Whats in a Name?
A
A
A
”What’s in a name? That which we call a rose, by any other name would smell as sweet.” (Apalah arti sebuah nama? Sesuatu yang kita sebut mawar, akan sama wanginya walaupun kita menyebutnya dengan nama lain).
Itulah kata-kata mutiara dari William Shakespeare, seniman, penyair, dan penulis Inggris paling kondang dari abad XVI-XVII (1564-1616). Memang benar. Bahasa-bahasa di Eropa menyebut salah satu bunga yang merah wangi itu dengan istilah yang miripmirip seperti rosa (Latin), rose (Inggris), roze (Jerman), atau rosza (Hongaria), padahal di Indonesia disebut mawar. Beda sekali. Tapi keindahan warnanya dan semerbak wanginya tetap sama. Karena itu, menurut Shakespeare, nama tidak penting.
Yang penting adalah sifat atau kualitas dari hal yang menyandang nama itu sendiri. Matahari (Indonesia) tetap bersinar di siang hari walau dia disebut dengan sun (Inggris), zon (Belanda) atau srengenge (Jawa). Bulan (Indonesia) pun tetap penjaga malam meski namanya (dalam bahasa Latin) mensis, mjesee (Kroasia) atau mase (Bengali). Tapi benarkah ungkapan kata mutiara Shakespeare itu? Rasulullah memiliki seekor unta yang diberi nama Qaswa , ada juga keledai yang diberi nama YaYafur.
Beliau juga memiliki dua ekor kuda, seekor diberinya nama Al-Murtajiz dan yang lain diberi nama As-Sakbu yang berarti ”jago berlari”. Selain kepada benda hidup, Rasulullah juga memberi nama kepada benda mati miliknya seperti mangkuk minum/cawan yang diberinya nama Ar-Rayyan dan Al-Gharra untuk mangkuk makan. Sebuah tas anyaman yang dibawa untuk menyimpan makanan maupun benda-benda kecil (kalau zaman sekarang termasuk untuk menyimpan laptop juga) saat berdakwah ataupun saat berperang diberinya nama Al-Kafur .
Ada dua perkara yang menyebabkan orang senang memberi nama kepada apa saja. Yang pertama adalah untuk membedakan objek yang satu dengan yang lain dan yang kedua untuk memberi makna pribadi kita (manusia) sendiri kepada objek yang menjadi milik kita atau dekat dengan diri kita. Jadi kalau si bungsu Pipit punya kucing yang dinamainya si Cipuy, misalnya, nama itu adalah untuk membedakan kucing kesayangannya dari kucing-kucing yang lain (aslinya kucing itu disapa dengan panggilan si Pus , tetapi oleh Pipit yang masih berumur 3 tahun dilafalkan Cipuy , maka kucing itu dipanggil dengan Cipuy oleh seisi rumah).
Seluruh keluarga sayang sama Cipuy. Nama itu mewakili makna kasih sayang dari seluruh keluarga kepada kucing yang satu itu. Ketika Cipuy meninggal (bukan mati), si bungsu Pipit. yang setiap malam bobok sama Cipuy menangis seharian saking sedihnya. Demikian pula dengan Rasulullah.
Beliau selalu makan dengan mangkuk Al-Gharra dan minum dari cawan Ar-Rayyan. Ke mana-mana membawa tas Al-Kafur dan mengendarai kuda As-Sakbu atau unta Qaswa dan seterusnya. Kalau salah satu hewan atau benda kesayangannya mati atau hilang, pastilah beliau akan berduka karena Rasul juga manusia biasa, sama seperti Pipit.
*** Manusia adalah makhluk makna. Jadi setiap hal diberi maknaolehmanusia. Maknabisa berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain sehingga nama yang diberikan pun berbeda- beda. Kita memberi nama kepada anak yang kedua misalnya Dwi atau Adik, tentu beda dari nama anak pertama (Eko, PratamaatauKakak), begitupula dengan yang ketiga dan seterusnya. Di Bali bahkan ada nama baku untuk urutan kelahiran, yaitu dari sulung sampai anak keempat: Wayan, Made, Nyoman dan Ketut.
Kalau misalnya seorang kakek lupa pada nama cucu-cucunya yang banyak, kakek itu akan bingung sendiri untuk membedakan cucu yang stu dari cucu yang lain. Tapi nama bisa juga untuk mendegradasi (menurunkan) tingkat makna. Ketika saya dan beberapa pakar dari UI berada di Kalimantan Barat pada 1999 untuk mempelajari konflik antaretnik di sana, kami menemukan bahwa orang-orang Madura lokal menyebut etnik Dayak sebagai Kafir dan etnik Melayu sebagai Kerupuk.
