Dana Aspirasi DPR Berorientasi Program
A
A
A
JAKARTA - Dana sebesar Rp20 miliar untuk tiap anggota nantinya bukan dikelola DPR, melainkan pemerintah. Dana tersebut lebih diorientasikan melalui program yang diusulkan para wakil rakyat.
Informasi yang diterima publik seolah dana aspirasi itu berbentuk anggaran yang dipegang masing-masing anggota DPR sehingga rawan menjadi bancakan untuk dikorupsi. Padahal, yang sebenarnya DPR tetap hanyalah penyalur aspirasi yang anggarannya tetap berada di bawah kendali eksekutif.
”Namanya UP2DP (Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan). Orientasinya program, bukan dana,” kata anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hendrawan Supratikno kepada KORAN SINDOkemarin. Hendrawan menegaskan, memperjuangkan aspirasi konstituen di daerah pemilihan (dapil) adalah amanat yang tertuang dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Tanpa adanya dana aspirasi, kata dia, tentu tidak semua anggota DPR bisa memperjuangkan aspirasi tersebut.
Sebab tidak semua komisi dan alat kelengkapan Dewan (AKD) bersentuhan langsung dengan isu riil yang dihadapi masyarakat. Ketua DPP PDIP Bidang Perekonomian ini meyakini dengan adanya UP2DP nanti DPR tidak hanya memperjuangkan aspirasi, tetapi juga memastikan program yang diusulkan benar-benar tepat sasaran dan efektif. ”Tata kelolanya dibuat transparan dan akuntabel. Tujuannya meningkatkan efisiensi dan debirokratisasi pengusulan dan realisasi aspirasi masyarakat,” ucapnya.
Hendrawan pun meyakini, bila program ini jalan akan semakin mempercepat pembangunan di daerah. Menurut dia, kebiasaan eksekutif untuk ”mengabadikan” proyek kongkalikong seperti proyek trotoar, pembatas jalan, dan lainnya akan terkoreksi karena nanti akan dilihat berdasarkan urgensi dan kebutuhan masyarakat di daerah. ”Jadi pasti akan lebih bagus dan efisien, tidak ada lagi proyek yang diulang-ulang terus setiap tahun anggaran. Itu bisa diminimalisasi,” tegasnya.
Seperti diketahui, usulan dana aspirasi DPR dengan nomenklatur Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan akan dimasukkan dalam RAPBN 2016 dengan anggaran per anggota DPR bisa memperjuangkan aspirasi program hingga anggaran Rp20 miliar per tahun. Wacana tersebut sebenarnya sudah muncul sejak DPR periode 2009–2014 lalu, tetapi mentah karena mendapat penolakan kuat dari publik. Selain itu, pada DPR periode lalu payung hukumnya belum jelas.
Sementara dalam UU MD3 sekarang ini hal itu sudah diatur meskipun tidak secara terperinci. Untuk aturan main usulan tersebut, saat ini DPR tengah menyusunnya, termasuk dalam hal bagaimana tahapan menyampaikan aspirasi hingga usulan tersebut direalisasi. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah kembali menjelaskan pentingnya dana aspirasi senilai Rp20 miliar.
Fahri mengakui pada periode 2009–2014, usulan tersebut mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Namun usulan yang bagus itu tidak lantas akan kembali mentah lantaran memang sangat bagus untuk mempercepat pembangunan.”Dulu kan salah paham, ini kan uang untuk publik. Ini bukan uang DPR,” kata Fahri. Dia menjelaskan, selama ini uang untuk rakyat sulit dicairkan karena harus melewati musrembang desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan pusat. Saat ini, menurut dia, DPR ingin memperpendek jalur birokrasi.
”Kalau jembatan rusak difoto untuk disegerakan. Jadi kalau ada masalah itu cepat, enggak lama. Jalan rusak, korbannya berapa. Indonesia melakukan desentralisasi karena sekarang ada langsung ke desa. Putar perekonomian di daerah,” ujarnya. Sementara itu, Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi mengatakan, pengajuan dana aspirasi sebanyak Rp15 miliar–20 miliar rawan menjadi politik transaksional antara DPR dengan pemerintah. Untuk itu, dia menyarankan Presiden Joko Widodo untuk menolak usulan tersebut.
”Jangan sampai bentuk transaksional melekat kepada Presiden Jokowi dengan menyetujui dana aspirasi masuk dalam APBN untuk kepentingan situasi politiknya,” katanya. Selain itu, menurut dia, usulan ini menjebak pemerintahan karena jika ada korupsi, DPR bisa cuci tangan. Sebab anggaran tersebut nanti dikelola atau dieksekusi pemerintah daerah dan kementerian terkait. Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Idil Akbar mengatakan permintaan dana tersebut dinilai tidak masuk akal.
”Dengan permintaan anggaran Rp20 miliar per tahun menurut saya itu permintaan yang lebay,” ujar dia. Idil mengatakan, dana aspirasi memang dibutuhkan masyarakat daerah, tetapi tidak dilakukan DPR. Menurutnya, kapasitas mengeksekusi dana untuk daerah cukup dilakukan pemerintah. ”Mereka berwenang menyerap dan menyuarakan aspirasi, bukan mengeksekusi kebijakan,” jelasnya.
Dia tak menjamin dana aspirasi bisa disalurkan sebagaimana mestinya jika dilakukan anggota Dewan. Bahkan, dia khawatir uang puluhan miliar tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada publik.
”Karena itu saya menduga ini hanyalah satu trik politik gentong babi di mana DPR ingin ibarat Sinterklas yang membawa uang banyak dan bisa menyelesaikan segenap masalah dengan sekejap. Dengan begitu mereka bisa membangun citra diri sebagai ‘penolong’ di dapil masingmasing,” pungkasnya.
