TNI Setelah 17 Tahun

Kamis, 04 Juni 2015 - 03:52 WIB
TNI Setelah 17 Tahun
TNI Setelah 17 Tahun
A A A
SEJAK rezim Soeharto lengser keprabon pada Mei 1998, negara ini bisa dibilang lepas dari militerisme. Jabatan menteri atau gubernur tidak lagi banyak dihuni perwira tinggi. Begitu juga dengan bupati dan wali kota yang sebelumnya seolah menjadi jatah purnawirawan perwira menengah. Bahkan, jabatan camat dan kepala desa kebanyakan berasal dari bintara.

Tuntutan Reformasi yang digaungkan mahasiswa saat itu menghapuskan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Militer lantas dipisahkan dari tugas keamanan dalam negeri.

Tugas tersebut diserahkan kepada saudaranya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Mereka kembali pada tugas pokok: pertahanan negara. Namanya pun kembali ke asal, Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Akan tetapi, seiring berjalannya pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), geliat TNI untuk kembali masuk ke ranah sipil mulai terlihat. Hal ini ditandai dengan memorandum of understanding (MoU) antara TNI dengan beberapa kementerian atau lembaga, seperti nota kesepahaman dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Ya, banyak marinir TNI AL yang berjaga-jaga mengamankan stasiun-stasiun kereta api. Begitu pula MoU TNI dengan Kementerian Pertanian (Kementan) terkait ketahanan pangan, serta dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) guna memberantas narkoba. Padahal, fungsi tersebut menjadi kewenangan polisi. Nah, yang paling menarik perhatian tentu wacana masuknya TNI menjadi penegak hukum di KPK.

Juru Bicara TNI Angkatan Darat (AD) Brigadir Jenderal Wuryanto, mengatakan bahwa MoU dengan kementerian atau lembaga dilakukan karena visi TNI sejalan dengan program pemerintah.

Wuryanto mencontohkan soal program ketahanan pangan dan pembangunan jalan di perbatasan Kalimantan sepanjang 1.538 km. Untuk menjawab program itu, TNI AD belum lama ini mengadakan MoU dengan Kementan serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

“Kami mendukung apa yang diprogramkan pemerintah, maka dari itu langsung kerja sama,” ujarnya.

Wuryanto mengatakan, TNI AD melihat ketahanan pangan sebagai hal strategis. Namun, saat ini, banyak masalah di pertanian. Contoh, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, minimnya orang yang ingin jadi petani, masalah bibit, pupuk, mesin pertanian, dan yang paling parah selama 30 tahun adalah banyaknya infrastruktur pertanian yang rusak.

Jika ketahanan pangan tidak tercapai, Indonesia bakal bergantung kepada negara lain. Bila sewaktu-waktu bermasalah dengan negara tersebut, embargo pangan bisa terjadi.

“Negara kita bisa hancur jika ketahanan pangan tidak ada. Maka dari itu, TNI AD harus turun,” sambung alumnus Akademi Militer 1986 itu.

Al Araf, Direktur Program Imparsial, berujar bahwa MoU antara TNI dan kementerian justru merupakan bentuk kemunduran dari Reformasi alias mengulang era Orde Baru. Lanjut dia, adanya MoU akan banyak melibatkan militer dalam wilayah sipil, termasuk sorotannya bila TNI masuk ke jajaran struktural KPK. Pasalnya, kata Araf, TNI bukan unsur penegak hukum, melainkan alat pertahanan.

Pengamat militer dari Universitas Padjadjaran, Muradi, mengatakan bahwa MoU TNI dengan kementerian bukan hal yang harus diperdebatkan, termasuk merevisi Keppres No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional.

Selama ini, tugas tersebut menjadi kewenangan polisi. Dalam draf revisi, pengamanan melibatkan TNI. “MoU dengan kementerian dan pengamanan objek vital nasional memang harus dijaga karena bersifat nasional,” katanya.

Hanya saja, keduanya mengingatkan bahwa dalam MoU dengan kementerian, termasuk pengamanan objek vital nasional, ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Jangan sampai apa yang seharusnya menjadi tugas polisi diambil oleh TNI.

“Dalam kerja sama pengamanan, harus ‘clear’ di level koordinasi. Jangan malah menimbulkan konflik,” tutur Muradi kepada SINDO Weekly.

Politik Jawa Jokowi

Soal ini memang menjadi perhatian. Pasalnya, gesekan antara TNI dan Polri sejak Reformasi, terutama “jatah” pengamanan, bukan rahasia lagi. Bahkan, keduanya ditengarai berebut urusan penanganan terorisme.

Araf menyebut, masalah terorisme adalah extra ordinary crime yang butuh penanganan khusus, termasuk butuh dana yang besar. Dalam hal ini, kata Araf, dana untuk menangani terorisme tidak pernah transparan ke publik.

Adapun Wuryanto mengatakan, masuknya TNI dalam penanganan terorisme seusai dengan 14 poin dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Salah satu butirnya, TNI hadir dalam penanggulangan terorisme karena ancaman nyata terhadap Indonesia.

Sementara itu, Koordinator KontraS, Haris Azhar, menilai bahwa masuknya kembali TNI ke ranah sosial-politik dilatari kegagalan aparatur sipil dalam membangun pelayanan publik untuk masyarakat.

Tidak hanya itu, Haris melanjutkan pada level penegakan hukum, polisi dianggap bermasalah karena kerap bersinggungan dengan KPK. “Situasi yang ambigu ini membuat TNI masuk,” terangnya kepada SINDO Weekly.

Lanjut Haris, sejak Reformasi 17 tahun lalu hingga sekarang, sejatinya TNI tidak pernah keluar dari barak.“Sejak kapan TNI ada di barak?” tanyanya.

Yang terjadi selama Reformasi, TNI tidak diberi fungsi sosial-politik oleh pemerintah. Namun, mereka tetap hidup di tengah masyarakat sipil—terlihat dari markas pusat komando teritorial yang berada di tengah kota.

Akhirnya, kata Haris, TNI menjadi geregetan. Sebab, TNI berada di tengah warga sipil, tetapi tidak diberi “jatah mainan” lagi. Kinerja polisi yang buruk dalam pengamanan objek vital nasional, kata Haris, akhirnya membuat TNI ingin kembali.

Menurut Haris, keinginan baliknya TNI dalam ranah sosial-politik diperkuat dengan sikap Presiden Jokowi. Bekas Gubernur DKI Jakarta ini dianggap memainkan politik Jawa yang ingin menguntungkan semua orang. Alhasil, kata dia, Presiden Jokowi pun ingin “membagi kue” kepada Polri dan TNI.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5381 seconds (0.1#10.140)