Demikian pula di Ambon, pada tahun yang sama, dalam rangka mempelajari konflik antaragama di pulau itu, kami (tim peneliti yang sama) menemukan bahwa kelompok muslim lokal menyebut kelompok Kristen dengan Obet (dari nama Robert yang diplesetkan), sebaliknya kaum Kristen lokal menyebut yang muslim dengan Acan (dari Hasan).
Obet dan Acan bukan lagi nama-nama manusia, tetapi nama-nama benda atau hal yang buruk dan busuk sehingga patut dibuang atau dimusnahkan. Demikian juga halnya dengan Kafir dan Kerupuk di kalangan orang Madura Kalbar. Mereka tidak mau meninggikan makna dari orang-orang yang tidak mereka sukai. Sementara orang lain pada umumnya (termasuk Rasulullah yang menjadi teladan setiap muslim dan Pipit yang balita atau mungkin semua pembaca dan saya) justru memberi nama kepada hal-hal yang bukan-orang seakan- akan hal-hal tersebut adalah manusia juga sehingga layak kita cintai, sayangi, atau kita pelihara baik-baik.
*** Di dalam ilmu linguistik (ilmu tentang bahasa) ada yang namanya denotasi dan konotasi. Denotasi adalah makna yang sesungguhnya dari suatu kata. Misalnya mawar adalah bunga indah, biasanya berwarna merah dan berbau harum. Adapun konotasi adalah makna di balik sebuah kata. Maka kata mawar mempunyai konotasi yang indah- indah dan cantik-cantik sehingga seorang pemuda menyatakan cintanya kepada seorang gadis yang secantik mawar di hatinya dengan menyampaikan sekuntum mawar merah.
Tapi kerupuk yang denotasinya adalah makanan yang renyah terbuat dari udang atau ikan di kalangan Madura Kalbar (tidak berlaku untuk Madura lain, apalagi non-Madura) berkonotasi benda empuk yang gampang dan tidak melawan kalau diremukkan. Jadi masih berlakukah kata-kata mutiara Shakespeare whatwhats in a name
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Itulah kata-kata mutiara dari William Shakespeare, seniman, penyair, dan penulis Inggris paling kondang dari abad XVI-XVII (1564-1616). Memang benar. Bahasa-bahasa di Eropa menyebut salah satu bunga yang merah wangi itu dengan istilah yang miripmirip seperti rosa (Latin), rose (Inggris), roze (Jerman), atau rosza (Hongaria), padahal di Indonesia disebut mawar. Beda sekali. Tapi keindahan warnanya dan semerbak wanginya tetap sama. Karena itu, menurut Shakespeare, nama tidak penting.
Yang penting adalah sifat atau kualitas dari hal yang menyandang nama itu sendiri. Matahari (Indonesia) tetap bersinar di siang hari walau dia disebut dengan sun (Inggris), zon (Belanda) atau srengenge (Jawa). Bulan (Indonesia) pun tetap penjaga malam meski namanya (dalam bahasa Latin) mensis, mjesee (Kroasia) atau mase (Bengali). Tapi benarkah ungkapan kata mutiara Shakespeare itu? Rasulullah memiliki seekor unta yang diberi nama Qaswa , ada juga keledai yang diberi nama YaYafur.
Beliau juga memiliki dua ekor kuda, seekor diberinya nama Al-Murtajiz dan yang lain diberi nama As-Sakbu yang berarti ”jago berlari”. Selain kepada benda hidup, Rasulullah juga memberi nama kepada benda mati miliknya seperti mangkuk minum/cawan yang diberinya nama Ar-Rayyan dan Al-Gharra untuk mangkuk makan. Sebuah tas anyaman yang dibawa untuk menyimpan makanan maupun benda-benda kecil (kalau zaman sekarang termasuk untuk menyimpan laptop juga) saat berdakwah ataupun saat berperang diberinya nama Al-Kafur .
