Inflasi Mei Tertinggi sejak Tahun 2009
A
A
A
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan inflasi pada Mei 2015 mencapai 0,5%. Inflasi tersebut tertinggi dalam enam tahun terakhir dalam bulan yang sama.
“Inflasi Mei tinggi terakhir kali pada 2008 yaitu 1,41%. Kontribusi inflasi Mei tahun ini berasal dari kelompok bahan makanan, tapi harga beras masih menyumbang deflasi,” ungkap Kepala BPS Suryamin di Jakarta kemarin. Berdasarkan data BPS, inflasi pada Mei 2009 sebesar 0,04%, dan selanjutnya pada 2010 sebesar0,29%; 2011 sebesar 0,12%; 2012 sebesar 0,07%; 2013 sebesar -0,03% (deflasi); dan 2014 sebesar 0,16%.
Dengan inflasi Mei sebesar 0,5%, inflasi tahun kalender Januari-Juni 2015 mencapai 0,42%. Sedangkan laju inflasi secara tahunan (year on year /yoy) menjadi sebesar 7,15%. Menurut Suryamin, pada Mei lalu kenaikan harga terjadi secara merata di seluruh wilayah dengan tingkat inflasi tertinggi terjadi di Palu, Sulawesi Utara sebesar 2,24%.
Sementara itu, inflasi terendah terjadi di Singkawang, Kalimantan Barat sebesar 0,03%. BPS mencatat hanya satu kota yang mengalami deflasi yaitu Pangkal Pinang, Bangka Belitung sebesar 0,61%. Suryamin menjelaskan, ketidakstabilan harga bahan makanan menyumbang inflasi terbesar yaitu 1,39%.Kemudian diikuti makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesar 0,5%; dan perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 0,2%.
Ketidak stabilan harga bahan makanan seperti cabai merah, daging ayam, dan telur terkait dengan kurangnya ketersediaan pasokan merespons tingginya permintaan konsumen. Beberapa bahan makanan yang bergejolak antara lain cabai merah (naik 22,22%), daging ayamras(naik5,09%), telurayam ras (naik 6,13%), dan bawang merah (naik 6,19%).
“Bahkan, untuk cabai merah terjadi kenaikan di 69 kota dengan kenaikan tertinggi di Medan 95% dan Banda Aceh 94%,” sebutnya. Di luar itu, harga tarif tenaga listrik yang naik 0,62% juga ikut meningkatkan inflasi pada Mei lalu. “Ini karena listrik punya bobot yang tinggi sebesar 3,4% terhadap indeks harga konsumen,” jelas Suryamin.
Suryamin mengatakan, tingginya tingkat inflasi pada Mei berhasil ditahan oleh turunnya harga beras atau deflasi sebesar 0,88%. Stabilnya harga beras dinilainya penting karena bahan pokok ini kerap menjadi penyumbang terbesar inflasi di antara kebutuhan pokok lainnya. BPS juga mencatat, inflasi di perdesaan secara nasional mencapai 0,6% yang didominasi oleh kenaikan harga bahan makanan sebesar 0,97%.
Inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 0,97% dan deflasi tertinggi terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 0,24%. Kendati inflasi mulai merangkak naik, Bank Indonesia (BI) tetap optimistis inflasi sepanjang 2015 akan dapat dijaga sesuai target sebesar 4 plus minus 1%.
Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs mengakui inflasi Mei 2015 sebesar 0,5%, lebih tinggi dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 0,36%, berada di atas perkiraan BI dan di atas ratarata inflasi historis pada Mei dalam enam tahun terakhir. Peningkatan inflasi harga pangan yang bergejolak (volatile food), terutama pada komoditas aneka cabai, daging dan telur ayam ras, bawang merah, dan bawang putih lebih tinggi dari penurunan harga beras yang menyumbang deflasi sebesar 0,04%.
