KPK Temukan Potensi Korupsi Dana Desa
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan potensi korupsi pengelolaan dan alokasi dana desa tahun anggaran 2015.
Hal itu tertuang dalam hasil kajian sistem terhadap pengelolaan keuangan desa, baik alokasi dana desa (ADD) maupun dana desa (DD), yang dilakukan KPK sejak 2014. Seluruh isi kajian dipaparkan dan diskusikan KPK dengan jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dipimpin Wamenkeu Mardiasmo, jajaran Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemdes PDTT), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di Gedung KPK, Jakarta, kemarin.
Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi Sapto Pribowo menyatakan, ada 14 temuan potensi persoalan pengelolaan dana desa di lapangan. Potensi tersebut bila tidak diperbaiki maka akan memunculkan korupsi. Terutama bila dilihat dari hasil kajian berkaitan dengan pengawasan. ”Makanya kita cari solusinya. Ini temuan kita di lapangan. Kalau pengawasan itu tidak efektif, maka bisa timbul korupsi. Ini yang diamati oleh KPK,” kata Johan di Jakarta tadi malam.
Dari sisi pengawasan itu, KPK menemukan pengelolaan dana keuangan daerah oleh inspektorat daerah yang kurang efektif. Potensi korupsi bisa terjadi karena dalam pelaksanaan dan pengelolaan dana desa tidak jelas mengatur bagaimana cara, mekanisme, dan proses pengaduan masyarakat.
KPK mempertanyakan bila masyarakat ingin mengadu, ke mana saluran pengaduannya. ”Apakah ke perangkat desa atau ke mana? Itu yang mau kita selesaikan. Pelaksanaan UU Desa ini kan belum sepenuhnya,” ujarnya. Mantan deputi pencegahan KPKini menyampaikan, potensi penyelewengan penggunaan dana desa bisa terjadi di tingkat desa.
Apalagi, pengawasan dan akuntabilitasnya masih dipertanyakan. Sebagai contoh, menurut Johan, ada desa yang membutuhkan pembangunan jalan, tapi dana desanya dipakai untuk beli mobil kepala desa. ”Makanya antisipasi jangan sampai ada terjadi seperti itu,” paparnya.
Johan kemudian membeberkan, 12 temuan potensi persoalan pengelolaan dana desa selain lemahnya pengawasan dan belum adanya saluran pengaduan masyarakat. Poin utama dan paling krusial adalah berkaitan dengan regulasi dan kelembagaan.
Di lapangan, KPK menemukan ada beberapa regulasi yang tidak lengkap baik itu dari sisi regulasi itu sendiri, teknis, dan petunjuk teknis pelaksanaannya. Misalnya, pertanggungjawaban terhadap dana bergulir PNPM. Kemudian, bagaimana mekanisme pengangkatan pendamping dari PNMP di tingkat lapangan. ”Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat regulasi yang tumpang tindih,” ujarnya.
Dari sisi regulasi, KPK juga menemukan tumpang tindih kewenangan antara Kemendes dengan Kemendagri. Di antaranya dalam konteks pembinaan dan pengembangan desa. Dalam diskusi kemarin, kata Johan, sempat mengemuka jika Kemendgari itu kaitannya dengan pemerintahan, sedangkan Kemendes berkaitan pembangunan dan pemberdayaannya.
”Itu yang perlu dikoordinasikan dan disinkronkan. Apa yang mesti dilakukan? Dari sisi regulasi misalnya, oh ada yang harus diperbaiki, sekarang ada (rencana) perbaikan PP 43/2014 karena kurang berkeadilan. Ini yang perlu dicari solusinya,” ungkap Johan.
Potensi persoalan berikutnya adalah monitoring dan evaluasi pelaksanaan ini. Selanjutnya, persoalan formula pembagian dana desa. Mengacu pada Perpres 36/2015, menurut Johan, ditemukan adanya aspek yang belum baku yang diatur dalam perpres itu.
Menurut KPK, kata Johan, jangan sampai pembagian dana desa ini hanya melihat aspek pemerataan belaka, semua desa disamaratakan. Padahal, kebutuhan desa satu dengan desa lain itu bisa berbeda. Baik dari sisi geografi, luas desa, maupun dari sisi masing-masing kebutuhan desa. ”Itu kan tidak bisa disamaratakan. Belum lagi bagaimana kesiapan desa-desa. Di antara desa di Kalimantan dengan desa di Jawa dengan di Sumatera, kemudian Papua, itu kan bisa berbeda-beda kebutuhan dan tingkat besarannya,” paparnya.
Johan melanjutkan, temuan berikutnya terkait penghasilan tetap bagi perangkat desa. Wamenku Mardiasmo sempat menyinggung bahwa ada PP 43/2014 berkaitan dengan tanah bengkok atau penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa yang kini sedang disempurnakan. Masih juga ada potensi dalam tata laksana yang amburadul.
Seperti siklus penggunaan anggaran yang sulit dipatuhi oleh masing-masing desa. Yang lebih penting juga dalam konteks itu adalah urusan pengadaan barang dan jasa. ”Ini belum ada harga satuan, harga baku barang dan jasa yang akan dijadikan sebagai acuan oleh desa dalam menyusun APBDes. Kemudian, rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDes seperti apa masih belum clear di masingmasing desa,” ungkapnya.
