Selamat Tinggal Akal Sehat
A
A
A
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
Belum lama berselang, di salah satu program studi di universitas, di mana saya menjadi ketua programnya, saya dan beberapa orang staf bermaksud membereskan barang-barang rongsokan tak terpakai yang memenuhi ruangan-ruangan kerja.
Barangbarang itu saya perintahkan untuk dibuang saja karena tidak ada gunanya dan tidak bisa dipakai lagi pada zaman sekarang seperti CPU kuno, monitormonitor komputer yang masih gendut-gendutberikut keyboard kuno dan printer-printer lama yang bunyinya berisik sekali. Belum lagi meja-meja biro dan setengah-biro berikut kursikursinya yang sudah copot rodarodanya.
Karena kami sudah punya perangkat komputer dan perabotan kantor yang lebih baru, benda-benda rongsok itu akan saya singkirkan supaya pegawai-pegawai saya bisa bekerja dengan lebih nyaman. Tetapi, staf yang saya minta untuk membuang benda-benda rongsokan itu melaporkan kepada saya bahwa kata petugas inventaris universitas, bendabenda itu tidak bisa dibuang karena sudah dicatat sebagai milik universitas.
“Jadi harus dibagaimanakan benda-benda rongsokan itu?” tanya saya. “Ya, disimpan saja di gudang, Prof,” jawab si pegawai dengan santai. Padahal, yang namanya gudang itu sudah penuh dengan barang yang lebih kuno lagi daripada komputer-komputer rongsokan saya, dan sudah bulukan, karena selalu ketetesan air dari bocoran atap yang merembes sepanjang dinding gudang, dan peralatan komputer dan mejakursi saya mau dijejalkan lagi di situ?
Saya kemudianmenggunakan akal sehat saya, “Ya, sudah beginisaja, Pak,” katasaya kepada petugas inventaris (gudang), “Kita foto saja barang-barang itu, kita buatkan berita acara, dan kita berikan saja kepada tukang loak.” “Tidak bisa, Prof, peraturannya memang sudah begitu,” jawab si petugas apa adanya. Dia bukannya mau melawan saya, tetapi sebagai petugas yang baik, dia hanya taat perintah.
Sesuai prosedur. Di sini saya merasa, “Sudah hilang akal sehat, digantikan oleh birokrasi yang kaku”. Di tingkat yang lebih tinggi, masih di universitas yang sama, di salah satu program studi yang lain, datanglah pada suatu hari alat-alat laboratorium yang nilainya mencapai Rp17 miliar. Alat-alat lab bantuan luar negeri ini belum bisa diinstalasi karena sarananya (ruang khusus dengan peralatan khusus) belum disiapkan.
Padahal, ketua prodi sudah menganggarkan dana sejumlah tertentu untuk menyiapkan prasarana laboratorium yang diperlukan. Tetapi, dana sebesar itu, kata pemerintah, harus dilelang. Tetapi, juga tidak dilelang-lelang sehingga akhirnya ketika alat-alat lab datang, sarananya belum disiapkan sama sekali. Kemudian ketua prodinya membuat kebijakan untuk memecah dana itu separonya dulu sehingga bisa dibangun sarana untuk alat-alat lab yang kalau dibiarkan terlalu lama akan mangkrak dan rusak.
Tetapi sekali lagi, bagian keuangan universitas tidak mengizinkan proyekdipecah-pecahsepertiitu. Dan, sampaisaat iniperalatanlab itu masih nongkrong dalam peti di halaman kampus dengan risiko bahwa peti kemas itu akan kemasukan air juga dan peralatan lab ultramodern di dalamnya lama-lama akan hancur pelanpelan dan berapa besar kerugian negara yang ditimbulkan? Di sini saya merasa, “Sudah hilang akal sehat, digantikan oleh birokrasi yang kaku”.
Manusia menggunakan akal sehat untuk memecahkan persoalan- persoalan yang dihadapi. Akal sehat itu berisi pengetahuan dan pengalaman mengenai berbagai hal yang kalau dirangkai- rangkai bisa untuk menyelesaikan suatu masalah, dan akal sehat memang perlu dijaga agar benar-benar dilaksanakan dengan prosedur yang benar agar hasilnya optimal.
