Islam tidak Menganulir Agama-Agama Pra-Islam

Minggu, 31 Mei 2015 - 10:44 WIB
Islam tidak Menganulir Agama-Agama Pra-Islam
Islam tidak Menganulir Agama-Agama Pra-Islam
A A A
Pro-kontra mengenai pengakuan status agama-agama pra-Islam telah lama diperdebatkan.

Dalam buku Menyoal Status Agama Pra- Islam karya penulis asal UIN Syarif Hidayatullah, Sadullah Affandy, asumsi mengenai ketundukan pemeluk Yahudi dan Nasrani (agamaagama pra-Islam) pada Islam sebagai agama penutup akan menimbulkan sikap intoleran terhadap agama lain.

Teori naskh (abrogasi) digunakan sebagai analisis pada buku tersebut, kemudian Sadullah mencoba menegaskan pandangannya untuk menolak naskh (abrogasi) terhadap Alquran. Secara keseluruhan, penulis buku ini mencoba menyampaikan gagasannya yang bermula dari disertasi di UIN Syarif Hidayatullah perihal pengakuan terhadap agama-agama pra-Islam.

Menurut pandangannya, Islam hadir sebagai agama penyempurna dan penutup. Hal tersebut bukan lantas menganulir atau membatalkan agamaagama sebelumnya. Ayat Alquran yang menjadi fokus kajian adalah QS Al- Baqarah ayat 106 sebagai legitimasi adanya naskh , QS. Al-Baqarah ayat 62 tentang jaminan umat Yahudi, Nasrani, dan Sabiin dapat masuk surga asalkan menunaikan amal saleh, serta QS. Ali Imran ayat 85 yang menjadi dasar bahwa pemeluk agama-agama selain Islam akan tertolak.

“Islam hadir sebagai agama penyempurna, bukan agama yang menghapus agama-agama sebelumnya. Dalam buku yang saya tulis, ayat-ayat Alquran yang jadi fokus kajian, saya jabarkan sekaligus pandangan prokontranya. Saya pun mengeaskan, menolak naskh baik yang intra maupun ekstra,” ujarnya dalam peluncuran dan kajian buku Menyoal Status Agama Pra- Islam , Jumat (29/5), di Jakarta.

Dalam menafsirkan ayat Alquran yang bertentangan tersebut, Sadullah menjabarkan berbagai pandangan ulama yang menyikapi pertentangan itu, baik dengan penafsiran abrogasi ataupun penafsiran yang saling menguatkan. Pandangan itu dijabarkan dengan mengelaborasi pandangan ahli tafsir maupun ahli hukum Islam dari masa klasik hingga modern.

Tokoh- tokoh yang pemikirannya mewakili inklusivitas terhadap QS Al-Baqarah ayat 62 telah di-mansukh merupakan kelompok musafir klasik semisal At-Thabrani, Ibnu Katsir, hingga Syaikh Nawawi al-Bantani. Sementara itu,kelompok yang tidak mengakui naskh terdiri dari tokoh-tokoh seperti Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Imarah, Gamal Bana, Hamka, dan juga Husain Fadhullah.

Sementara itu, Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Ulil Abshar Abdala menilai buku yang ditulis Sadullah merupakan gagasan baik dalam mewujudkan harmonisasi antarumat beragama. Menurutnya, fenomena sosial media sebagai medium yang fleksibel dalam mengakses informasi menimbulkan gerakan baru dari kelompokkelompok tertentu untuk memaksakan gagasan sendiri dan menolak harmonisasi antarumat beragama.

Gerakan tersebut menurutnya mempersempit pemikiran umat perihal agama dengan mengklaim agama sendirilah yang paling benar. Mekanisme defensif dari gerakan-gerakan yang memaksakan kehendak, umumnya menolak segala bentuk perbedaan. “Buku ini sangat baik karena mempromosikan harmonisasi antarumat beragama,” ujarnya.

Ulil menjelaskan, jika setiap pemeluk agama berasumsi dan mengklaim bahwa agama masing-masing adalah agama yang paling benar, hal tersebut rentan menimbulkan pergesekan antara umat beragama. Padahal, Ulil memberi contoh dari perspektif agama Islam, setiap ayat dalam kitab suci harus diperhatikan dengan seksama, baik asbabun-nuzul (historis), linguistik, maupun secara hukum.

Bagaimana antara satu ayat dan ayat lainnya harus dipahami secara komprehensif agar tidak menimbulkan pemahaman yang sempit di kalangan umat Islam. Untuk itulah, ia secara eksplisit mempertanyakan kembali keabsahan teori abrogasi, apakah dinilai masih relevan atau tidak dalam memahami konteks ayat Alquran. Ulil menambahkan, teori abrogasi yang muncul pada era setelah Nabi Muhammad merupakan cerminan dari kegagalan dalam memadukan ayat-ayat Alquran yang bersifat kontradiktif.

Misalnya, di satu sisi Alquran berbicara tentang perdamaian, namun di sisi lain justru membicarakan soal peperangan. Hal tersebut gagal dipahami secara komprehensif oleh ulama pada zamannya, sehingga menimbulkan teori abrogasi dalam upaya menyanggah ayat satu untuk mengedepankan ayat lainnya. Padahal, secara prinsip, setiap ayat Alquran yang diturunkan dari Allah melalui Nabi Muhammad kepada umat manusia merupakan bentuk yang sempurna.

Kebenaran dan keabsahannya tidak diragukan kembali. Hal tersebutlah yang melandasi pemikiran untuk menelaah dan menolak teori abrogasi. Secara keseluruhan, buku Menyoal Status Agama Pra-Islam berusaha membuka tabir mengenai status agama-agama pra-Islam. Bagaimana harusnya umat Islam memahami bahwa kehadiran agama Islam ke muka bumi sebagai penutup agama-agama lain, bukan menganulir atau membatalkan agama-agama yang telah ada terlebih dahulu sebagaimana yang telah dijabarkan dan diabadikan dalam Alquran.

Buku Menyoal Status Agama Pra- Islam layak dibaca karena mengandung elemen yang sangat berisi. Bukan hanya perihal tafsir semata, melainkan juga perdebatan mengenai naskh dan hukum Islam. Karya ini semakin lengkap dengan prolog yang disampaikan oleh KH Husein Muhammad dan KH Maruf Amin melalui perspektif masing-masing. Perdebatan mengenai abrogasi mampu diuraikan secara baik oleh Sadullah di dalam buku ini.

Terlebih, pandangan Sadullah mengenai penolakan terhadap abrogasi baik yang intra maupun ekstra terbilang baru dan belum populer di Indonesia. Hal itu dimungkinkan akan menimbulkan pandangan yang pro dan kontra atas buah karya ini.

Imas damayanti
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6460 seconds (0.1#10.140)