Sistem akuntansi mana yang akan dipakai pun belum jelas. KPK merekomendasi sistemnya harus disempurnakan dan dikordinasikan antarkementerian. Potensi persoalan cukup krusial juga adalah masalah sumber daya manusia. ”Ini juga perlu ada pendampingan selain pengawasan. (Ada) potensi korupsi terutama di tingkat bawah,” jelasnya.
Hasil kajian ini akan dikontrol pelaksanaannya oleh KPK. Caranya disepakati pembuatan action plan atau rencana aksi. Berikutnya koordinasi lanjutan dengan disusun time line. KPK menyodorkan mana yang bisa dilakukan Kemendagri, Kemendes, BPKP, Kemenketu, pemda hingga ke desa.
Misalnya ada perubahan PP 43, maka selesainya kapan? Dari diskusi awal itu, menurut Johan, diperkirakan mungkin kesemrawutan ini bisa selesai sekitar satu atau dua tahun ke depan. ”Itu rencana aksinya. Karena ini menggunakan dana yang cukup besar di tingkat pusat, Rp20,7 triliun pada tahun 2015. Dan itu akan disalurkan ke 74.093 desa di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Wamenkeu Mardiasmo mengatakan, pemerintah memberikan apresiasi kepada KPK yang telahmemberikan mapping di lapangan dan potensi permasalahan pengelolaan alokasi dana desa. Dia menuturkan, secara aturan sebenarnya sudah lengkap. Ditambah lagi saat ini sudah ada data base desa.
Dia menyatakan, untuk tahap pertama 2015 pengalokasian transfer dana desa sudah terjadi Rp20,766 triliun atau 40% dari dana keseluruhan. ”Kalau menurut aturan kan tiga kali, 40, 40, dan 20%. Sebanyak 40% pertama sudah terealisasi sekitar 35% jadi kurang 5%. Itu karena bupati belum membuat aturan alokasi per desanya. Kami sudah menunggu pembuatan surat dan PDT bantu ingatkan bupati tersebut,” jelas Mardiasmo.
Transfer daerah itu nanti alokasi oleh pemerintah daerah melalui bupati masing-masing akan melanjutkannya ke desa. Dari temuan Kemenkeu, memang ada bupati yang belum meneruskan dana tersebut hinggatujuhhari pascaditransfer Kemenkeu. Mardiasmo mengakui, PP 43 akan direvisi secepatnya.
Sabir laluhu
Hal itu tertuang dalam hasil kajian sistem terhadap pengelolaan keuangan desa, baik alokasi dana desa (ADD) maupun dana desa (DD), yang dilakukan KPK sejak 2014. Seluruh isi kajian dipaparkan dan diskusikan KPK dengan jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dipimpin Wamenkeu Mardiasmo, jajaran Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemdes PDTT), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di Gedung KPK, Jakarta, kemarin.
Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi Sapto Pribowo menyatakan, ada 14 temuan potensi persoalan pengelolaan dana desa di lapangan. Potensi tersebut bila tidak diperbaiki maka akan memunculkan korupsi. Terutama bila dilihat dari hasil kajian berkaitan dengan pengawasan. ”Makanya kita cari solusinya. Ini temuan kita di lapangan. Kalau pengawasan itu tidak efektif, maka bisa timbul korupsi. Ini yang diamati oleh KPK,” kata Johan di Jakarta tadi malam.
Dari sisi pengawasan itu, KPK menemukan pengelolaan dana keuangan daerah oleh inspektorat daerah yang kurang efektif. Potensi korupsi bisa terjadi karena dalam pelaksanaan dan pengelolaan dana desa tidak jelas mengatur bagaimana cara, mekanisme, dan proses pengaduan masyarakat.
KPK mempertanyakan bila masyarakat ingin mengadu, ke mana saluran pengaduannya. ”Apakah ke perangkat desa atau ke mana? Itu yang mau kita selesaikan. Pelaksanaan UU Desa ini kan belum sepenuhnya,” ujarnya. Mantan deputi pencegahan KPKini menyampaikan, potensi penyelewengan penggunaan dana desa bisa terjadi di tingkat desa.
Apalagi, pengawasan dan akuntabilitasnya masih dipertanyakan. Sebagai contoh, menurut Johan, ada desa yang membutuhkan pembangunan jalan, tapi dana desanya dipakai untuk beli mobil kepala desa. ”Makanya antisipasi jangan sampai ada terjadi seperti itu,” paparnya.
Johan kemudian membeberkan, 12 temuan potensi persoalan pengelolaan dana desa selain lemahnya pengawasan dan belum adanya saluran pengaduan masyarakat. Poin utama dan paling krusial adalah berkaitan dengan regulasi dan kelembagaan.
