Jabar Posisi Pertama Jual Ijazah Palsu
A
A
A
JAKARTA - Provinsi Jawa Barat (Jabar) ternyata menduduki peringkat pertama kampus-kampus yang melakukan praktik ilegal jual-beli ijazah palsu. Disusul tempat kedua adalah Jawa Timur (Jatim).
Hal itu diketahui dari data yang berhasil dikumpulkan Tim Audit Akademik Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti). Ketua Tim Audit Akademik Kemenristek- Dikti Supriadi Rustad membenarkan hal itu.
Menurut dia, data itu diperoleh dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) yang dapat diakses di forlap.dikti.go.id . Dari data PDPT itu kemudian ditemukan sejumlah kampus yang bermasalah. Supriadi mengatakan, dari data PDPT diketahui bahwa Jabar menempati posisi pertama kampuskampus yang diduga menjual ijazah palsu. Kedua Jatim dan ketiga DKI Jakarta. ”Diperkirakan jumlah kampus yang melakukan praktik jual-beli (ijazah palsu) melebihi 18 kampus swasta yang diadukan ke Kemenristek- Dikti,” ungkap Supriadi di Jakarta kemarin.
Dia mengatakan, perkiraan kampus yang terindikasi bermasalah itu masih banyak dapat terlihat di PDPT. Misalnya saja kecurigaan tertuju pada kampus yang rasio dosen dengan mahasiswa tidak sebanding. Berdasarkan data PDPT, ada kampus swasta di Jember, Jawa Timur yang rasio dosennya mencurigakan karena rata-rata rasionya 1: 261. Jika dirinci, jumlah mahasiswa ada 21.978 orang, namun dosen tetapnya hanya 84 orang. ”Ada beberapa kampus yang sudah kami nonaktifkan. Nonaktif itu artinya mereka bisa beroperasi tetapi ijazahnya tidak diakui,” tandasnya.
Dari PDPT, selain bisa melihat keanehan rasio dosen, juga bisa dilihat data mahasiswa pindahan. Lalu, bisa juga dilihat jumlah satuan kredit semester (SKS) yang diambil mahasiswa. Jika ada mahasiswa yang mengambil 6 SKS namun sudah dinyatakanlulus, makakampusnya akan di-blacklist. Timnya juga sedang membidik satu kampus yang menggelar wisuda palsu di Kalimantan.
Kampus ini merekrut orang tidak dikenal dan menyuruh menjadi mahasiswanya agar disangka sudah meluluskan mahasiswa. Wakil Ketua Komisi X DPR Sohibul Iman menilai, pembenahan sektor pendidikan, terutama terkait peredaran ijazah palsu harus dilakukan secara struktural dan kultural, di mana semua pihak berperan. ”Dua pendekatan yang harus dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan masalah ijazah palsu. Pertama, pendekatan secara struktural dan kedua secara kultural,” ungkapnya.
Sohibul mengatakan, pembenahan secara struktural yakni dengan menegakan aturan yang ada, yakni UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No 12/ 2012 tentang Perguruan Tinggi. ”Ini tolong ditegakkan oleh pemerintah dengan seketat-ketatnya dan setegas-tegasnya tanpa pandang bulu, dengan itu diharapkan ada efek jera,” paparnya.
Untuk perbaikan jangka panjang bisa dilakukan dengan pendekatan secara kultural. Faktanya, menurut Sohibul, masyarakat memiliki kultur negatif yang memengaruhi munculnya kasus ijazah palsu, yakni kultur yang menganggap gelar ijazah bisa menaikkan status sosial seseorang. Padahal, menurut dia, itu hanya sebuah label administratif atas sebuah pencapaian. ”Kedua, ada budaya menerabas atau instan, sehingga muncul upaya-upaya membeli ijazah,” tandasnya.
Karena itu, menurut dia, dua kultur ini harus diubah. Dengan pendekatan struktural yang tegas, perbaikan kulturalnya pun bisa berjalan dalam mengubah persepsi publik. ”Ke depan saya yakin itu tidak terulang, karena di negara-negara maju di mana kedua hal ini jalan, itu (jual beli ijazah palsu) tidak banyak terjadi,” paparnya. Dosen UIN Jakarta Musni Umar menilai, peredaran ijazah palsu tidak bisa lepas dari budaya yang berkembang di masyarakat.
Menurut dia, selama ini masyarakat masih memandang label atau gelar sebagai sesuatu yang penting. Dampaknya, masyarakat pun banyak yang mencari cara untuk mendapatkan gelar atau pelabelan tersebut. Parahnya, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menerabas. K
arena itu, untuk membenahi ini semua maka yang harus dilakukan adalah mengubah budaya masyarakat itu, yakni budaya menerabas. ”Itulah yang kita saksikan,” ujarnya.
