DPR Libatkan KPK Bahas Aturan Dana Aspirasi
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan melibatkan penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan kejaksaan untuk ikut membahas aturan main dana aspirasi bagi semua anggota Dewan.
Dengan menggandeng penegak hukum, DPR ingin memastikan semua celah kemungkinan terjadinya kebocoran akan tertutup. Selain itu, dari segi efektivitas dan transparansi, dana itu juga lebih bisa dipertanggungjawabkan. ”Nanti kita gandeng KPK, kejaksaan, dan kepolisian untuk merampungkan aturan mainnya. Tidak ada anggota DPR yang boleh cawe-cawe,” kata anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Menurut Yandri, dana aspirasi yang diusulkan tersebut semata- mata untuk memperjuangkan aspirasi dari masingmasing dapil. Dana tersebut statusnya tidak melekat kepada anggota Dewan, tetapi hanya sebatas pagu yang baru bisa direalisasikan untuk pembangunan tertentu ketika aspirasi melalui anggota Dewan itu sudah disetujui berdasarkan mekanisme.
”Dana ini untuk menyerap aspirasi dari masyarakat di daerahnya. Seperti saya misalnya, selama ini mendapat banyak keluhan dari masyarakat Banten terkait kurangnya fasilitas di sana. Tapi saya ajukan ke wali kota tidak pernah ditanggapi,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Trimedya Panjaitan mengatakan memang harus diatur sedemikian rupa agar anggota DPR jangan memegang uang dari dana aspirasi dapil tersebut. ”Kalau memegang duitnya, celaka. Jadi cukup di pengusul program, karena itulah fungsi anggota Dewan dalam memperjuangkan aspirasi dapil,” katanya.
Dia pun setuju agar aturan main mengenai dana aspirasi dapil melibatkan penegak hukum. Dengan begitu, jelas seperti apa teknis serta penanggung jawabnya. Dia mengacu pada program dana bantuan sosial (bansos) pada era pemerintahan SBY, di mana akhirnya banyak pihak yang berkasus.
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan berharap apa yang kini sedang dibahas DPR terkait dengan usulan program pembangun daerah pemilihan tidak disikapi negatif, seolah anggota DPR nanti masing-masing mendapatkan anggaran Rp20 miliar dari APBN. Menurut Taufik, dana itu adalah dana yang tetap dikelola oleh eksekutif, tetapi pengalokasiannya memang berdasarkan aspirasi di tiap dapil.
”Jadi sama sekali anggota DPR tidak sentuh dana itu, dan juga tidak mengelolanya. Itu semata-mata untuk efektivitas pembangunan. Hanya perjuangkan aspirasi dari masyarakat di dapil,” katanya.
Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia Syamsuddin Alimsyah mengingatkan kalangan anggota DPR agar tidak terlalu euforia dengan dana aspirasi yang sudah diajukan dalam RAPBN 2016 itu, karena masih menyisakan sejumlah masalah yang bisa berimplikasi hukum di kemudian hari. ”Dana aspirasi itu kalau tidak hati-hati bisa menjadi jebakan bagi DPR sendiri. Dugaan praktik korupsi akan terbuka lebar,” ujar Syamsuddin.
Menurut dia, aturan di UU MD3 masih sangat umum sehingga DPR mau tidak mau harus menyiapkan aturan teknis dalam pengelolaannya. Selain itu, kata dia, masih terdapat beberapa persoalan serius yang harus dijawab DPR dalam rangka menjamin transparansi dan akuntabilitasnya.
Pertama, kata dia, soal mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Bagaimana menjamin bahwa pembangunan di daerah itu memang prioritas dan bukan sekadar titipan? ”Harus ada pertanggungjawaban yang menjelaskan bahwa program tersebut benar lahir di reses dan menjadi prioritas usulan masyarakat,” ungkapnya.
Kedua, karena mekanisme pengajuannya berupa program dapil maka akan menjadi problem pada pengajuan programnya termasuk lembaga atau kementerian yang akan dijadikan mitra. ”Apakah semua anggota akan bebas mengajukan program dan kepada kementerian mana saja. Bagaimana pengaturannya dan pengawasannya,” ujarnya.
Ketiga, tambah dia, masalah mekanisme eksekusi. Kerancuan bisa terjadi ada pada proses penempatan dan pengawasan pelaksanaan program. ”Kementerian bisa saja akan abai dalam menjaga kualitas pelaksanaan program karena menganggap bukan murni programnya yang bisa menilai kinerjanya,” ujarnya.