Di lapangan, KPK menemukan ada beberapa regulasi yang tidak lengkap baik itu dari sisi regulasi itu sendiri, teknis, dan petunjuk teknis pelaksanaannya. Misalnya, pertanggungjawaban terhadap dana bergulir PNPM. Kemudian, bagaimana mekanisme pengangkatan pendamping dari PNMP di tingkat lapangan. ”Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat regulasi yang tumpang tindih,” ujarnya.
Dari sisi regulasi, KPK juga menemukan tumpang tindih kewenangan antara Kemendes dengan Kemendagri. Di antaranya dalam konteks pembinaan dan pengembangan desa. Dalam diskusi kemarin, kata Johan, sempat mengemuka jika Kemendgari itu kaitannya dengan pemerintahan, sedangkan Kemendes berkaitan pembangunan dan pemberdayaannya.
”Itu yang perlu dikoordinasikan dan disinkronkan. Apa yang mesti dilakukan? Dari sisi regulasi misalnya, oh ada yang harus diperbaiki, sekarang ada (rencana) perbaikan PP 43/2014 karena kurang berkeadilan. Ini yang perlu dicari solusinya,” ungkap Johan.
Potensi persoalan berikutnya adalah monitoring dan evaluasi pelaksanaan ini. Selanjutnya, persoalan formula pembagian dana desa. Mengacu pada Perpres 36/2015, menurut Johan, ditemukan adanya aspek yang belum baku yang diatur dalam perpres itu.
Menurut KPK, kata Johan, jangan sampai pembagian dana desa ini hanya melihat aspek pemerataan belaka, semua desa disamaratakan. Padahal, kebutuhan desa satu dengan desa lain itu bisa berbeda. Baik dari sisi geografi, luas desa, maupun dari sisi masing-masing kebutuhan desa. ”Itu kan tidak bisa disamaratakan. Belum lagi bagaimana kesiapan desa-desa. Di antara desa di Kalimantan dengan desa di Jawa dengan di Sumatera, kemudian Papua, itu kan bisa berbeda-beda kebutuhan dan tingkat besarannya,” paparnya.
Johan melanjutkan, temuan berikutnya terkait penghasilan tetap bagi perangkat desa. Wamenku Mardiasmo sempat menyinggung bahwa ada PP 43/2014 berkaitan dengan tanah bengkok atau penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa yang kini sedang disempurnakan. Masih juga ada potensi dalam tata laksana yang amburadul.
Seperti siklus penggunaan anggaran yang sulit dipatuhi oleh masing-masing desa. Yang lebih penting juga dalam konteks itu adalah urusan pengadaan barang dan jasa. ”Ini belum ada harga satuan, harga baku barang dan jasa yang akan dijadikan sebagai acuan oleh desa dalam menyusun APBDes. Kemudian, rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDes seperti apa masih belum clear di masingmasing desa,” ungkapnya.
Sistem akuntansi mana yang akan dipakai pun belum jelas. KPK merekomendasi sistemnya harus disempurnakan dan dikordinasikan antarkementerian. Potensi persoalan cukup krusial juga adalah masalah sumber daya manusia. ”Ini juga perlu ada pendampingan selain pengawasan. (Ada) potensi korupsi terutama di tingkat bawah,” jelasnya.
Hasil kajian ini akan dikontrol pelaksanaannya oleh KPK. Caranya disepakati pembuatan action plan atau rencana aksi. Berikutnya koordinasi lanjutan dengan disusun time line. KPK menyodorkan mana yang bisa dilakukan Kemendagri, Kemendes, BPKP, Kemenketu, pemda hingga ke desa.
Misalnya ada perubahan PP 43, maka selesainya kapan? Dari diskusi awal itu, menurut Johan, diperkirakan mungkin kesemrawutan ini bisa selesai sekitar satu atau dua tahun ke depan. ”Itu rencana aksinya. Karena ini menggunakan dana yang cukup besar di tingkat pusat, Rp20,7 triliun pada tahun 2015. Dan itu akan disalurkan ke 74.093 desa di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Wamenkeu Mardiasmo mengatakan, pemerintah memberikan apresiasi kepada KPK yang telahmemberikan mapping di lapangan dan potensi permasalahan pengelolaan alokasi dana desa. Dia menuturkan, secara aturan sebenarnya sudah lengkap. Ditambah lagi saat ini sudah ada data base desa.
Dia menyatakan, untuk tahap pertama 2015 pengalokasian transfer dana desa sudah terjadi Rp20,766 triliun atau 40% dari dana keseluruhan. ”Kalau menurut aturan kan tiga kali, 40, 40, dan 20%. Sebanyak 40% pertama sudah terealisasi sekitar 35% jadi kurang 5%. Itu karena bupati belum membuat aturan alokasi per desanya. Kami sudah menunggu pembuatan surat dan PDT bantu ingatkan bupati tersebut,” jelas Mardiasmo.
Transfer daerah itu nanti alokasi oleh pemerintah daerah melalui bupati masing-masing akan melanjutkannya ke desa. Dari temuan Kemenkeu, memang ada bupati yang belum meneruskan dana tersebut hinggatujuhhari pascaditransfer Kemenkeu. Mardiasmo mengakui, PP 43 akan direvisi secepatnya.
Sabir laluhu
(ftr)