Ada dua perkara yang menyebabkan orang senang memberi nama kepada apa saja. Yang pertama adalah untuk membedakan objek yang satu dengan yang lain dan yang kedua untuk memberi makna pribadi kita (manusia) sendiri kepada objek yang menjadi milik kita atau dekat dengan diri kita. Jadi kalau si bungsu Pipit punya kucing yang dinamainya si Cipuy, misalnya, nama itu adalah untuk membedakan kucing kesayangannya dari kucing-kucing yang lain (aslinya kucing itu disapa dengan panggilan si Pus , tetapi oleh Pipit yang masih berumur 3 tahun dilafalkan Cipuy , maka kucing itu dipanggil dengan Cipuy oleh seisi rumah).
Seluruh keluarga sayang sama Cipuy. Nama itu mewakili makna kasih sayang dari seluruh keluarga kepada kucing yang satu itu. Ketika Cipuy meninggal (bukan mati), si bungsu Pipit. yang setiap malam bobok sama Cipuy menangis seharian saking sedihnya. Demikian pula dengan Rasulullah.
Beliau selalu makan dengan mangkuk Al-Gharra dan minum dari cawan Ar-Rayyan. Ke mana-mana membawa tas Al-Kafur dan mengendarai kuda As-Sakbu atau unta Qaswa dan seterusnya. Kalau salah satu hewan atau benda kesayangannya mati atau hilang, pastilah beliau akan berduka karena Rasul juga manusia biasa, sama seperti Pipit.
*** Manusia adalah makhluk makna. Jadi setiap hal diberi maknaolehmanusia. Maknabisa berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain sehingga nama yang diberikan pun berbeda- beda. Kita memberi nama kepada anak yang kedua misalnya Dwi atau Adik, tentu beda dari nama anak pertama (Eko, PratamaatauKakak), begitupula dengan yang ketiga dan seterusnya. Di Bali bahkan ada nama baku untuk urutan kelahiran, yaitu dari sulung sampai anak keempat: Wayan, Made, Nyoman dan Ketut.
Kalau misalnya seorang kakek lupa pada nama cucu-cucunya yang banyak, kakek itu akan bingung sendiri untuk membedakan cucu yang stu dari cucu yang lain. Tapi nama bisa juga untuk mendegradasi (menurunkan) tingkat makna. Ketika saya dan beberapa pakar dari UI berada di Kalimantan Barat pada 1999 untuk mempelajari konflik antaretnik di sana, kami menemukan bahwa orang-orang Madura lokal menyebut etnik Dayak sebagai Kafir dan etnik Melayu sebagai Kerupuk.
Demikian pula di Ambon, pada tahun yang sama, dalam rangka mempelajari konflik antaragama di pulau itu, kami (tim peneliti yang sama) menemukan bahwa kelompok muslim lokal menyebut kelompok Kristen dengan Obet (dari nama Robert yang diplesetkan), sebaliknya kaum Kristen lokal menyebut yang muslim dengan Acan (dari Hasan).
Obet dan Acan bukan lagi nama-nama manusia, tetapi nama-nama benda atau hal yang buruk dan busuk sehingga patut dibuang atau dimusnahkan. Demikian juga halnya dengan Kafir dan Kerupuk di kalangan orang Madura Kalbar. Mereka tidak mau meninggikan makna dari orang-orang yang tidak mereka sukai. Sementara orang lain pada umumnya (termasuk Rasulullah yang menjadi teladan setiap muslim dan Pipit yang balita atau mungkin semua pembaca dan saya) justru memberi nama kepada hal-hal yang bukan-orang seakan- akan hal-hal tersebut adalah manusia juga sehingga layak kita cintai, sayangi, atau kita pelihara baik-baik.
*** Di dalam ilmu linguistik (ilmu tentang bahasa) ada yang namanya denotasi dan konotasi. Denotasi adalah makna yang sesungguhnya dari suatu kata. Misalnya mawar adalah bunga indah, biasanya berwarna merah dan berbau harum. Adapun konotasi adalah makna di balik sebuah kata. Maka kata mawar mempunyai konotasi yang indah- indah dan cantik-cantik sehingga seorang pemuda menyatakan cintanya kepada seorang gadis yang secantik mawar di hatinya dengan menyampaikan sekuntum mawar merah.
Tapi kerupuk yang denotasinya adalah makanan yang renyah terbuat dari udang atau ikan di kalangan Madura Kalbar (tidak berlaku untuk Madura lain, apalagi non-Madura) berkonotasi benda empuk yang gampang dan tidak melawan kalau diremukkan. Jadi masih berlakukah kata-kata mutiara Shakespeare whatwhats in a name
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(ars)