Rahmat sahid
Dengan menggandeng penegak hukum, DPR ingin memastikan semua celah kemungkinan terjadinya kebocoran akan tertutup. Selain itu, dari segi efektivitas dan transparansi, dana itu juga lebih bisa dipertanggungjawabkan. ”Nanti kita gandeng KPK, kejaksaan, dan kepolisian untuk merampungkan aturan mainnya. Tidak ada anggota DPR yang boleh cawe-cawe,” kata anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Menurut Yandri, dana aspirasi yang diusulkan tersebut semata- mata untuk memperjuangkan aspirasi dari masingmasing dapil. Dana tersebut statusnya tidak melekat kepada anggota Dewan, tetapi hanya sebatas pagu yang baru bisa direalisasikan untuk pembangunan tertentu ketika aspirasi melalui anggota Dewan itu sudah disetujui berdasarkan mekanisme.
”Dana ini untuk menyerap aspirasi dari masyarakat di daerahnya. Seperti saya misalnya, selama ini mendapat banyak keluhan dari masyarakat Banten terkait kurangnya fasilitas di sana. Tapi saya ajukan ke wali kota tidak pernah ditanggapi,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Trimedya Panjaitan mengatakan memang harus diatur sedemikian rupa agar anggota DPR jangan memegang uang dari dana aspirasi dapil tersebut. ”Kalau memegang duitnya, celaka. Jadi cukup di pengusul program, karena itulah fungsi anggota Dewan dalam memperjuangkan aspirasi dapil,” katanya.
Dia pun setuju agar aturan main mengenai dana aspirasi dapil melibatkan penegak hukum. Dengan begitu, jelas seperti apa teknis serta penanggung jawabnya. Dia mengacu pada program dana bantuan sosial (bansos) pada era pemerintahan SBY, di mana akhirnya banyak pihak yang berkasus.
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan berharap apa yang kini sedang dibahas DPR terkait dengan usulan program pembangun daerah pemilihan tidak disikapi negatif, seolah anggota DPR nanti masing-masing mendapatkan anggaran Rp20 miliar dari APBN. Menurut Taufik, dana itu adalah dana yang tetap dikelola oleh eksekutif, tetapi pengalokasiannya memang berdasarkan aspirasi di tiap dapil.
”Jadi sama sekali anggota DPR tidak sentuh dana itu, dan juga tidak mengelolanya. Itu semata-mata untuk efektivitas pembangunan. Hanya perjuangkan aspirasi dari masyarakat di dapil,” katanya.
Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia Syamsuddin Alimsyah mengingatkan kalangan anggota DPR agar tidak terlalu euforia dengan dana aspirasi yang sudah diajukan dalam RAPBN 2016 itu, karena masih menyisakan sejumlah masalah yang bisa berimplikasi hukum di kemudian hari. ”Dana aspirasi itu kalau tidak hati-hati bisa menjadi jebakan bagi DPR sendiri. Dugaan praktik korupsi akan terbuka lebar,” ujar Syamsuddin.
Menurut dia, aturan di UU MD3 masih sangat umum sehingga DPR mau tidak mau harus menyiapkan aturan teknis dalam pengelolaannya. Selain itu, kata dia, masih terdapat beberapa persoalan serius yang harus dijawab DPR dalam rangka menjamin transparansi dan akuntabilitasnya.
Pertama, kata dia, soal mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Bagaimana menjamin bahwa pembangunan di daerah itu memang prioritas dan bukan sekadar titipan? ”Harus ada pertanggungjawaban yang menjelaskan bahwa program tersebut benar lahir di reses dan menjadi prioritas usulan masyarakat,” ungkapnya.
Kedua, karena mekanisme pengajuannya berupa program dapil maka akan menjadi problem pada pengajuan programnya termasuk lembaga atau kementerian yang akan dijadikan mitra. ”Apakah semua anggota akan bebas mengajukan program dan kepada kementerian mana saja. Bagaimana pengaturannya dan pengawasannya,” ujarnya.
Ketiga, tambah dia, masalah mekanisme eksekusi. Kerancuan bisa terjadi ada pada proses penempatan dan pengawasan pelaksanaan program. ”Kementerian bisa saja akan abai dalam menjaga kualitas pelaksanaan program karena menganggap bukan murni programnya yang bisa menilai kinerjanya,” ujarnya.
Rahmat sahid
(ftr)