Di sinilah diperlukan sistem dan prosedur yang baku sehingga pemberian pupuk tidak underdosis, tetapi juga tidak overdosis sehingga tanaman itu mati. Salah satu wujud dari sistem dan prosedur, jika dilakukan dalam rangka pelaksanaan di suatu organisasi, disebut birokrasi. Jadi birokrasi diperlukan agar penanganan terhadap masalah bisa tercapai dengan tuntas dan cepat.
Tetapi, kalau birokrasi dijalankan hanya demi birokrasi itu sendiri, tanpa mempertimbangkan akal sehat, begitulah jadinya: barangbarang rongsokan bukandisingkirkan, melainkan jadi sarang tikus dan alat-alat laboratorium mangkrak di halaman lamalama berkarat, dan sama juga, akhirnya jadi sarang tikus. Tetapi, benar juga. Akal sehat memang tidak selamanya berhasil guna.
Terkadang akal sehat berisi pengetahuan-pengetahuan yang tidak benar, termasuk takhayul, kepercayaan-kepercayaan kepada ihwal gaib, dan mitos yang kalau dipraktikkan untuk memecahkan masalah riil sehari-hari (misalnya minta hasil panen kepada Dewi Sri) tidak akan mempan. Di sinilah perlunya isi akal sehat diverifikasi terus menerus, dan di sinilah peran ilmu pengetahuan (yang kebenarannya selalu diuji dari waktu ke waktu).
Tetapi, yang mencemaskan akhir-akhir ini adalah makin ditinggalkannya akal sehat demi ihwal yang sebetulnya tidak masuk akal. Seperti organisasi radikal Islam bisa menggunakan Gelora Bung Karno untuk gelar pawai akbar yang menolak NKRI, menolak Pancasila, UU RI, dan Pemerintah RI, serta hanya mengakui khalifah yang entah berada di mana (bisa jadi juga ISIS di Irak).
Polisi dan pemerintah tidak bisa melarang walaupun pawai itu tanpa izin karena memang UU kita yang demokratis tidak membutuhkan izin untuk unjuk rasa. Semua boleh-boleh saja, cukup dengan hanya memberitahukan ke polisi. Jadi demokrasi kita membuka jalan selebarlebarnya untuk lahirnya tirani di masa depan yang justru antidemokrasi. Maka, akan habislah riwayat NKRI. Di sini saya merasa, “Sudah hilang akal sehat, digantikan oleh birokrasi yang kaku”.
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
Belum lama berselang, di salah satu program studi di universitas, di mana saya menjadi ketua programnya, saya dan beberapa orang staf bermaksud membereskan barang-barang rongsokan tak terpakai yang memenuhi ruangan-ruangan kerja.
Barangbarang itu saya perintahkan untuk dibuang saja karena tidak ada gunanya dan tidak bisa dipakai lagi pada zaman sekarang seperti CPU kuno, monitormonitor komputer yang masih gendut-gendutberikut keyboard kuno dan printer-printer lama yang bunyinya berisik sekali. Belum lagi meja-meja biro dan setengah-biro berikut kursikursinya yang sudah copot rodarodanya.
Karena kami sudah punya perangkat komputer dan perabotan kantor yang lebih baru, benda-benda rongsok itu akan saya singkirkan supaya pegawai-pegawai saya bisa bekerja dengan lebih nyaman. Tetapi, staf yang saya minta untuk membuang benda-benda rongsokan itu melaporkan kepada saya bahwa kata petugas inventaris universitas, bendabenda itu tidak bisa dibuang karena sudah dicatat sebagai milik universitas.
“Jadi harus dibagaimanakan benda-benda rongsokan itu?” tanya saya. “Ya, disimpan saja di gudang, Prof,” jawab si pegawai dengan santai. Padahal, yang namanya gudang itu sudah penuh dengan barang yang lebih kuno lagi daripada komputer-komputer rongsokan saya, dan sudah bulukan, karena selalu ketetesan air dari bocoran atap yang merembes sepanjang dinding gudang, dan peralatan komputer dan mejakursi saya mau dijejalkan lagi di situ?
Saya kemudianmenggunakan akal sehat saya, “Ya, sudah beginisaja, Pak,” katasaya kepada petugas inventaris (gudang), “Kita foto saja barang-barang itu, kita buatkan berita acara, dan kita berikan saja kepada tukang loak.” “Tidak bisa, Prof, peraturannya memang sudah begitu,” jawab si petugas apa adanya. Dia bukannya mau melawan saya, tetapi sebagai petugas yang baik, dia hanya taat perintah.
