Membaca Harus Jadi Gerakan Nasional
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah harus membuat gerakan membaca nasional. Langkah ini dibutuhkan demi mendorong minat baca masyarakat.
Upaya parsial yang selama ini digulirkan sulit diharapkan menjadi solusi persoalan tersebut. Usulan demikian disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise dan pengamat Pendidikan Darmaningtyas. Menurut mereka, Indonesia bisa meniru sejumlah negara yang sukses menggenjot minat baca melalui program gerakan nasional.
”Di luar negeri itu, membaca sudah menjadi gerakan nasional mulai dari usia dini. Kalau di kita belum ada gerakan seperti itu,” ujar Yohana di Jakarta kemarin. Yohana menuturkan, di Australia ada program Bedtime Stories yang mengharuskan orang tua membacakan dongeng seperti Cinderella kepada anakanaknya sebelum tidur.
Walau anak belum bisa membaca, hanya dengan melihat gambar dan huruf itu sudah menjadi pengenalan linguistik kepada mereka. ”Dampaknya adalah hingga dewasa mereka akan gemar membaca buku apa pun. Ketika orang tua bepergian, oleholeh yang diminta oleh anakanaknya buku, bukan baju atau makanan,” tuturnya.
Bukan hanya Australia, negara seperti Zimbabwe ternyata tingkat literasinya jauh lebih maju dari Indonesia. Dia menuturkan, saat bertemu Ibu Negara Zimbabwe beberapa waktu lalu, terungkap bahwa Zimbabwe sudah melakukan gerakan nasional membaca sehingga angka buta huruf semakin berkurang dan budaya membaca meningkat.
Yohana juga mengusulkan pendidikan anak usia dini harus ditingkatkan dan jumlah guru harus diperbanyak. Dia berpikir, jika pendidikan bagi semua anak usia dini sudah diperhatikan maka semua anak Indonesia pasti akan pintar baca dan tulis. Kementerian PP dan PA pada peringatan Hari Anak Nasional Agustus nanti merencanakan akan membuat event 3 juta anak membaca serentak untuk menembus rekor Muri.
”Minat baca di Indonesia sangat kurang, padahal di negara maju sudah jadi program nasional. Saya yakin jika minat baca dikembangkan sejak usia dini maka mereka yang akan mengurangi angka buta huruf di Indonesia,” terangnya. Darmaningtyas juga melihat perlunya Indonesia membuat gerakan wajib membaca seperti yang sudah dilakukan negara lain.
Di Thailand Selatan misalnya, siswa SMA diwajibkan membaca minimal 5 buku. Sementara itu, Malaysia dan Singapura minimal 6 buku. Di Brunei Darussalam minimal 7, Rusia 12, Kanada 13, Jepang15, Swiss15, Jerman 22, Prancis 30, Belanda 30 buku, dan Amerika Serikat 32 buku. ”Sayangnya dalam Kurikulum 2013 tidak ada ketentuan yang mewajibkan murid SMP dan SMA harus membaca sejumlah buku,” sesalnya.
Darmaningtyas melihat, upaya baca masyarakat Indonesia memang kurang karena pendidikan di Indonesia tidak melatih peserta didik untuk terbiasa membaca. Dalam hal ini, ujarnya, anak didik hanya sebatas membaca buku teks. Dia juga menyesalkan akses untuk membaca buku bagi siswa tidak mampu.
”Tidak bisa dimungkiri harga buku di Indonesia sangat mahal, di sisi lain buku bukan menjadi kebutuhan dasar masyarakat yang lebih mengutamakan kebutuhan konsumtif. Oleh karena itu, perbanyak buku-buku gratis yang bisa diakses masyarakat sehingga mereka tertarik membaca,” katanya.
Plt Sekretaris Jenderal Kemendikbud Hamid Muhammad mengaku Kemendikbud sudah mencanangkan gerakan 10 menit membaca cerita untuk anak. Pencanangan gerakan ini merupakan salah satu upaya dari pemerintah untuk meningkatkan minat baca di kalangan generasi muda.
Dengan gerakan 10 menit membaca cerita untuk anak ini, dia yakin beberapa tahun ke depan Indonesia bisa memimpin dalam hal literasi di kawasan Asia. Bahkan targetnya, pada 2030, tingkat literasi Indonesia berada di puncak untuk kawasan Asia. ”Lebih baik sebentar, hanya sepuluh menit sehari, tapi terus dilakukan daripada membaca lama-lama tapi jarang,” katanya.