Selain itu, tekanan inflasi juga terjadi pada kelompok harga barang yang dikendalikan oleh pemerintah, terutama kenaikan tarif listrik dan tarif angkutan udara. Namun, imbuh dia, tekanan inflasi inti masih terjaga di level yang cukup rendah yakni sebesar 0,23% (mtm), sejalan dengan kegiatan perekonomian domestik yang cenderung tumbuh moderat dan ekspektasi inflasi yang terkendali.
“Ke depan BI terus mencermati berbagai risiko yang memengaruhi inflasi, khususnya perkembangan harga minyak dunia, nilai tukar, penyesuaian administered prices, faktor musiman menjelang puasa dan Lebaran, serta gejolak harga pangan terkait kemungkinan terjadinya El Nino,” tutur Peter.
Peter menambahkan, diperlukan penguatan koordinasi kebijakan pengendalian inflasi di tingkat pusat dan daerah, melalui forum Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID), termasuk langkah-langkah strategis dalam mengendalikan tekanan harga pangan khususnya menjelang puasa dan Lebaran.
Terpisah, ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan, tingginya inflasi pada Mei 2015 menandakan ada pihak yang bisa menjadi penentu harga. Hal ini juga mengindikasikan terjadi sistem persaingan tidak sehat. Pada Mei sebenarnya tidak ada hal fundamental yang bisa menjadi pemicu tingginya inflasi. Berbeda dengan April, saat itu ada penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM).
Terkait kemungkinan kenaikan inflasi pada Juni seiring masuknya masa puasa, Eny menegaskan, itu kembali lagi kepada upaya pemerintah terutama dalam memperbaiki jalur distribusi pangan pokok. Stok yang mencukupi tidak serta-merta bisa menjamin stabilitas harga ketika para spekulan tetap bebas melakukan aksinya.
“Makanya, kita tunggu apa yang akan diatur oleh Inpres Pengendalian Harga Kebutuhan Pokok itu. Kapan pelaksanaannya? Puasa kan tinggal dua minggu lagi. Lalu, instrumennya apa sehingga inpres itu bisa efektif?” cetusnya.
Rahmat fiansyah/ inda susanti
“Inflasi Mei tinggi terakhir kali pada 2008 yaitu 1,41%. Kontribusi inflasi Mei tahun ini berasal dari kelompok bahan makanan, tapi harga beras masih menyumbang deflasi,” ungkap Kepala BPS Suryamin di Jakarta kemarin. Berdasarkan data BPS, inflasi pada Mei 2009 sebesar 0,04%, dan selanjutnya pada 2010 sebesar0,29%; 2011 sebesar 0,12%; 2012 sebesar 0,07%; 2013 sebesar -0,03% (deflasi); dan 2014 sebesar 0,16%.
Dengan inflasi Mei sebesar 0,5%, inflasi tahun kalender Januari-Juni 2015 mencapai 0,42%. Sedangkan laju inflasi secara tahunan (year on year /yoy) menjadi sebesar 7,15%. Menurut Suryamin, pada Mei lalu kenaikan harga terjadi secara merata di seluruh wilayah dengan tingkat inflasi tertinggi terjadi di Palu, Sulawesi Utara sebesar 2,24%.
Sementara itu, inflasi terendah terjadi di Singkawang, Kalimantan Barat sebesar 0,03%. BPS mencatat hanya satu kota yang mengalami deflasi yaitu Pangkal Pinang, Bangka Belitung sebesar 0,61%. Suryamin menjelaskan, ketidakstabilan harga bahan makanan menyumbang inflasi terbesar yaitu 1,39%.Kemudian diikuti makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesar 0,5%; dan perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 0,2%.
Ketidak stabilan harga bahan makanan seperti cabai merah, daging ayam, dan telur terkait dengan kurangnya ketersediaan pasokan merespons tingginya permintaan konsumen. Beberapa bahan makanan yang bergejolak antara lain cabai merah (naik 22,22%), daging ayamras(naik5,09%), telurayam ras (naik 6,13%), dan bawang merah (naik 6,19%).