Sesuai prosedur. Di sini saya merasa, “Sudah hilang akal sehat, digantikan oleh birokrasi yang kaku”. Di tingkat yang lebih tinggi, masih di universitas yang sama, di salah satu program studi yang lain, datanglah pada suatu hari alat-alat laboratorium yang nilainya mencapai Rp17 miliar. Alat-alat lab bantuan luar negeri ini belum bisa diinstalasi karena sarananya (ruang khusus dengan peralatan khusus) belum disiapkan.
Padahal, ketua prodi sudah menganggarkan dana sejumlah tertentu untuk menyiapkan prasarana laboratorium yang diperlukan. Tetapi, dana sebesar itu, kata pemerintah, harus dilelang. Tetapi, juga tidak dilelang-lelang sehingga akhirnya ketika alat-alat lab datang, sarananya belum disiapkan sama sekali. Kemudian ketua prodinya membuat kebijakan untuk memecah dana itu separonya dulu sehingga bisa dibangun sarana untuk alat-alat lab yang kalau dibiarkan terlalu lama akan mangkrak dan rusak.
Tetapi sekali lagi, bagian keuangan universitas tidak mengizinkan proyekdipecah-pecahsepertiitu. Dan, sampaisaat iniperalatanlab itu masih nongkrong dalam peti di halaman kampus dengan risiko bahwa peti kemas itu akan kemasukan air juga dan peralatan lab ultramodern di dalamnya lama-lama akan hancur pelanpelan dan berapa besar kerugian negara yang ditimbulkan? Di sini saya merasa, “Sudah hilang akal sehat, digantikan oleh birokrasi yang kaku”.
Manusia menggunakan akal sehat untuk memecahkan persoalan- persoalan yang dihadapi. Akal sehat itu berisi pengetahuan dan pengalaman mengenai berbagai hal yang kalau dirangkai- rangkai bisa untuk menyelesaikan suatu masalah, dan akal sehat memang perlu dijaga agar benar-benar dilaksanakan dengan prosedur yang benar agar hasilnya optimal.
Di sinilah diperlukan sistem dan prosedur yang baku sehingga pemberian pupuk tidak underdosis, tetapi juga tidak overdosis sehingga tanaman itu mati. Salah satu wujud dari sistem dan prosedur, jika dilakukan dalam rangka pelaksanaan di suatu organisasi, disebut birokrasi. Jadi birokrasi diperlukan agar penanganan terhadap masalah bisa tercapai dengan tuntas dan cepat.
Tetapi, kalau birokrasi dijalankan hanya demi birokrasi itu sendiri, tanpa mempertimbangkan akal sehat, begitulah jadinya: barangbarang rongsokan bukandisingkirkan, melainkan jadi sarang tikus dan alat-alat laboratorium mangkrak di halaman lamalama berkarat, dan sama juga, akhirnya jadi sarang tikus. Tetapi, benar juga. Akal sehat memang tidak selamanya berhasil guna.
Terkadang akal sehat berisi pengetahuan-pengetahuan yang tidak benar, termasuk takhayul, kepercayaan-kepercayaan kepada ihwal gaib, dan mitos yang kalau dipraktikkan untuk memecahkan masalah riil sehari-hari (misalnya minta hasil panen kepada Dewi Sri) tidak akan mempan. Di sinilah perlunya isi akal sehat diverifikasi terus menerus, dan di sinilah peran ilmu pengetahuan (yang kebenarannya selalu diuji dari waktu ke waktu).
Tetapi, yang mencemaskan akhir-akhir ini adalah makin ditinggalkannya akal sehat demi ihwal yang sebetulnya tidak masuk akal. Seperti organisasi radikal Islam bisa menggunakan Gelora Bung Karno untuk gelar pawai akbar yang menolak NKRI, menolak Pancasila, UU RI, dan Pemerintah RI, serta hanya mengakui khalifah yang entah berada di mana (bisa jadi juga ISIS di Irak).
Polisi dan pemerintah tidak bisa melarang walaupun pawai itu tanpa izin karena memang UU kita yang demokratis tidak membutuhkan izin untuk unjuk rasa. Semua boleh-boleh saja, cukup dengan hanya memberitahukan ke polisi. Jadi demokrasi kita membuka jalan selebarlebarnya untuk lahirnya tirani di masa depan yang justru antidemokrasi. Maka, akan habislah riwayat NKRI. Di sini saya merasa, “Sudah hilang akal sehat, digantikan oleh birokrasi yang kaku”.
(bbg)