Hamid mengakui rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Dari penelitian yang dilakukan UNESCO 2012, perbandingan orang yang membaca dan yang tidak di Indonesia sangat jauh, yakni satu banding seribu. Angka tersebut didukung pula dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan orang Indonesia lebih gemar menonton televisi daripada membaca.
91,68% penduduk gemar menonton televisi dan hanya 17,6% yang membaca surat kabar atau majalah. Sebelumnya, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud Yeyen Maryani mengungkap persoalan tersebut.
Mengutip penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) pada 2012 lalu, dari 65 negara yang diteliti, Indonesia menempati posisi terburuk kedua. Masyarakat lebih suka menonton daripada membaca, apalagi menulis. Kondisi ini tentu memprihatinkan karena tingkat literasi menjadi penentu daya saing bangsa.
Sistem Pendidikan Tidak Mendukung
Salah seorang mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK), Nuy Lestari, melihat sistem pendidikan yang tidak mendukung literasi. Dia mencontohkan, budaya literasi dan tradisi diskusi di kampus semakin jarang. Mahasiswa sekarang disibukkan dengan tugas-tugas individual akademik sehingga ruang kebebasan untuk diskusi soal ragam literasi makin kecil.
”Budaya literasi makin surut karena pengaruh budaya instan yang ditularkan oleh kemajuan media sosial dan internet. Juga pengaruh kurikulum pendidikan yang kurang tepat sehingga ragam literatur mahasiswa sangat terbatas pada apa yang direkomendasikan kurikulum atau dosen,” ungkapnya.
Dia mengaku di tengah kesibukannya kuliah tetap membaca di kala senggang, yakni pagi atau malam hari dengan durasi dua jam. Nuy mengaku senang membaca buku hingga dia pun bisa mengoleksi bukubuku bertema sosial politik, sejarah, filsafat, sastra realis, seni kreatif (musik, film, fotografi). ”Buku favorit saya kalau sastra realis karya Leo Tolstoy dan Pramoedya. Kalau politik sosial karyanya Martin Suryajaya atau Anthony Giddens,” tuturnya.
Nuy menjelaskan, aktivitasnya selain membaca adalah menonton, surfing, dan aktivitas rekreasi lainnya. Dia pun suka mengakses media sosial, namun hanya untuk sekadar mengecek informasi dari Twitter, Facebook, ataupun blog. Meski hidupnya diisi dengan beragam kegiatan, dia tetap menekankan jika waktu membaca lebih banyak dari kegiatan lain.
Neneng zubaidah
Upaya parsial yang selama ini digulirkan sulit diharapkan menjadi solusi persoalan tersebut. Usulan demikian disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise dan pengamat Pendidikan Darmaningtyas. Menurut mereka, Indonesia bisa meniru sejumlah negara yang sukses menggenjot minat baca melalui program gerakan nasional.
”Di luar negeri itu, membaca sudah menjadi gerakan nasional mulai dari usia dini. Kalau di kita belum ada gerakan seperti itu,” ujar Yohana di Jakarta kemarin. Yohana menuturkan, di Australia ada program Bedtime Stories yang mengharuskan orang tua membacakan dongeng seperti Cinderella kepada anakanaknya sebelum tidur.
Walau anak belum bisa membaca, hanya dengan melihat gambar dan huruf itu sudah menjadi pengenalan linguistik kepada mereka. ”Dampaknya adalah hingga dewasa mereka akan gemar membaca buku apa pun. Ketika orang tua bepergian, oleholeh yang diminta oleh anakanaknya buku, bukan baju atau makanan,” tuturnya.
Bukan hanya Australia, negara seperti Zimbabwe ternyata tingkat literasinya jauh lebih maju dari Indonesia. Dia menuturkan, saat bertemu Ibu Negara Zimbabwe beberapa waktu lalu, terungkap bahwa Zimbabwe sudah melakukan gerakan nasional membaca sehingga angka buta huruf semakin berkurang dan budaya membaca meningkat.
Yohana juga mengusulkan pendidikan anak usia dini harus ditingkatkan dan jumlah guru harus diperbanyak. Dia berpikir, jika pendidikan bagi semua anak usia dini sudah diperhatikan maka semua anak Indonesia pasti akan pintar baca dan tulis. Kementerian PP dan PA pada peringatan Hari Anak Nasional Agustus nanti merencanakan akan membuat event 3 juta anak membaca serentak untuk menembus rekor Muri.
”Minat baca di Indonesia sangat kurang, padahal di negara maju sudah jadi program nasional. Saya yakin jika minat baca dikembangkan sejak usia dini maka mereka yang akan mengurangi angka buta huruf di Indonesia,” terangnya. Darmaningtyas juga melihat perlunya Indonesia membuat gerakan wajib membaca seperti yang sudah dilakukan negara lain.