Neneng zubaidah/ kiswondari
Hal itu diketahui dari data yang berhasil dikumpulkan Tim Audit Akademik Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti). Ketua Tim Audit Akademik Kemenristek- Dikti Supriadi Rustad membenarkan hal itu.
Menurut dia, data itu diperoleh dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) yang dapat diakses di forlap.dikti.go.id . Dari data PDPT itu kemudian ditemukan sejumlah kampus yang bermasalah. Supriadi mengatakan, dari data PDPT diketahui bahwa Jabar menempati posisi pertama kampuskampus yang diduga menjual ijazah palsu. Kedua Jatim dan ketiga DKI Jakarta. ”Diperkirakan jumlah kampus yang melakukan praktik jual-beli (ijazah palsu) melebihi 18 kampus swasta yang diadukan ke Kemenristek- Dikti,” ungkap Supriadi di Jakarta kemarin.
Dia mengatakan, perkiraan kampus yang terindikasi bermasalah itu masih banyak dapat terlihat di PDPT. Misalnya saja kecurigaan tertuju pada kampus yang rasio dosen dengan mahasiswa tidak sebanding. Berdasarkan data PDPT, ada kampus swasta di Jember, Jawa Timur yang rasio dosennya mencurigakan karena rata-rata rasionya 1: 261. Jika dirinci, jumlah mahasiswa ada 21.978 orang, namun dosen tetapnya hanya 84 orang. ”Ada beberapa kampus yang sudah kami nonaktifkan. Nonaktif itu artinya mereka bisa beroperasi tetapi ijazahnya tidak diakui,” tandasnya.
Dari PDPT, selain bisa melihat keanehan rasio dosen, juga bisa dilihat data mahasiswa pindahan. Lalu, bisa juga dilihat jumlah satuan kredit semester (SKS) yang diambil mahasiswa. Jika ada mahasiswa yang mengambil 6 SKS namun sudah dinyatakanlulus, makakampusnya akan di-blacklist. Timnya juga sedang membidik satu kampus yang menggelar wisuda palsu di Kalimantan.
Kampus ini merekrut orang tidak dikenal dan menyuruh menjadi mahasiswanya agar disangka sudah meluluskan mahasiswa. Wakil Ketua Komisi X DPR Sohibul Iman menilai, pembenahan sektor pendidikan, terutama terkait peredaran ijazah palsu harus dilakukan secara struktural dan kultural, di mana semua pihak berperan. ”Dua pendekatan yang harus dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan masalah ijazah palsu. Pertama, pendekatan secara struktural dan kedua secara kultural,” ungkapnya.
Sohibul mengatakan, pembenahan secara struktural yakni dengan menegakan aturan yang ada, yakni UU No 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU No 12/ 2012 tentang Perguruan Tinggi. ”Ini tolong ditegakkan oleh pemerintah dengan seketat-ketatnya dan setegas-tegasnya tanpa pandang bulu, dengan itu diharapkan ada efek jera,” paparnya.
Untuk perbaikan jangka panjang bisa dilakukan dengan pendekatan secara kultural. Faktanya, menurut Sohibul, masyarakat memiliki kultur negatif yang memengaruhi munculnya kasus ijazah palsu, yakni kultur yang menganggap gelar ijazah bisa menaikkan status sosial seseorang. Padahal, menurut dia, itu hanya sebuah label administratif atas sebuah pencapaian. ”Kedua, ada budaya menerabas atau instan, sehingga muncul upaya-upaya membeli ijazah,” tandasnya.
Karena itu, menurut dia, dua kultur ini harus diubah. Dengan pendekatan struktural yang tegas, perbaikan kulturalnya pun bisa berjalan dalam mengubah persepsi publik. ”Ke depan saya yakin itu tidak terulang, karena di negara-negara maju di mana kedua hal ini jalan, itu (jual beli ijazah palsu) tidak banyak terjadi,” paparnya. Dosen UIN Jakarta Musni Umar menilai, peredaran ijazah palsu tidak bisa lepas dari budaya yang berkembang di masyarakat.
Menurut dia, selama ini masyarakat masih memandang label atau gelar sebagai sesuatu yang penting. Dampaknya, masyarakat pun banyak yang mencari cara untuk mendapatkan gelar atau pelabelan tersebut. Parahnya, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menerabas. K
arena itu, untuk membenahi ini semua maka yang harus dilakukan adalah mengubah budaya masyarakat itu, yakni budaya menerabas. ”Itulah yang kita saksikan,” ujarnya.
Neneng zubaidah/ kiswondari
(ars)