Rahmat sahid
Informasi yang diterima publik seolah dana aspirasi itu berbentuk anggaran yang dipegang masing-masing anggota DPR sehingga rawan menjadi bancakan untuk dikorupsi. Padahal, yang sebenarnya DPR tetap hanyalah penyalur aspirasi yang anggarannya tetap berada di bawah kendali eksekutif.
”Namanya UP2DP (Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan). Orientasinya program, bukan dana,” kata anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hendrawan Supratikno kepada KORAN SINDOkemarin. Hendrawan menegaskan, memperjuangkan aspirasi konstituen di daerah pemilihan (dapil) adalah amanat yang tertuang dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Tanpa adanya dana aspirasi, kata dia, tentu tidak semua anggota DPR bisa memperjuangkan aspirasi tersebut.
Sebab tidak semua komisi dan alat kelengkapan Dewan (AKD) bersentuhan langsung dengan isu riil yang dihadapi masyarakat. Ketua DPP PDIP Bidang Perekonomian ini meyakini dengan adanya UP2DP nanti DPR tidak hanya memperjuangkan aspirasi, tetapi juga memastikan program yang diusulkan benar-benar tepat sasaran dan efektif. ”Tata kelolanya dibuat transparan dan akuntabel. Tujuannya meningkatkan efisiensi dan debirokratisasi pengusulan dan realisasi aspirasi masyarakat,” ucapnya.
Hendrawan pun meyakini, bila program ini jalan akan semakin mempercepat pembangunan di daerah. Menurut dia, kebiasaan eksekutif untuk ”mengabadikan” proyek kongkalikong seperti proyek trotoar, pembatas jalan, dan lainnya akan terkoreksi karena nanti akan dilihat berdasarkan urgensi dan kebutuhan masyarakat di daerah. ”Jadi pasti akan lebih bagus dan efisien, tidak ada lagi proyek yang diulang-ulang terus setiap tahun anggaran. Itu bisa diminimalisasi,” tegasnya.
Seperti diketahui, usulan dana aspirasi DPR dengan nomenklatur Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan akan dimasukkan dalam RAPBN 2016 dengan anggaran per anggota DPR bisa memperjuangkan aspirasi program hingga anggaran Rp20 miliar per tahun. Wacana tersebut sebenarnya sudah muncul sejak DPR periode 2009–2014 lalu, tetapi mentah karena mendapat penolakan kuat dari publik. Selain itu, pada DPR periode lalu payung hukumnya belum jelas.
Sementara dalam UU MD3 sekarang ini hal itu sudah diatur meskipun tidak secara terperinci. Untuk aturan main usulan tersebut, saat ini DPR tengah menyusunnya, termasuk dalam hal bagaimana tahapan menyampaikan aspirasi hingga usulan tersebut direalisasi. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah kembali menjelaskan pentingnya dana aspirasi senilai Rp20 miliar.
Fahri mengakui pada periode 2009–2014, usulan tersebut mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Namun usulan yang bagus itu tidak lantas akan kembali mentah lantaran memang sangat bagus untuk mempercepat pembangunan.”Dulu kan salah paham, ini kan uang untuk publik. Ini bukan uang DPR,” kata Fahri. Dia menjelaskan, selama ini uang untuk rakyat sulit dicairkan karena harus melewati musrembang desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan pusat. Saat ini, menurut dia, DPR ingin memperpendek jalur birokrasi.
”Kalau jembatan rusak difoto untuk disegerakan. Jadi kalau ada masalah itu cepat, enggak lama. Jalan rusak, korbannya berapa. Indonesia melakukan desentralisasi karena sekarang ada langsung ke desa. Putar perekonomian di daerah,” ujarnya. Sementara itu, Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi mengatakan, pengajuan dana aspirasi sebanyak Rp15 miliar–20 miliar rawan menjadi politik transaksional antara DPR dengan pemerintah. Untuk itu, dia menyarankan Presiden Joko Widodo untuk menolak usulan tersebut.
”Jangan sampai bentuk transaksional melekat kepada Presiden Jokowi dengan menyetujui dana aspirasi masuk dalam APBN untuk kepentingan situasi politiknya,” katanya. Selain itu, menurut dia, usulan ini menjebak pemerintahan karena jika ada korupsi, DPR bisa cuci tangan. Sebab anggaran tersebut nanti dikelola atau dieksekusi pemerintah daerah dan kementerian terkait. Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Idil Akbar mengatakan permintaan dana tersebut dinilai tidak masuk akal.
”Dengan permintaan anggaran Rp20 miliar per tahun menurut saya itu permintaan yang lebay,” ujar dia. Idil mengatakan, dana aspirasi memang dibutuhkan masyarakat daerah, tetapi tidak dilakukan DPR. Menurutnya, kapasitas mengeksekusi dana untuk daerah cukup dilakukan pemerintah. ”Mereka berwenang menyerap dan menyuarakan aspirasi, bukan mengeksekusi kebijakan,” jelasnya.
Dia tak menjamin dana aspirasi bisa disalurkan sebagaimana mestinya jika dilakukan anggota Dewan. Bahkan, dia khawatir uang puluhan miliar tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada publik.
”Karena itu saya menduga ini hanyalah satu trik politik gentong babi di mana DPR ingin ibarat Sinterklas yang membawa uang banyak dan bisa menyelesaikan segenap masalah dengan sekejap. Dengan begitu mereka bisa membangun citra diri sebagai ‘penolong’ di dapil masingmasing,” pungkasnya.
Rahmat sahid
(ars)