokasi daripada lulusan akademik seperti insinyur karena proses adaptasi bekerja lulusan vokasi lebih cepat. Nasirmenjelaskan, agarada linkand match antara dunia industri dengan pendidikan vokasi, maka harus ada kurikulum vokasi yang disusun bersama antara pemerintah, dunia usaha, dan akademisi.

Menurut dia, sudah ada pertemuan awal antara ketiganya untuk menyusun program studi dan kurikulum standar sehingga ada kompetensi yang sama pada lulusan vokasional. Dia menekankan, tidak sinerginya metode pengajaran pendidikan vokasi di suatu institusi menyebabkan masih banyak lulusan yang tidak tertampung di dunia kerja. Sehingga, semua prodi yang ada di pendidikan vokasi memiliki kompetensi.

Di sini standar kompetensi yang diharapkan perlu melibatkan dunia usaha dan regulasi. Para pengelola pendidikan vokasi pun mulai sadar terhadap kebutuhan lulusannya. Sebab, para pengelola vokasi hendaknya memperhatikan agar barang yang diproduksiperludistandardisasisupaya berdaya jual. ”Selain itu, dengan adanya kompetensi, para lulusan akan mendapat sertifikat kompetensi. Misalnya, untuk profesi akuntan, mereka harus melewati ujian kompetensi demi memperoleh sertifikasi,” terangnya.

Dari sisi akademik, mantan Rektor Universitas Diponegoro (Undip) ini mengatakan ingin merombak sistem pendidikan vokasi di politeknik dengan memperpanjang masa magang mahasiswa di dunia usaha, dengan memadatkan tiga semester kuliah dalam satu tahun. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kompetensi lulusan politeknik agar siap bekerja begitu menyelesaikan pendidikannya selama tiga tahun.

”Kalau itu dilakukan, maka teori akan habis dalam dua tahun. Maka, setahun sisanya mahasiswa dapat melakukan praktikum di dunia usaha. Usaha apa saja asal sesuai dengan program studinya. Dengan begitu, setelah dia lulus langsung memiliki kompetensi sesuai bidangnya”, ujar Nasir. Nasir juga menyoroti politeknik yang terlalu banyak membuka program studi ilmu sosial.

Menurutnya, sebaiknya politeknik memfokuskan pada program studi perekayasaan yang sesuai dengan kondisi dan potensi di wilayah tersebut. Misalnya, di Madiun ada PT Inka, maka sebaiknya di situ ada program studi perkeretaapian agar lebih konsentrasi mengembangkan kereta nasional.

Berdasarkan data, dalam rencana strategis pendidikan tinggi Depdiknas 2010-2015 idealnya pada 2015 rasio jumlah mahasiswa vokasi:sarjana adalah 30:70. Tapi, data 2009 menyatakan jumlah mahasiswa vokasi di Indonesia baru17,2%.

Data Ditjen Dikti menunjukkan, ada 1.357 akademi, 2.508 sekolah tinggi, 255 politeknik, dan 124 institut. Artinya, mayoritas perguruan tinggi di Indonesia bergerak di bidang vokasi. Tetapi, jumlah program studi (prodi) vokasi hanya 20% dari total prodi yang ada.

Neneng zubaidah
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6344 seconds (0.1#10.140)