Di Thailand Selatan misalnya, siswa SMA diwajibkan membaca minimal 5 buku. Sementara itu, Malaysia dan Singapura minimal 6 buku. Di Brunei Darussalam minimal 7, Rusia 12, Kanada 13, Jepang15, Swiss15, Jerman 22, Prancis 30, Belanda 30 buku, dan Amerika Serikat 32 buku. ”Sayangnya dalam Kurikulum 2013 tidak ada ketentuan yang mewajibkan murid SMP dan SMA harus membaca sejumlah buku,” sesalnya.
Darmaningtyas melihat, upaya baca masyarakat Indonesia memang kurang karena pendidikan di Indonesia tidak melatih peserta didik untuk terbiasa membaca. Dalam hal ini, ujarnya, anak didik hanya sebatas membaca buku teks. Dia juga menyesalkan akses untuk membaca buku bagi siswa tidak mampu.
”Tidak bisa dimungkiri harga buku di Indonesia sangat mahal, di sisi lain buku bukan menjadi kebutuhan dasar masyarakat yang lebih mengutamakan kebutuhan konsumtif. Oleh karena itu, perbanyak buku-buku gratis yang bisa diakses masyarakat sehingga mereka tertarik membaca,” katanya.
Plt Sekretaris Jenderal Kemendikbud Hamid Muhammad mengaku Kemendikbud sudah mencanangkan gerakan 10 menit membaca cerita untuk anak. Pencanangan gerakan ini merupakan salah satu upaya dari pemerintah untuk meningkatkan minat baca di kalangan generasi muda.
Dengan gerakan 10 menit membaca cerita untuk anak ini, dia yakin beberapa tahun ke depan Indonesia bisa memimpin dalam hal literasi di kawasan Asia. Bahkan targetnya, pada 2030, tingkat literasi Indonesia berada di puncak untuk kawasan Asia. ”Lebih baik sebentar, hanya sepuluh menit sehari, tapi terus dilakukan daripada membaca lama-lama tapi jarang,” katanya.
Hamid mengakui rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Dari penelitian yang dilakukan UNESCO 2012, perbandingan orang yang membaca dan yang tidak di Indonesia sangat jauh, yakni satu banding seribu. Angka tersebut didukung pula dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan orang Indonesia lebih gemar menonton televisi daripada membaca.
91,68% penduduk gemar menonton televisi dan hanya 17,6% yang membaca surat kabar atau majalah. Sebelumnya, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud Yeyen Maryani mengungkap persoalan tersebut.
Mengutip penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) pada 2012 lalu, dari 65 negara yang diteliti, Indonesia menempati posisi terburuk kedua. Masyarakat lebih suka menonton daripada membaca, apalagi menulis. Kondisi ini tentu memprihatinkan karena tingkat literasi menjadi penentu daya saing bangsa.
Sistem Pendidikan Tidak Mendukung
Salah seorang mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK), Nuy Lestari, melihat sistem pendidikan yang tidak mendukung literasi. Dia mencontohkan, budaya literasi dan tradisi diskusi di kampus semakin jarang. Mahasiswa sekarang disibukkan dengan tugas-tugas individual akademik sehingga ruang kebebasan untuk diskusi soal ragam literasi makin kecil.
”Budaya literasi makin surut karena pengaruh budaya instan yang ditularkan oleh kemajuan media sosial dan internet. Juga pengaruh kurikulum pendidikan yang kurang tepat sehingga ragam literatur mahasiswa sangat terbatas pada apa yang direkomendasikan kurikulum atau dosen,” ungkapnya.
Dia mengaku di tengah kesibukannya kuliah tetap membaca di kala senggang, yakni pagi atau malam hari dengan durasi dua jam. Nuy mengaku senang membaca buku hingga dia pun bisa mengoleksi bukubuku bertema sosial politik, sejarah, filsafat, sastra realis, seni kreatif (musik, film, fotografi). ”Buku favorit saya kalau sastra realis karya Leo Tolstoy dan Pramoedya. Kalau politik sosial karyanya Martin Suryajaya atau Anthony Giddens,” tuturnya.
Nuy menjelaskan, aktivitasnya selain membaca adalah menonton, surfing, dan aktivitas rekreasi lainnya. Dia pun suka mengakses media sosial, namun hanya untuk sekadar mengecek informasi dari Twitter, Facebook, ataupun blog. Meski hidupnya diisi dengan beragam kegiatan, dia tetap menekankan jika waktu membaca lebih banyak dari kegiatan lain.
Neneng zubaidah
(ftr)