“Bahkan, untuk cabai merah terjadi kenaikan di 69 kota dengan kenaikan tertinggi di Medan 95% dan Banda Aceh 94%,” sebutnya. Di luar itu, harga tarif tenaga listrik yang naik 0,62% juga ikut meningkatkan inflasi pada Mei lalu. “Ini karena listrik punya bobot yang tinggi sebesar 3,4% terhadap indeks harga konsumen,” jelas Suryamin.
Suryamin mengatakan, tingginya tingkat inflasi pada Mei berhasil ditahan oleh turunnya harga beras atau deflasi sebesar 0,88%. Stabilnya harga beras dinilainya penting karena bahan pokok ini kerap menjadi penyumbang terbesar inflasi di antara kebutuhan pokok lainnya. BPS juga mencatat, inflasi di perdesaan secara nasional mencapai 0,6% yang didominasi oleh kenaikan harga bahan makanan sebesar 0,97%.
Inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 0,97% dan deflasi tertinggi terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 0,24%. Kendati inflasi mulai merangkak naik, Bank Indonesia (BI) tetap optimistis inflasi sepanjang 2015 akan dapat dijaga sesuai target sebesar 4 plus minus 1%.
Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs mengakui inflasi Mei 2015 sebesar 0,5%, lebih tinggi dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 0,36%, berada di atas perkiraan BI dan di atas ratarata inflasi historis pada Mei dalam enam tahun terakhir. Peningkatan inflasi harga pangan yang bergejolak (volatile food), terutama pada komoditas aneka cabai, daging dan telur ayam ras, bawang merah, dan bawang putih lebih tinggi dari penurunan harga beras yang menyumbang deflasi sebesar 0,04%.
Selain itu, tekanan inflasi juga terjadi pada kelompok harga barang yang dikendalikan oleh pemerintah, terutama kenaikan tarif listrik dan tarif angkutan udara. Namun, imbuh dia, tekanan inflasi inti masih terjaga di level yang cukup rendah yakni sebesar 0,23% (mtm), sejalan dengan kegiatan perekonomian domestik yang cenderung tumbuh moderat dan ekspektasi inflasi yang terkendali.
“Ke depan BI terus mencermati berbagai risiko yang memengaruhi inflasi, khususnya perkembangan harga minyak dunia, nilai tukar, penyesuaian administered prices, faktor musiman menjelang puasa dan Lebaran, serta gejolak harga pangan terkait kemungkinan terjadinya El Nino,” tutur Peter.
Peter menambahkan, diperlukan penguatan koordinasi kebijakan pengendalian inflasi di tingkat pusat dan daerah, melalui forum Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendalian Inflasi Daerah (Pokjanas TPID), termasuk langkah-langkah strategis dalam mengendalikan tekanan harga pangan khususnya menjelang puasa dan Lebaran.
Terpisah, ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan, tingginya inflasi pada Mei 2015 menandakan ada pihak yang bisa menjadi penentu harga. Hal ini juga mengindikasikan terjadi sistem persaingan tidak sehat. Pada Mei sebenarnya tidak ada hal fundamental yang bisa menjadi pemicu tingginya inflasi. Berbeda dengan April, saat itu ada penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM).
Terkait kemungkinan kenaikan inflasi pada Juni seiring masuknya masa puasa, Eny menegaskan, itu kembali lagi kepada upaya pemerintah terutama dalam memperbaiki jalur distribusi pangan pokok. Stok yang mencukupi tidak serta-merta bisa menjamin stabilitas harga ketika para spekulan tetap bebas melakukan aksinya.
“Makanya, kita tunggu apa yang akan diatur oleh Inpres Pengendalian Harga Kebutuhan Pokok itu. Kapan pelaksanaannya? Puasa kan tinggal dua minggu lagi. Lalu, instrumennya apa sehingga inpres itu bisa efektif?” cetusnya.
Rahmat fiansyah/ inda susanti
(bbg)